.
Thursday, August 21, 2014
FADHAIL AMAL : AL-QURAN 1
Hadits ke- 1
عَن عُثَمانَ رَضِىَ اللٌهُ عَنهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صٌلَى اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلٌمَ خَيُركُم مَن تَعلٌمَ القُرانَ وَعَلٌمَهَ . ) رواه البخاري وابو داود والترمذي والنسائ وابي ماجه هكذا في الترغيب وعزاه الى مسلم ايضا لكن حكي الحافظ في الفضح عن ابي العلاء ان مسلما سكت عنه ).
Dari Utsman r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda, “sebaik-baiknya kamu adalah orang yang belajar al Qur’an dan mengajarkannya.” (Hr. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah)
Dalam sebagian besar kitab, hadis diriwayatkan dengan menunggukan huruf wa (artinya dan) , sebagaimana terjemahan di atas. Dengan merujuk terjemahan di atas, maka keutamaan itu diperuntukkan bagi orang yang belajar al Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain. Namun dalam beberap kitab lainnya, hadits itu diriwayatkan dengan menggunakan huruf aw (artinya ataw), sehingga terjemahanya adalah, “Yang terbaik di antara kamu ialah orang yang belajar Al-Quraan saja ataw yang mengajarkan alquraan saja.” Dengan demikian, maka keduanya mendapatkan derajat keutamaan yang sama .
Al Qur’an adalah inti agama. Menjaga dan menyebarkan sama dengan menegakan agama. Karenanya sangat jelas keutamaan mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya, walaupun bentuknya berbeda-beda. Yang paling sempurna adalah mempelajarinya, dan akan lebih sempurna lagi jika mengetahui maksud dan kandungannya. Sedangkan yang terendah adalah mempelajari bacaannya saja.
Hadist di atas diperkuat oleh sebuah hadist yang diriwayatkan dari Sa’id bin Sulaim r.a. secara mursal bahwa barang siapa mempelajari al Qur’an tetapi ia menganggap bahwa orang lain yang telah diberi kelebihan yang lain lebih utama darinya, berarti ia telah menghina nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya, yaitu taufik untuk mempelajari al Qur’an.
Jelaskanlah, bahwa al Qur’an itu lebih tinggi daripada yang lainnya, sebagaimana akan diterangkan dalam hadist-hadist selanjutnya, sehingga harus diyakini bahwa membaca dan mengajarkannya lebih utama daripada segala-galanya. Mengenai hal ini, Mulla Ali Qari rah.a menegaskan dalam hadist yang lain bahwa barang siapa yang menghafal al Qur’an, maka ia telah menyimpan ilmu kenabian dikepalanya. Sahal Tustari rah.a. berkata, “Tanda cinta seseorang kepada Allah adalah menanamkan rasa cinta terhadap al Qur’an didalam hatinya.
Dalam Syarah al Ihya diterangkan bahwa diantara golongan orang yang akan mendapatkan naungan Arasy Ilahi pada hari Kiamat yang penuh ketakutan yaitu orang yang mengajarkan al Qur’an kepada anak-anak, dan orang yang mempelajari al Qur’an pada masa kanak-kanak serta ia terus menjaganya hingga masa tua.
Hadits ke-2
عَن اَبٍي سَعيدٍ رَضَي اللٌهُ عَنهٌ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌه صَلٌى اللٌه عَلَيهٍ وَسَلٌمَ يَقُولُ الرَبُ تَبَاَركَ وَتَعَالى مَن شَغَلَهُ الُقرُانُ عَن ذَكرِي وَمَسْئلَتيِ اَعطَيتُه اَفضَلَ مَا اُعطِي السْاَئِلينً وَفَضلُ كَلآمِ اللٌه عَلى سَائِرِ الكَلآمِ كَفَضلِ اللٌه عَلى خَلقِه (رواه الترمذي والدارمي والبيهقي في الشعب ).
Dari Abu Sa’id r.a. berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Allah berfirman, ‘barang siapa yang disibukan oleh al Qur’an daripada berdzikir kepada-Ku dan memohon kepada-Ku, maka Aku berikan kepadanya sesuatu yang lebih utama daripada yang Aku berikan kepada orang-orang yang memohon kepada-Ku dan keutamaan kalam Allah diatas seluruh perkataan adalah seumpama keutamaan Allah atas makhluk-Nya.” (Hr. Tirmidzi, DArami, dan Baihaqi)
Orang yang sibuk menghafal, mempelajari, atau memehami al Qur’an sehingga tidak sempat berdo’a, maka Allah akan memberinya sesuatu yang lebih utama daripada yang Dia berikan kepada orang yang berdo’a. sebagaimana dalam urusan keduniaan, jika seseorang akan membagikan kue atau makanan kepada orang banyak, lalu ia menunjuk seseorang untuk membagikannya, maka bagian untuk petugas yang membagikan itu akan disisihkan lebih dulu. Mengenai ketinggian orang yang selalu sibuk membaca al Qur’an telah disebutkan di dalam hadits lain, bahwa Allah akan mengaruniakan kepadanya pahala yang lebih baik daripada pahala orang yang selalu bersyukur.
