.

.
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء و المرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين أهلا وسهلا بكم إذا كانت هذه زيارتك الأولى للمنتدى، فيرجى التفضل بزيارة صفحة التعليمات كما يشرفنا أن تقوم بالتسجيل ، إذا رغبت بالمشاركة في المنتدى، أما إذا رغبت بقراءة المواضيع والإطلاع فتفضل بزيارة القسم الذي ترغب أدناه. عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه - قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: "إن إبليس قال لربه: بعزتك وجلالك لا أبرح أغوي بني آدم مادامت الأرواح فيهم - فقال الله: فبعزتي وجلالي لا أبرح أغفر لهم ما استغفروني" اللّهم طهّر لساني من الكذب ، وقلبي من النفاق ، وعملي من الرياء ، وبصري من الخيانة ,, فإنّك تعلم خائنة الأعين ,, وما تخفي الصدور اللهم استَخدِمني ولاَ تستَبدِلني، وانفَع بيِ، واجعَل عَملي خَالصاً لِوجهك الكَريم ... يا الله اللهــم اجعل عملي على تمبـلر صالحاً,, واجعله لوجهك خالصاً,, ولا تجعل لأحد فيه شيئاً ,, وتقبل مني واجعله نورا لي في قبري,, وحسن خاتمة لي عند مماتي ,, ونجاةً من النار ومغفرةً من كل ذنب يارب يارب يارب

.

.

.

.

Tuesday, March 31, 2015

Buat anakku


سم الله الرحمن الرحيم

اللهم صل على محمد وآل محمد
اَللَّهُمَّ اَزِلْ عَنْهُ الْعِلَلَ وَالدَّآءَ، وَاَعِدْهُ اِلَى الصِّحَّةِ وَالشِّفَآءِ، وَاَمِـدَّهُ بِحُسْنِ الْوِقَايَةِ، وَرُدَّهُ اِلَى حُسْنِ الْعَافِيَةِ، وَاجْعَلْ مَانَالَهُ فِي مَرَضِهِ هَذَا مَادَةً لِحَيَاتِهِ وَكَفَّارَةً لِسَيِّئَاتِهِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّـدٍ.

Monday, March 30, 2015

سورة النمل : 90 - 89



مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِّنْهَا وَهُم مِّن فَزَعٍ 
يَوْمَئِذٍ آمِنُونَ﴿٨٩ وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٩٠


﴿ مَن جَآءَ بِٱلۡحَسَنَةِ فَلَهُ ۥ خَيۡرٌ۬ مِّنۡہَا ﴾
(Whoever brings a good deed, will have better than its worth.)
Qatadah said, "That is sincerely for Allah alone.'' Allah has explained elsewhere in the Qur'an that He will give ten like it.
﴿ وَهُم مِّن فَزَعٍ۬ يَوۡمَٮِٕذٍ ءَامِنُونَ ﴾
(and they will be safe from the terror on that Day.) This is like the Ayah,
﴿ لَا يَحۡزُنُهُمُ ٱلۡفَزَعُ ٱلۡأَڪۡبَرُ ﴾
(The greatest terror will not grieve them) (21:103) and Allah said:
﴿ أَفَمَن يُلۡقَىٰ فِى ٱلنَّارِ خَيۡرٌ أَم مَّن يَأۡتِىٓ ءَامِنً۬ا يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ‌ۚ ﴾
(Is he who is cast into the Fire better or he who comes secure on the Day of Resurrection) (41:40),
﴿ وَهُمۡ فِى ٱلۡغُرُفَـٰتِ ءَامِنُونَ ﴾
(and they will reside in the high dwellings in peace and security) (34:37).
﴿ وَمَن جَآءَ بِٱلسَّيِّئَةِ فَكُبَّتۡ وُجُوهُهُمۡ فِى ٱلنَّارِ ﴾
(And whoever brings an evil deed, they will be cast down on their faces in the Fire.) means, whoever comes to Allah with evil deeds, and with no good deeds to his credit, or whose evil deeds outweigh his good deeds. Allah says:
﴿ هَلۡ تُجۡزَوۡنَ إِلَّا مَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ﴾