Hadits ke-3
عَن عُقبةً بنِ عَامِرٍ رَضيِ اللٌهٌ عَنهٌ قَالَ خَرَجَ عَلَينًا رَسُولٌ اللٌه صَلْي اللٌه عَلَيهِ وَسَلٌمَ وَنخَنُ فيِ الصفٌةِ فَقَالَ اَيٌكُم يُحبٌ اَن يَغدُ وَ كُلٌ يَومٍ اِلي بُطحَانَ اَواَلى الَعقَيقَ فَيَاٌتيِ بِنَاقَتَينِ كَومَاوَينِ فِي غَيِر اِثمٍ وَلآ قَظيعَةِ رَحَمٍ فَقُلنَا يَارَسُولَ اللٌهِ كُلٌنَا نُحِبٌ ذَالِكَ قَالَ اَفَلآ يَغدُو اَحَدُكُمَ اِلَى المسَجِدِ فَيَتَعَلَمَ اَوفَيَقَرٌاَ ايَتَينِ مِن كِتَابِ اللٌه خَيرٌلَه مِن نَاقَتَينِ وَثَلآثُ خَيرُلَه مِن ثَلآثٍ وَاَربَعُ خَيرُلَه من اربع ومن اعدادهن من الأبل .(رواه مسلم وابو داوود).
Dari Uqbah bin Amir r.a., ia menceritakan, “Rasulullah saw. Datang menemui kami di shuffah, lalu beliau bertanya, ‘Siapakah diantara kalian yang suka pergi setiap hari ke pasar Buth-han atau Aqiq lalu ia pulang dengan membawa dua ekor unta betina dari jenis yang terbaik tanpa melakukan satu dosa atau memutuskan tali silaturahmi?’ Kami menjawab, Ya Rasulullah, kami semua menyukai hal itu.’ Rasululullah saw. Bersabda, ‘Mengapa salah seorang dari kalian tidak kemasjid lalu mempelajari atau membaca dua buah ayat al Qur’an (padahal yang demikian itu) lebih baik baginya dari pada dua ekor unta betina, tiga ayat lebih baik dari tiga ekor unta betina, dan begitu pula membaca empat ayat lebih baik baginya daripada empat ekor unta betina, dan seterusnya sejumlah ayat yang dibaca mendapat sejumlah yang sama dari unta-unta.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)
Shuffah adalah sebuah lantai khusus di Masjid Nabawi tempat orang-orang miskin Muhajirin tinggal. Mereka dikenal dengan sebutan Ahlush Shuffah (orang-orang shuffah). Jumlah sahabat ahlush shuffah selalu berubah dari waktu ke waktu. ‘Allama Suyuti rah.a. telah menyusun seratus
satu nama sahabat yang tinggal di Shuffah, dan ia menulis tentang mereka di dalam risalah tersendiri. Sedangkan Buth-han dan Aqiq adalah nama dua buah tempat di Madinah sebagai pasar perdagangan unta. Orang Arab sangat menyukai unta, terutama unta betina yang berpunuk besar.
Maksud ‘tanpa melakukan suatu dosa’ adalah mendapatkan sesuatu dari orang lain tanpa usaha atau berkorban. Bukan harta yang bertambah melalui pemerasan, pencurian, atau merampas warisan sesama saudara. Oleh karena itu, Rasulullah saw. Menyatakan dalam sabdanya, bahwa unta itu diperoleh tanpa bersusah payah sama sekali dan tanpa berbuat suatu dosa pun. Sudah pasti memperoleh harta dengan cara demikian lebih disenangi oleh semua orang. Akan tetapi Nabi saw. Menyatakan bahwa mempelajari beberapa ayat al Qur’an itu lebih baik dan lebih utama daripada mendapatkan semua itu.
Hendaknya kita meyakini hal ini, bahwa keutamaan dan pahala mempelajari al Qur’an tidaklah sebanding dengan seekor atau dua ekor unta, bahkan dengan kerajaan seluas tujuh benua sekalipun. Karena semua itu pasti akan ditinggalkan, jika bukan hari ini tentu hari esok saat maut menjemput semuanya terpaksa harus berpisah. Sebaliknya, pahala membaca satu ayat Al Qur’an akan bermanfaat untuk selama-lamanya. Dalam urusan keduniaan, kita dapat saksikan bahwa orang orang yang diberi satu rupiah tanpa beban tanggung jawab apapun akan lebih senang daripada dipinjami seribu rupiah agar disimpannya tetapi kelak akan diambil lagi, karena ia hanya dibebani amanah tanpa mendapat manfaat sedikitpun.