((And it will be said to them) "Are you being recompensed anything except what you used to do'')

Imam Muslim bin al-Hajjaj meriwayatkan, ‘Ubaidullah bin Mu’adz al-Anbarry bercerita kepada kami, ayahku bercerita kepada kami bahwasannya Syu’bah bercerita kepada kami dari an-Nu’man bin Salim, aku mendengar Ya’qub bin ‘Ashim bin ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi berkata, aku mendengar Abdullah bin ‘Amr didatangi seseorang dan berkata, “Hadits apa yang engkau ceritakan bahwa hari kiamat itu akan terjadi demikian dan demikian?” dia menjawab, “SubhaanallaaH?” atau laa ilaaHa illallaaH, atau kalimat semisalnya. Sesungguhnya aku berkeinginan untuk tidak menceritakan sesuatu selama-lamanya. Aku hanya mengatakan, sesungguhnya kalian akan menyaksikan sebentar lagi sebuah perkara besar yang dapat menghancurkan rumah, lalu terjadi ini dan itu, kemudian ia mengatakan, Rasulullah bersabda: ‘Dajjal akan keluar pada umatku, lalu tinggal selama 40 –aku tidak tahu 40 hari, 40 bulan, atau 40 tahun-, Allah mengutus ‘Isa bin Maryam seakan-akan ia seperti ‘Urwah bin Mas’ud, lalu ia mencari dan membinasakannya. Kemudian manusia tinggal selama 7 tahun, dimana tidak ada lagi permusuhan di antara mereka. kemudian Allah mengirimkan angin dingin dari arah Syam, sehingga tidak ada satu makhluk pun yang di dalam hatinya terdapat sedikit saja kebaikan atau keimanan di permukaan bumi yang tersisa, kecuali angin itu yang akan mewafatkannya. Sehingga seandainya salah seorang kalian masuk ke dalam bagian terdalam gunung pun, angin itu akan mengejar dan mewafatkannya.’”
Dia berkata, aku mendengarnya dari Rasulullah saw. ia bersabda: “Maka tersisalah manusia-manusia yang terburuk seperti ringannya burung dan buasnya binatang buas. Mereka tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang munkar. Lalu syaitan dalam bentuk manusia datang kepada mereka dan berkata: ‘Apakah kalian tidak memperkenankan kami?’ Mereka berkata, ‘Lalu apa yang akan engkau perintahkan kepada kami?’ maka syaitan itu memerintahkan mereka untuk menyembah patung-patung, dan dengan demikian mereka memiliki banyak rizky dan kehidupan yang baik. Kemudian ditiupkanlah sangkakala, maka tidak ada satu orangpun yang mendengarkannya kecuali dia mendongak ke atas terheran-heran. Dan orang pertama yang mendengarnya adalah seseorang yang sedang memperbaiki dan melumuri kolam minum ontanya dengan lumpur, lalu ia pingsan dan matilah seluruh manusia. Kemudian Allah mengirimkan hujan, seolah-olah rintik-rintik atau awan gelap [Nu’man ragu-ragu], lalu tumbuhlah jasad-jasad manusia. Kemudian ditiupkan kembali sangkakala dan tiba-tiba mereka berdiri, bangun dan memandang. Lalu dikatakan: ‘Hai manusia! Datanglah kalian menuju Rabb kalian.’ Dan tahanlah merek [di tempat perhentian], karena merek akan ditanya, kemudian dikatakan: ‘Keluarkanlah utusan api neraka.’ maka ditanyakan, ‘Berapa orang?’ dijawab: ‘Dari setiap 1000 ada 999.’ Itulah hari dijadikannya anak-anak beruban dan betis-betis tersingkap.’”
Kemudian, ditiupkanlah sangkakala, maka tidak ada satu orang pun yang mendengarnya melainkan ia mendengarkan seraya mengangkat kepalanya dalam keadaan bingung. Al-lait adalah bagian tengkuk, yaitu miring tengkuknya untuk mendengarkan dengan seksama sesuatu dari langit, inilah tiupan yang mengagetkan. Kemudian setelah itu tiupan kematian. Kemudian, setelah itu lagi tiupan yang membangunkan manusia di hadapan Rabbul ‘aalamiin, yaitu saat dibangkitkan dari kubur untuk seluruh makhluk. Untuk itu Allah Ta’ala berfirman: wa kullu atauHu daakhiriin (“Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri.”) dibaca dengan madd [panjang] atau tidak di atas fi’il [kata kerja] semuanya memiliki satu makna (daakhiriin) yaitu, rendah diri dan taat, tidak ada satu makhlukpun yang menyelisihi-Nya sebagaimana firman Allah yang artinya: “Yaitu pada hari Dia memanggilmu, lalu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya, dan kamu mengira bahwa kamu tidak berdiam [di dalam kubur] kecuali sebentar saja.” (al-Israa’: 52)
Di dalam hadits sangkakala dinyatakan bahwa pada tiupan ketiga, Allah memerintahkan ruh-ruh untuk diletakkan di lubang sangkakala. Kemudian Israfil meniupkannya setelah jasad-jasad itu tumbuh di dalam kubur dan tempatnya. Jika sangkakala itu ditiup, ruh-ruh itu beterbangan, dimana ruh orang-orang Mukmin bercahaya dan ruh orang-orang kafir begitu gelap. Maka Allah berfirman: “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, sungguh setiap ruh akan kembali kepada jasadnya.” Lalu ruh-ruh itu datang menuju jasadnya masing-masing dengan menyusup ke dalamnya seperti menyusupnya bisa ular orang yang disengat. Kemudian mereka berdiri dengan membersihkan debu dari kubur-kubur mereka.”
Allah berfirman yang artinya: “[yaitu] pada hari mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala [sewaktu di dunia].” (al-Ma’aarij: 43)
Firman Allah Ta’ala: wa taral jibaala tahsabuHaa haamidataw wa Hiya tamurru marras sahaab (“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan.”) yaitu engkau lihat dia seakan-akan tetap tidak bergerak seperti apa adanya, padahal ia berjalan seperti gerakan awan, yaitu bergerak dari tempat-tempatnya, sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “Dan [ingatlah] akan hari [yang ketika itu] Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan melihat bumi itu datar.” (al-Kahfi: 47).
Dan firman Allah: shun’allaaHil ladzii atqana kulla syai-in (“Demikianlah perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu.”) yaitu Dia melakukan itu dengan ketetapan-Nya yang besar. Alladzii atqana kulla syai-in (“Yang membuat kokoh tiap-tiap sesuatu”) yaitu membuat kokoh setiap apa yang diciptakan-Nya dan meletakkan hikmah-hikmah di dalamnya.

innaHuu khabiirum bimaa taf’aluun (“Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan.”) yaitu Dia mengetahui tentang apa yang dikerjakan hamba-hamba-Nya, baik dan buruk. Lalu mereka akan dibalas dengan balasan yang sempurna. Kemudian Allah Ta’ala menjelaskan kondisi orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka di saat itu. Dia berfirman: man jaa-a bil hasanati falaHuu khairum minHaa (“Barangsiapa yang membawa kebaikan, maka ia memperoleh yang lebih baik daripadanya.”) Qatadah berkata: “Keikhlasan.”
Sedangkan Zainul ‘Abidin berkata: “Yaitu, Laa ilaaHa illallaaH.” Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjelaskan di tempat yang lain bahwa satu kebaikan memiliki 10 nilai bandingan. Wa Hum min faza’iy yauma-idzin aaminuun (“Sedangkan mereka itu adalah orang-orang yang aman tenteram dari kejutan yang dahsyat pada hari itu.”) sebagaimana Dia berfirman dalam ayat lain yang artinya: “Mereka tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar [pada hari kiamat].” (al-Anbiyaa’: 103).
Firman Allah Ta’ala: wa man jaa-a bis sayyi-ati fakubbat wujuuHuHum fin naari (“Dan barangsiapa yang membawa kejahatan, maka disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka.”) yaitu barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan membawa keburukan, tidak memiliki kebaikan, atau keburukannya mengalahkan kebaikannya, seluruhnya akan dibalas sesuai keadaannya. Untuk itu, Allah berfirman: Hal tujzauna illaa maa kuntum ta’maluun (“Tiadalah kamu dibalasi, kecuali setimpal dengan apa yang dahulu kamu kerjakan.”)
Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Anas bin Malik, ‘Atha’, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, Mujahid, Ibrahim an-Nakha’i, Abu Wa-il, Abu Shalih, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, az-Zuhri, as-Suddi, adh-Dhahhak, al-Hasan, Qatadah dan Abu Zaid berkata tentang firman-Nya: waman jaa-a bis sayyi-ati (“Dan barangsiapa yang membawa kejahatan”) yaitu syirik.