Hadits diatas intinya adalah mengingatkan kita akan perbandingan sesuatu yang fana dengan sesuatu yang abadi. Ketika seseorang sedang sedang diam atau bergerak, hendaknya selalu berfikir apakah ia sedang berbuat sesuatu yang hasilnya sementara dan sia-sia atau sesuatu yang hasilnya kekal dan bermanfaat? Betapa rugi jika kita gunakan waktu hanya untuk menghasilkan bencana yang abadi.
Kalimat terakhir didalam hadits di atas menyebutkan bahwa jumlah ayat yang sama tetapi lebih utama daripada jumlah untanya. Kalimat itu mengandung tiga maksud, yaitu:
1) Walaupun sampai jumlah empat ayat saja yang disebutkan secara terperinci, tetapi maksudnya adalah semakin banyak jumlah ayat yang dibaca akan semakin semakin banyak pahala yang diperoleh. Dalam pengertian ini, semua unta sama, baik jantan maupun betina.
2) Jumlah untanya sama dengan jumlah yang disebutkan dalam hadits diatas, tetapi untanya bergantung pada selera masing-masing. Ada yang menyukai unta betina ada yang menyukai unta jantan. Oleh sebab itu, Nabi saw. Menegaskan bahwa satu ayat lebih berharga daripada seekor unta betina. Jika seseorang menyukai unta jantan, maka satu ayat lebih baik daripada unta jantan.
3) Jumlahnya tidak lebih dari empat, tetapi pengertiannya bukan saja lebih baik daripada unta betina atau unta jantan, tetapi lebih baik daripada keduanyanya. Jelasnya, membaca satu ayat lebih baik daripada sepasang unta jantan dan unta betina. Demikianlah seterusnya, setiap ayat lebih utama daripada sepasang unta.
Ayah saya (nawwarullaahu marqadahu) lebih setuju dengan pendapat ini, sebab lebih banyak keutamaannya. Namun walaupun demikian, tetap tidak dapat disamakan antara membaca satu ayat al Qur’an dengan satu ekor atau dua ekor unta. Ungkapan ini sekedar gambaran dan contoh saja. Sebelumnya telah jelaskan bahwa satu ayat al Qur’an akan memperoleh pahala abadi yang lebih utama dan lebih baik daripada kerajaan seluas tujuh benua yang fana ini.
Mulla Ali Qari rah.a.menulis tentang seorang syaikh yang sedang bersafar. Ketika tiba di Jeddah, ia diminta oleh para pengusaha kaya agar tinggal lebih lama di tempat mereka, agar harta dan perniaganya mendapat berkah karena kehadiran seorang syaikh.
Pada mulanya syaikh menolak tawaran mereka, tetapi setelah didesak akhirnya syaikh berkata, “Berapakah keuntungan tertinggi dari perniagaan kalian?” jawab mereka, “penghasilan kami berbeda, setidaknya kami bias mendapatkan keuntungan dua kali lipat.” Syaikh itu berkata, “kalian ini bersusah payah untuk mendapat keuntungan yang sedikit. Aku tidak menghendaki karena sesuatu yang sedikit ini aku harus kehilangan shalatku di Masjidil Haram yang pahalanya dilipatgandakan hingga seratus ribu kali.”
Hakikat inilah yang harus dipikirkan oleh setiap kaum muslimin, sehingga mereka tidak mengorbankan keuntungan agama demi mendapatkan keuntungan dunia yang sedikit ini.
Hadits ke-4
عَن عَائِشَةَ رَضي اللٌهُ عَنهاَ قَالَتُ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلٌم الَماهر باِلقُرانِ مَعَ السَفَرَةَ الكِرَامِ الَبَرَرَةِ وَاٌلَذِي يَقُراٌ القُرانَ وَيَتَتَعتَعُ فِيه وَهُوَ عَلَيهِ شَاقٌ لَه اَجَران (رواه البخارى ومسلم وابو داوود والترمذى وابن ماجه).
Dari Aisyah r.h.a berkata bahwa Rasulullah saw.bersabda , “Orang yang ahli dalam al Qur’an akan berada bersama malaikat pencatat yang mulia lagi benar, dan orang terbata-bata membaca al Qur’an sedang ia bersusah payah (mempelajarinya), maka baginya pahala dua kali.” (Hr. bukhari, Nasa’I, Muslim, Abu Daud, Tarmidzi, dan ibnu Majah)
Maksud orang yang ahli dalam al Qur’an adalah orang yang hafal al Qur’an dan senantiasa membacanya, apalagi jika memahami arti dan maksudnya.