BERMAKNA



















Terkenal Di Langit Tidak Di Bumi

Seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al
Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit.

Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah“Uwais al-Qarni”Beliau tak dikenal orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduh beliau sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.


Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengan beliau, memberi beliau hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi  beliau terima lalu kembalikan lagi seraya berkata :“Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”.


Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya. Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya.


Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang  terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam.


Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.
Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata : “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.




Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli  penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya. Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”. Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan sedih.


Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rosulullah SAW, sayyidatina ‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Rosulullah SAW bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.”Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada  sayyidina Ali k.w. dan sayyidina Umar r.a. dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.


-Terjemah-


Sejak Rasulullah menyarankan keduanya untuk menemuinya, sejak itu pula keduanya selalu penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais. Setiap kali Umar maupun Ali bertemu dengan rombongan orang-orng Yaman, ia selalu berusaha mencaru tahu dimana keberadaan Uwais dari rombongan yang ditemuinya. Namun, keduanya selalu gagal mendapatkan informasi tentang Uwais. Barulah setalah Umar diangkat menjadi khalifah, informasi tentang Uwais keduanya perolih dari serombongan orang Yaman, “Ia tampak gila, tinggal sendiri dan tidak brgaul dengan masyarakat. Ia tidak makan apa yang dimakan oleh kebanyakan orang, dan tidak tampak susan atau senang. Ketika orang-orang tersenyum ia menangis, dan ketika orang-orang menangis ia tersenyum”. Demikian kata rombongan orang-orang Yaman tersebut. Mendengar cerita orang-orang Yaman tersebut, Umar dan Ali segera berangkat menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang-orang Yaman tadi.
Akhirnya, keduanya bertemu dengan Uwais di suatu tempat terpencul. Abi Naim al-Afshani menuturkan dialog yang kemudian terjadi antara Umar dan Ali dengan Uwai al-Qarani sebagai berikut:
Umar : Apa yang anda kerjakan disini ?
Uwais : Saya bekerja sebagai penggembala
Umar : Siapa nama Anda?
Uwais : Aku adalah hamba Allah
Umar : Kita semua adalah hamba Allah, akan tetapi izinkan kami untuk mengetahui anda lebih dekat lagi
Uwais : Silahkan saja.
Umar dan Ali : Setelah kami perhatikan, andalah orang yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW kepada kami. Doakan kami dan berilah kami nasehat agar kami beroleh kebahagiaan dunia dan di akherat kelak.
Uwais : Saya tidak pernah mendoakan seseorang secara khusus. Setiap hari saya selalu berdoa untuk seluruh umat Islam. Lantas siapa sebenarnya anda berdua.

Ali : Beliau adalah Umar bin Khattab, Amirul Mu’minin, dan saya adalah Ali bin Abi Thalib. Kami berdua disuruh oleh Rasulullah SAW untuk menemui anda dan menyampaikan salam beliau untuk anda.
Umar : Berilah kami nasehat wahai hamba Allah
Uwais : Carilah rahmat Allah dengan jalan ta’at dan penuh harap dan bertawaqal kepada Allah.
Umar :Terimakasih atas nasehat anda yang sangat berharga ini. Sebagai tanda terima kasih kami, kami berharap anda mau menerima seperangkat pakaian dan uang untuk anda pakai.

Uwais : Terimakasih wahai Amirul mu’minin. Saya sama sekali tidak bermaksud menolak pemberian tuan, tetapi saya tidak membutuhkan apa yang anda berikan itu. Upah yang saya terima adalah 4 dirham itu sudah lebih dari cukup. Lebihnya saya berikan kepada ibuku. Setiap hari saya cukup makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah makan makan yang di masak. Kurasa hidupku tidak akan sampai petang hari dan kalau petang, kurasa tidak akan sampai pada pagi hari. Hatiku selalu mengingat Allah dan sangat kecewa bila sampai tidak mengingat-Nya.
Ketika orang-orang Qaran mulai mengetahui keduduka spiritualnya yang demikian tinggi di mata Rasulullah saw, mereka kemudian berusaha untuk menemui dan memuliakannya. Akan tetapi, Uwais yang sehari-harinya hidup penuh dengan kesunyian ini, diam-diam meninggalkan mereka dan pergi menuju Kufah, melanjutkan hidupnya yang sendiri. Ia memilih untuk hidup dalam kesunyian, hati terbatas untuk yang selain Dia. Tentu saja, “kesunyian” disini tidak identik dengan kesendirian (pengasingan diri). Hakekat kesendirian ini terletak pada kecintaanya kepada Tuhan. Siapa yang mencintai Tuhan, tidak akan terganggu oleh apapun, meskipun ia hidup ditengah-tengah keramaian. Alaisa Allah-u bi Kafin abdahu?
Setelah seorang sufi bernama Harim bin Hayyam berusaha untuk mencari Uwais setelah tadak menemukannya di Qaran. Kemudian ia menuju Basrah. Di tengah perjalanan menuju Basrah, inilah, ia menemukan Uwais yang mengenakan jubah berbulu domba sedang berwudhu di tepi sungai Eufrat. Begitu Uwais beranjak naik menuju tepian sungai sambil merapikan jenggotnya. Harim mendekat dan memberi salam kepadanya.
Uwais : menjawab: “ Wa alaikum salam”, wahai Harim bin Hayyan.
Harim terkejut ketika Uwais menyebut namanya.
“Bagaimana engakau mengetahui nama saya Harim bin Hayyan?’ tanya Harim. “Roku telah mengenal rohmmu”, demikian jawan Uwais.

Uwais : kemudian menasehati Harim untuk selalu menjaga hatinya. Dalam arti mengarahkannya untuk selalu dalam ketaatan kepada-Nya melalui mujahadah, atau mengarahkan diri “dirinya “ untuk mendengar dan mentaati kata hatinya.
Meski Uwais menjalani hidupnya dalam kesendirian dan kesunyian, tetapi pada saat-saat tertentu ia ikut berpartisipasi dalam kegiatan jihad untuk membela dan mempertahankan agama Allah. Ketika terjadi perang Shiffin antara golongan Ali melawan Muawiyah, Uwais berdiri di golongan Ali. Saat orang islam membebaskan Romawi, Uwais ikut dalam barisan tentara Islam. Saat kembali dari pembebasan tersebut, Uwais terserang penyakit dan meninggal saat itu juga. (t.39 H).
Demikianlah sekelumit tentang Uais al-Qarani, kemudian hri namanya banyak di puji oleh masyarakat. Yunus Emre misalnya memujinya dalam satu sajak syairnya :
Kawan tercinta kekasih Allah;
Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani.
Dia tidak berbohong ; dan tidak makan makan haram
Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani

Di pagi hari ia bangun dan mulai bekerja,
Dia membaca dalam dzikir seribu satu malam Allah;
Dengan kata Allahu Akbar dia menghela unta-unta
Di tanah Yaman, Uwais alQarani