Dan yang dimaksud ‘bersama-sama malaikat’ adalah, ia termasuk golongan yang memindahkan al Qur’an al-Karim dan Lauh Mahfuzh, karena ia menyampaikannya kepada orang lain melalui bacaannya. Dengan demikian, keduanya memiliki pekerjaan yang sama. Atau bisa juga berarti, ia akan bersama para malaikat pada hari Mahsyar kelak.
Orang yang terbata-bata membaca al Qur’an akan memperoleh pahala dua kali; satu pahala karena bacaannya, satu lagi karena kesungguhannya mempelajari al Qur’an berkali-kali. Tetapi bukan berarti pahalanya melebihi pahala orang yang ahli al Qur’an. Orang yang ahli al Qur’an tentu saja memperoleh derajat yang istimewa, yaitu bersama malaikat khusus. Maksud yang sebenarnya adalah, bahwa dengan bersusah payah mempelajari al Qur’an akan menghasikan pahala ganda. Oleh karena itu, kita jangan meninggalkan baca al Qur’an, walaupun mengalami kesulitan dalam membacanya.
Mulla Ali Qari rah.a. meriwayatkan dari Thabrani dan Baihaqi, “Barang siapa membaca al Qur’an sedangkan ia tidak hafal, maka ia akan memperoleh pahala dua kali lipat. Dan barang siapa benar-benar ingin menghafal al Qur’an, sedangkan ia tidak mampu, tetapi ia terus membacanya, maka Allah akan membangkitkannya pada hari Mashyar bersama para hafizh al Qur’an.
Hadits ke-5
عَن ابنِ عُمَرَ رَضي اللٌهُ عَنهاَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلٌم لآحَسَدَ ألآ فيِ اثنَتَينِ رَجُلُ اتَاهُ اللٌهُ القُرانَ فَهُو يَقُومُ بِه انَأءَ اللًيلِ وَانَأءَ النَهَارِ وَرَجُلُ اعطَاهُ مَالآ فَهُوَ يُنفق مِنهُ انَأءَ الٌلَيِل وَانَأءَ النٌهَارِ.(رواه البخارى ومسلم والترمذى والنسائى وأبن ماجه).
Dari Ibnu Umar r.huma. berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tidak diperbolehkan hasad (iri hati) kecuali terhadap dua orang: Orang yang dikaruniai Allah (kemampuan membaca/menghafal al Qur’an). Lalu ia membacanya malam dan siang hari, dan orang yang dikaruniai harta oleh Allah, lalu ia menginfakannya pada malam dan siang hari.” (Hr. Bukhari, Tarmidzi, dan Nasa’i)
Dalam al Qur’an dan hadits banyak diterangkan bahwa hasad atau iri hati yang hukumannya mutlak dilarang. Sedangkan menurut hadits diatas, ada dua jenis orang yang kita boleh hasad terhadapnya.
Karena banyak riwayat yang terkenal mengenai keharaman hasad ini, maka alim ulama menjelaskan hasad dalam hadist ini dengan dua maksud:
Pertama, hasad diartikan risyk yang dalam bahasa arab disebut ghibtah. Perbedaan antara hasad dan ghibtah yaitu: hasad adalah jika seseorang mengetahui ada orang lain memiliki sesuatu, maka ia ingin agar sesuatu itu hilang dari orang itu, baik ia sendiri mendapatkannya atau tidak. Sedangkan ghibtah ialah seseorang yang ingin memiliki sesuatu secara umum, baik orang lain kehilangan atau pun tidak. Karena secara ijma’ hasad adalah haram, maka para ulama mengartikan hasad dalam hadits diatas dimaksudnya adalah ghibtah yang dalam urusan keduniaan dibolehkan, sedang dalam masalah agama adalah mustahab (lebih disukai).
Kedua, mungkin juga maksudnya sebagai pengandaian. Yakni seandainya hasad itu dibolehkan, maka bolehlah hasad terhadap dua jenis tersebut diatas.