Negeri Yaman “negeri di sebelah kanan “, negeri asal angin sepoi-sepoi selatan yang dinamakan nafas ar-rahman, Nafas dari Yang Maha Pengasih, yang mencapai Nabi dengan membawa bau harum dari ketaatan Uwais al-Qarani, sebagaimana angin sepoi-sepoi sebelumnya yang mendatangkan keharuman yang menyembuhkan dari kemeja Yusuf kepada ayahnya yang buta. Ya’kub (QS, 12: 95), telah menjadi simbul dari Timur yang penuh dengan cahaya, tempat dimana cahaya muncul, yang dalam karya Suhrawadi menggambarkan rumah keruhanian yang sejati. “Negeri di sebelah kanan “ itu adalah tanah air Uwais al-Qarani yanag memeluk Islam tanpa pernah betemu dengan nabi. Hikmah Yamaniyyah, “Kebijaksanaan Yaman,” dan Hikmah Yamaniyyah,”filosofi Yanani”, bertentangan, sebagaimana makrifat intuitif dan pendekatan intelektual, sebagaimana Timur dan Barat.


-Terjemah-

Sunday, March 29, 2015

قمر سيدنا النبي

قمر سيدنا النبي
QAMARUN SIDNĀ AL-NABIY
Bagaikan Bulan Purnama Penghulu kami Nabi Muhammad SAW

وَأَجْمَلُ مِنْكَ لَمْ تَرَ قَطُّ عَيْنٍ، وَأَطْيَبُ مِنْكَ لَمْ تَلِدِ النِّسَاءُ
Yang lebih indah dari-Mu belum pernah dilihat mata
Yang lebih baik dari-Mu belum pernah dilahirkan wanita

خُلِقْتَ مُبَرَّأً مِنْ كُلِّ عَيْبٍ، كَأَنْكَ قَدْ خُلِقْتَ كَمَا تَشَاءُ
Dikau diciptakan suci daripada segala keaiban
Seolah-olah diri-Mu diciptakan sebagaimana yang Dikau kehendaki

قَمَرٌ.. قَمَرٌ.. قَمَرٌ سِيدْنَا النَّبى قَمَرٌ.. وَجَمِيْل.. وَجَمِيْل.. وَجَمِيْل سِيدْنَا النَّبِى وَجَمِيْل
قَمَرٌ.. قَمَرٌ.. قَمَرٌ سِيدْنَا النَّبى قَمَرٌ.. وَجَمِيْل.. وَجَمِيْل.. وَجَمِيْل سِيدْنَا النَّبِى وَجَمِيْل
Bulan Purnama.. Bulan Purnama.. Bulan Purnama Penghulu kami Nabi wahai Bulan Purnama
Keindahan.. Keindahan.. Keindahan Penghulu kami Nabi wahai Keindahan

وَكَفُّ الْمُصْطَفَى كَالْوَرْدِ نَادِى، وَعِطْرُهَا يَبْقَى إِذَا مَسَّتْ أَيَادِى
وَكَفُّ الْمُصْطَفَى كَالْوَرْدِ نَادِى، وَعِطْرُهَا يَبْقَى إِذَا مَسَّتْ أَيَادِى
Tapak tangan Baginda al-Mustafa seperti Mawar yang menakung
Keharumannya kekal apabila disentuh oleh tangan-tangan
Tapak tangan Baginda al-Mustafa seperti Mawar yang menakung
Keharumannya kekal apabila disentuh oleh tangan-tangan

وَعَمَّ نَوَالُهَا كُلَّ العِبَادِى، وَعَمَّ نَوَالُهَا كُلَّ العِبَادِى، وَعَمَّ نَوَالُهَا كُلَّ العِبَادِى
حَبِيْبُ اللهِ يَا خَيْرَ الْبَرَايَا
[Meliputi capaian ke atasnya oleh setiap umatnya [3x
Kekasih Allah SWT wahai sebaik-baik manusia