Hadits ke-6
عَن اَبي مُوُسى رَضي اللٌهُ عَنهُ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلٌم مَثَلُ المُومِنِ اٌلَذِي يَقَراُ القُرانَ مَثَلُ الآترُجَةِ رِيحُهَا طيِبُ وَطَعمُهَا طَيِبُ وَمَثَلُ الموُمِنِ اٌلَذِي لآيَقرَاٌ القُرانَ كَمَثَلِ التَمرَة لآريَح لَهَا وَطَعمُهَا حُلوٌ وَمَثَلُ المُنَافِقِ اٌلَذِي يَقرَأ القُرانَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيْحُهَا طَيّبٌ وَطَعْمُهَا مُرُّ وَمَثَلُ المُنَافق اّلذِي لا يَقْرَأُ القُرْانَ كَمَثِلِ الحَنُظلَةِ لَيسَ لَهَا رِيحُ وطعمها مُرُّ. (رواه البخارى ومسلم والنسائي وابن ماجة). Dari Abu Musa r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “perumpamaan orang mu’min yang membaca al Qur’an adalah seperti jeruk manis yang baunya harum dan rasanya manis. Perumpamaan orang mu’min yang tidak membaca al Qur’an adalah seperti kurma, tidak berbau harum tetapi rasanya manis. Perumpamaan orang munafik yang membaca al Qur’an adalah seperti bunga, baunya harum tetapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al Qur’an seumpama buah pare, tidak berbau harum dan rasanya pahit.” (Hr. Bukhari, Muslim, Nasai, dan Ibnu Majah)
Hadits diatas menunjukan perbandingan antara sesuatu yang abstrak dengan yang nyata, sehingga dapat lebih mudah dibedakan antara orang yang membaca al Qur’an dan yang tidak membacanya. Padahal jelas bahkelezatan tilawat al Qur’an jauh berbeda dengan kelezatan apa pun di dunia ini, seperti jeruk dan kurma. Tetapi banyak rahasia dibalik tamsil hadits yang menjadi saksi terhadap ilmu Nubuwwah dan luasnya pemahaman Nabi saw. Misalnya: jeruk mengharumkan mulut, menguatkan pencernaan, membersihkan lambung, dan sebagainya. Semua manfaat itu juga dihasilkan oleh pembaca al Qur’an, yaitu mewangikan mulut, membersihkan batin,dan menguatkan ruhani. Keistimewaan lainnya dari buah jeruk adalah bahwa jin tidak dapat memasuki rumah yang didalamnya terdapat jeruk. Jika benar maka hal ini merupakan suatu keserupaan khusus pada al Qur’an. Saya mendengar dari beberapa dokter ahli yang mengatakan bahwa jeruk manis dapat menguatkan ingatan. Dan menurut riwayat Ali r.a. dalam al Ihya disebutkan bahwa ada 3 hal dapat menguatkan ingatan, yaitu: (1) Bersiwak; (2) Shaum; dan (3) Membaca al Qur’an.
Sebagai penutup hadits diatas, dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa sahabat yang baik adalah seperti penjual minyak kasturi. Meskipun tidak memiliki kasturi tetapi jika berdekatan dengannya akan mendapatkan wanginya. Sahabat yang buruk adalah seperti pandai besi, meskipun tidak terkena apinya tetapi jika berdekatan dengannya akan terkena asapnya. Karena itu sangat penting untuk diperhatikan siapakah sahabat dan teman bergaul kita
Hadits ke-7
عَن عُمَرَ بنِ الخَطٌاَبِ رَضَي اللٌهُ عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُولٌ اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلٌمَ اِنَ اللٌهَ يَرفَعُ بِهذَ االكتَاِبِ اَقَوامًا وَيَضَعُ بِه اخَرِينَ (رواه مسلم)
Dari Umar r.a berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Allah mengangakat derajat berapa kaum melalui kitab ini (al Qur’an) dan Dia merendahkan beberapa kaum lainnya melalui kitab ini pula.” (Hr. Muslim)
Barang siapa yang beriman dan beramal dengan al Qur’an, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya dan memuliakannya di dunia dan di akhirat. Dan siapa saja yang tidak beramal dengan al Qur’an, maka Allah pasti menghinakannya. Allah Swt. Menyatakan dalam al Qur’an,
...يُضل به كثيراً ويهدي به كتيراً....
“… dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan (dengan perumpamaan itu pula) banyak orang yang diberiNya petunjuk…” (Qs. Al Baqa-rah [2] : 26)
Firman lainya:
وننزل من القران ما هو شفا ء ور حمة للمو منين ولا يز يد الظلمين الا خسا را................؟
“dan Kami turunkan dari al Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan al Qur’an itu tidak menambah bagi orang-orang yang zhalim selain kerugian.” (Qs. Al Isra [17]: 82)
Ulama bahwa jika seseorang mulai membaca satu surat dalam al Qur’an, maka malaikat mulai memohonkan rahmat untuknya dan mereka akan terus dalam keadaan berdoa untuknya sampai ia selesai membacanya. Tetapi ada pula seseorang yang mulai membaca suatu surat dalam al Qur’an, namun malaikat mulai melaknatnya sampai ia selesai membacanya.
Menurut sebagian ulama, terkadang ada seseorang membaca al Qur’an tetapi tanpa disadari ia telah memohon laknat untuk dirinya sendiri terus menerus, misalnya ia membaca ayat al Qur’an yang berbunyi:
ألا لعنةُ الله علىَ الظَّالمينَ
“Ingatlah laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang zalim.”(Qs.Hud[11]:18)
Sementara ia sendiri berbuat zhalim, maka laknat Allah pun menimpanya.
Atau ayat lain yang berbunyi:
{ لعنة الله علي ا لكاذبين }.....
“laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang berdusta.” (Qs. Ali Imran [3]:61)
Sedangkan ia sendiri suka berdusta, maka ia pun terkena laknat itu.
Amir bin Watsilah r.a. menceritakan bahwa Umar r.a. telah mengangkat Nafi’ bn Abdul Haris sebagai walikota Makkah Mukharamah. Suatu ketika Umar bertanya kepada Nafi”, “Siapakah yang dijadikan Pengurus kawasan kawasan hutan?” “Ibnu Abza r.a., “jawab Nafi’. Umar r.a bertanya lagi, “Siapakah Ibnu Abza itu?” Nafi menjawab, “Ia adalah seorang hamba sahaya.” Umar r.a. bertanya, “Mengapa engkau mengangkat seorang hamba sahaya sebagai pengurus?” Nafi’ menjawab, “Ia adalah hamba sahaya yang senang membaca al Qur’an.” Mendengar jawaban itu, Umar r.a. langsung menyebutkan sabda Rasulullah saw., “Melalui al Qur’an, Allah menghinakan banyak orang dan mengangkat derajat banyak orang.”
Hadits ke-8
عَن عَبِد الَرحمنِ رَضَيِ اللٌهُ عَنهُ عَنِ الٌنِبيِ صَلَي اللٌهُ عَلَيهَ وَسَلَمَ ثَلآثُ تَحتَ العَرشِ يَومَ القَياَمةَ القُرانُ يُحَاجُّ العِبَادَ لَه ظَهرٌ وَبَطُنٌ وَالأمَاَنُةٌ وَالرَّحِمُ تُنَادِيُ ألآ مَنُ وَصَلَنيِ وَصَلَهُ اللٌهُ وَمَن قَطَعنيِ قَطَعَهً اللٌهُ. (روى في شرح السنة)
Dari Abdur Rahman bin Auf r.a. dari Nabi saw.. “Ada tiga hal yang akan berada di bawah naungan Arasy Ilahi pada hari kiamat: (1) al Qur’an yang akan membela hamba Allah dan ia mempunyai zhahir dan batin: (2) Amanat: dan (3) Silaturahmi yang akan berseru, “Ingatlah! Siapa yang menghubungkan aku, maka Allah menghubunginya, dan siapa yang memutuskan aku, maka Allah memutuskannya.” (Dikutib dari Kitab Syarhus Sunnah).
Maksud ‘tiga hal yang berbeda di bawah Arsy’ adalah sempurnanya kedekatan ketiga hal itu kepada Allah, yakni sangat dekat dengan Arsy Allah.
Maksud ‘membela hamba Allah’ adalah orang yang memuliakan al Qur’an, menunaikan hak-haknya, dan mengamalkan isinya, maka al Qur’an pasti akan membelanya di hadapan Allah dan akan mensyafa’atinya serta meninggikan derajatnya.
Mulla Ali Qari rah.a. meriwayatkan dari Tirmidzi bahwa ahli al Qur’an kelak akan datang pada hari Kiamat. Lalu al Qur’an memohon kepada Allah, “Ya Allah, berilah ia pakaian!” maka di pakaikan mahkota kemuliaan kepada orang itu. Kemudian al Qur’an memohon lagi, “Ya Allah tambahkanlah untuknya!” maka dipakaikan kepadanya pakaian kemuliaan. Al Qur’an pun memperoleh ridha dari orang yang kita cintai di dunia ini, rasanya tidak ada kenikmatan yang lebih besar dari pada itu. Demikian juga di akhirat, kenikmatan manakah yang dapat mengalahkan ridha Allah, kekasih kita?
Sedangkan bagi orang yang tidak memenuhi hak-hak al Qur’an, maka al Qur’an akan menuntutnya, “apakah engkau telah memuliakan aku? Apakah engkau telah menunaikan hak-hakku?” dalam Syarah Ihya di nyatakan bahwa hak al Qur’an adalah di khatamkan dua kali dalam setahun. Maka mereka yang melalaikan al Qur’an hendaknya memikirkan masalah ini, yakni bagaimanakah kita menjawab tuntutan sekeras ini? Padahal maut itu pasti datang, dan tidak ada tempat untuk lari darinya.