قَمَرٌ.. قَمَرٌ.. قَمَرٌ سِيدْنَا النَّبى قَمَرٌ.. وَجَمِيْل.. وَجَمِيْل.. وَجَمِيْل سِيدْنَا النَّبِى وَجَمِيْل
قَمَرٌ.. قَمَرٌ.. قَمَرٌ سِيدْنَا النَّبى قَمَرٌ.. وَجَمِيْل.. وَجَمِيْل.. وَجَمِيْل سِيدْنَا النَّبِى وَجَمِيْل
Bulan Purnama.. Bulan Purnama.. Bulan Purnama Penghulu kami Nabi wahai Bulan Purnama
Keindahan.. Keindahan.. Keindahan Penghulu kami Nabi wahai Keindahan

وَلَا ظِلُّ لَهُ بَلْ كَانَ نُوْرَا، تَنَالَ الشَّمْسُ مِنْهُ هُوَ الْبُدُوْرَ
وَلَا ظِلُّ لَهُ بَلْ كَانَ نُوْرَا، تَنَالَ الشَّمْسُ مِنْهُ هُوَ الْبُدُوْرَ
Tiada bayang Baginda kerana Baginda merupakan cahaya
Matahari mencapai cahaya dari Baginda kerana Baginda adalah Bulan Purnama
Tiada bayang Baginda kerana Baginda merupakan cahaya
Matahari mencapai cahaya dari Baginda kerana Baginda adalah Bulan Purnama

وَلَمْ يَكُنِ الْهُدَى لَوْلَاهُ ظُهُوْرَا، وَلَمْ يَكُنِ الْهُدَى لَوْلَاهُ ظُهُوْرَا، وَلَمْ يَكُنِ الْهُدَى لَوْلَاهُ ظُهُوْرَا
كُلُّ الْكَوْنِ أَنَارَ بِنُوْرِ طَــــــهَ
[Tiada hidayah sekiranya Baginda tiada [3x
Setiap alam semesta bercahaya kerana Baginda

قَمَرٌ.. قَمَرٌ.. قَمَرٌ سِيدْنَا النَّبى قَمَرٌ.. وَجَمِيْل.. وَجَمِيْل.. وَجَمِيْل سِيدْنَا النَّبِى وَجَمِيْل
قَمَرٌ.. قَمَرٌ.. قَمَرٌ سِيدْنَا النَّبى قَمَرٌ.. وَجَمِيْل.. وَجَمِيْل.. وَجَمِيْل سِيدْنَا النَّبِى وَجَمِيْل
Bulan Purnama.. Bulan Purnama.. Bulan Purnama Penghulu kami Nabi wahai Bulan Purnama
Keindahan.. Keindahan.. Keindahan Penghulu kami Nabi wahai Keindahan


Friday, March 27, 2015

AHLUS SUNNAH WAL-JAMAAH

Pengistilahan atau laqab “Ahli Sunnah wal-Jamaah” bermula pada akhir zaman sahabat. Ada yang menyatakan ia bermula apabila timbulnya zaman fitnah terutama fitnah yang berlaku antara Ali dan Mu’awiyah radiallahu ‘anhuma. Di mana setelah munculnya golongan ahli bid’ah seperti:

1 – Khawarij (Satu aliran yang sesat dan tergolong dalam golongan ahlul bid’ah. Berasal dari kata “kharaja” ertinya keluar. Suatu aliran atau kelompok Islam yang mana mereka (pada zaman bermulanya) ini mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah serta para pendukung keduanya. (Iaitu, mereka keluar dari ketaatan kepada pemerintah) Mereka disebut demikian kerana
menyatakan keluar dari kepemimpinan Ali setelah peristiwa Siffin. (al-Farq, al-Milal, Wasathiyah, hal. 290-291) Khawarij turut menyatakan bahawa pelaku dosa bear adalah kafir dan di akhirat kekal di dalam neraka. Mereka memerangi kaum muslimin (pemerintah atau rakyat kebanyakan) dan berpendapat bolehnya keluar dari jemaah pemerintah dan menubuhkan jemaah-jemaah yang lain sebagai tindakan membangkang. (Tafsirul ayatil Kursi, Sheikh al-Uthaimeen))