Maksud al Qur’an memiliki zhahir dan batin’ ialah: zhahir al Qur’an yaitu makna al Qur’an yang dapat dipahami oleh semua orang. Sedangkan bati al Qur’an maksudnya adalah makna al Qur’an yang tidak dapat dipahami oleh semua orang. Mengenai hal ini, Rasulullah saw. Bersabda, “barang siapa mengemukakan pendapatnya sendiri tentang isi al Qur’an, maka ia telah melakukan kesalahan walaupun pendapatnya itu benar.” Ulama berpendapat bahwa maksud ‘zhahir al Qur’an’ adalah lafazh-lafazh al Qur’an yang dapat di baca oleh semua orang. Sedangkan batin al Qur’an adalah makna atau maksud al Qur’an yang dapat dipahami menurut keahlian masing-masing.
Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “jika kita ingin memperoleh ilmu, maka pikirkan dan renungkanlah makna-makna al Qur’an, karena di dalamnya terkandung ilmu orang-orang dahulu dan sekarang.” Namun untuk memahaminya, kita mesti menunaikan syarat dan adab-adabnya terlebih dahulu. Jangan seperti pada zaman sekarang ini. Hanya bermodalkan pengetahuan tentang beberapa lafazh bahasa Arab, bahkan sekedar melihat terjemahan al Qur’an, seseorang berani menafsirkan al Qur’an dengan pendapatnya sendiri.
Alim ulama berkata, “untuk dapat menafsirkan al Qur’an di perlukan keahlian dalam lima belas bidang ilmu.” Saya akan meringkas ke lima belas ilmu itu semata-mata agar diketahuai bahwa tidak mudah bagi setiap orang memahami makna batin al Qur’an ini.
1. Ilmu Lughat (filologi), yaitu ilmu untuk mengetahui arti setiap kata al Qur’an. Mujahid rah.a berkata, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka tidak layak baginya berkomentar tentang tentang ayat-ayat al Qur’an tanpa mengetahui ilmu lugat. Sedikit pengetahuan tentang lughat tidaklah cukup karena kadang kala satu kata mengandung berbagai arti. Jika hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Bisa jadi kata itu mempunyai arti dan maksud yang berbeda.
2. Ilmu Nahwu (tata bahasa). Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja I’rab hanya didapat dalam ilmu nahwu.
3. Ilmi Sharaf (perubahan bentuk kata). Mengetahui ilmu sharaf sangat penting, karena perubahan sedikit bentuk suatu kata akan mengubah maknanya. Ibnu Faris berkata, “jika seseorang tidak mempunyai ilmu sharaf, berarti ia telah kehilangan banyak hal.” Dalam Ujubatut Tafsir, Syaikh Zamakhsyari rah.a. menulis bahwa ada seseorang yang menerjemahkan ayat al Qur’an yang berbunyi:
{ يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ أُنَاسٍ بِامَامِهِم}
“(ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya.” (Qs. Al Isra [17] : 71)
Karena ketidaktahuannya tentang ilmu Sharaf, ia menerjemahkan ayat itu seperti ini: “pada hari ketika manusia dipanggil dengan ibu-ibu mereka.” Ia mengira bahwa kata ‘imaam’ (pemimpin) yang merupakan bentuk mufrad (tunggal) adalah bentuk memahami ilmu sharaf, tidak mungkin akan mengartikan ‘imaam’ sebagai ibu-ibu.
4. Ilmu Isytiqaq (akar kata). Mengetahui ilmu isytiqaq sangatlah penting. Dengan ilmu ini dapat diketahui asal-usul kata. Ada beberapa kata yang berasal dari dua kata yang berbeda, sehingga berbeda makna. Seperti kata ‘masih’ berasal dari kata ‘masah’ yang artinya menyentuh atau menggerakan tangan yang basah ke atas suatu benda, atau juga berasal dari kata ‘masahat’ yang berarti ukuran.
5. Ilmu Ma’ani. Ilmu ini sangat penting diketahui, karena dengan ilmu ini susunan kalimat dapat diketahui dengan melihat maknanya.
6. Ilmu Bayaan. Yaitu ilmu yang mempelajari makna kata yang zhahir dan yang tersembunyi, juga mempelajari kiasan serta permisalan kata.
7. Ilmu Badi’, yakni ilmu yang mempelajari keindahan bahasa. Ketiga bidang ilmu diatas juga disebutsebagai cabang ilmu balaghah yang sangat penting dimiliki oleh para ahli tafsir. Al Qur’an adalah mukjizat yang agung, maka dengan ilmu-ilmu diatas, kemukjizatan al Qur’an dapat diketahui.
8. Ilmu Qira’at. Ilmu ini sangat penting dipelajari, karena perbedaan bacaan dapat mengubah makna ayat. Ilmu ini membantu menentukan makna paling tepat diantara makna-makna suatu kata.
9. Ilmu Aqa’id. Ilmu yang sangat penting dipelajari ini mempelajari dasar-dasar keimanan. Kadangkala ada satu ayat yang arti zhahirnya tidak mungkin diperuntukkan bagi Allah Swt. Untuk memahaminya diperlukan takwil ayat itu, seperti ayat yang berbunyi:
{ يدق الله فوق إيديهم }
“tangan Allah diatas tangan mereka.” (Qs. Al Fath 48]:10)
10. Ushu1 Fiqih. Mempelajari ilmu ushul fiqih sangat penting, karena dengan ilmu ini kita dapat mengambil dalil dan menggali hokum dari suatu ayat.
11. Ilmu Asbabun-Nuzul. Yaitu ilmu untuk mengetahui sebab-sebab turunnya, maka maksud suatu ayat mudah dipahami. Karena kadangkala maksud suatu ayat itu bergantung pada asbabun nuzul-nya.
12. Ilmu Nasikh Mansukh. Dengan ilmu ini dapat dipelajari suatu hukum yang sudah dihapus dan hukum yang masih tetap berlaku.
13. Ilmu Fiqih. Ilmu ini sangat penting dipelajari. Dengan menguasai hukum-hukum yang rinci akan mudah mengetahui hukum global.
14. Ilmu Hadits. Ilmu untuk mengetahui hadits-hadits yang menafsirkan ayat-ayat al Qur’an.
15. Ilmu Wahbi. Ilmu khusus yang diberikan kepada Allah kepada hamba-Nya yang istimewa, sebagaimana sabda Nabi saw.,
مَنْ عَمِلَ بِما عَلِمَ وَرَثَهُ الله عِلْمَ مَالَمْ يَعْلَمْ
“Barangsiapa mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang tidak ia ketahui”.
Juga sebagaimana disebutkan dalam riwayat, bahwa Ali r.a. pernah ditanya oleh seseorang, “Apakah Rasulullah telah memberimu suatu ilmu atau nasihat khusus yang tidak diberikan kepada orang lain?” maka ia menjawab, “Demi Allah, demi Yang menciptakan Surga dan Jiwa. Aku tidak memiliki sesuatu yang khusus kecuali pemahaman al Qur’an yang Allah berikan kepada hamba-Nya.” Ibnu Adi Dunya berkata, “Ilmu al Qur’an dan pengetahuan yang didapat darinya seperti lautan yang atk bertepi.”
Ilmu-ilmu yang telah diterangkan diatas adalah alat bagi para mufassir al Qur’an.
Seseorang yang tidak memiliki ilmu-ilmu tersebut lalu menafsirkan al Qur’an, berarti ia telah menafsirkan menurut pendapatnya sendiri, yang larangannya telah disebutkan dalam banyak hadits. Para sahabat telah memperoleh ilmu bahasa arab secara turun temurun, dan ilmu lainnya mereka dapatkan melalui cahaya Nubuwwah.
Imam Suyuthi rah.a. berkata, “Mungkin kalian berpendapat bahwa ilmu Wahbi itu berada diluar kemampuan manusia. Padahal tidak demikian, karena Allah sendiri telah menunjukan caranya, misalnya dengan mengamalkan ilmu yang dimiliki dan tidak mencintai dunia.”
Tertulis dalam Kimia’us Sa’aadah bahwa ada tiga orang yang tidak akan mampu menafsirkan al Qur’an: (1) Orang yang tidak memahami bahasa Arab; (2) Orang yang berbuat dosa besar atau ahli bid’ah, karena perbuatanitu akan membuat hatinya menjadi gelap dan menutupi pemahamannya terhadap al Qur’an; (3) Orang yang dalam Aqidahnya mengakui makna zhahir nash. Jika ia membaca ayat-ayat al Qur’an yang tidak sesuai dengan pikirannya (logikanya), maka ia akan gelisah. Orang seperti ini tidak akan mampu memahami al Qur’an dengan benar.
اللهمَّ أحْفظْنَا مِنْهُمْ
“Ya Allah, lindungilah kami dari mereka”
SYEIKH MUHAMMAD ZAKARIYA
.
Rasulullah s.a.w bersabda :
” Sesungguhnya seorang hamba yang bercakap sesuatu kalimah atau ayat tanpa mengetahui implikasi dan hukum percakapannya, maka kalimah itu boleh mencampakkannya di dalam Neraka lebih sejauh antara timur dan barat” ( Riwayat Al-Bukhari, bab Hifdz al-Lisan, 11/256 , no 2988)
” Sesungguhnya seorang hamba yang bercakap sesuatu kalimah atau ayat tanpa mengetahui implikasi dan hukum percakapannya, maka kalimah itu boleh mencampakkannya di dalam Neraka lebih sejauh antara timur dan barat” ( Riwayat Al-Bukhari, bab Hifdz al-Lisan, 11/256 , no 2988)