2 - Rafidhah (Berkata Imam Syafie: Aku tidak pernah mendapati seseorangpun dari Ahli Bid’ah yang sangat pembohong di dalam pengakuannya dan dalam saksi palsunya selain dari Rafidhah. Lihat: Al-Ibanatul Kubra 2/545), atau

3 - Syiah, (Adapun golongan Syiah dianggap ahli bid’ah kerana mereka ghulu (keterlaluan fanatiknya) kepada mereka yang dianggap imam oleh mereka. (1). Berkata Alqamah: Sesungguhnya Syiah ghulu terhadap Ali sebagaimana Nasrani ghulu terhadap Isa bin Maryam. Lihat: As-Sunnah 2/548. (2). Amir Asy-Sya’bi berkata: Aku tidak pernah mendapati suatu kaum yang sangat dungu (bebal) dari Syiah. Lihat: Minhajus Sunnah. 1/22. Ibn Taimiyah) Jahmiyah, (Qadhi Abi Yusuf berkata: Aku tidak sudi solat di belakang Jahmiyu, Rafidhi dan Qadari. Lihat: Syarah Usul Iktiqad Ahlu Sunnah 4/733. Al-Lalikaii. Berkata: Muhammad bin Yusuf al-Firaby: Aku tidak melihat Rafidhah dan Jahmiyah melainkan mereka adalah orang-orang zindiq. Lihat: Syarah Usul Iktiqad Ahlus Sunah. al-Laalikai’i)

4 – Qadariyah, (Satu aliran yang sesat dan tergolong dalam golongan ahlul bid’ah. Berasal dari kata “qadar”, yang ertinya ketentuan Ilahi. Aliran ini tidak mengakui adanya qadar tersebut dan mengatakan manusialah yang menentukan nasibnya sendiri dan dialah yang membuat perbuatannya, terlepas dari qudrat serta iradat Ilahi. Termasuk dalam aliran ini, adalah juga golongan yang dipanggil sebagai Muktazilah, kerana turut memiliki pandangan (fahaman) yang sama dalam hal ini. (Rujuk al-Farq bainal Firaq, al-Milal wan Nihal, jil. I, Wasathiyah Ahlus Sunnah, hal. 378))
dan se-umpamanya, yang mana mereka terkenal dengan bid’ah-bid’ahnya dan banyak perselisihannya dalam persoalan hadis dan makna-makna al-Quran. Untuk membezakan antara golongan yang sunnah dan bid’ah maka para ulama hadis menentukan siapa Ahli Sunnah dan siapa Ahli Bid’ah agar mudah dan hanya diambil sanad atau matan sesebuah hadis dari Ahli Sunnah wal-Jamaah sahaja.

Berkata Ibn Hazam rahimahullah:
“Ahli Sunnah yang kami nyatakan, mereka adalah Ahlul Haq dan selain mereka adalah Ahli Bid’ah. (Ahlul Haq) adalah para sahabat radiallahu ‘anhum serta sesiapa yang mengikut jalan mereka, terutamanya para tabi’in rahmatullah ‘alaihim. Kemudian Ashabul Hadis dan sesiapa yang mengikut mereka dari kalangan fuqaha (Ahli Fikah) dari satu generasi ke satu generasi berikutnya sehinggalah ke hari ini. Begitu juga sesiapa yang mencontohi mereka dari kalangan orang-orang awam sama ada di timur atau di barat”. (Lihat: al-Fasl, 2/113, Ibnu Hazam)
Imam Ahmad rahimahullah berkata:
اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ : مَنْ يَعْتَقِدُ مَذْهَب اَهْلَ الْحَدِيْثِ
“Ahli Sunnah wal-Jamaah ialah: Sesiapa sahaja yang berpegang dengan mazhab Ahli Hadis”. (Lihat: Syarah Muslim. 13/66. an-Nawawi)

Imam al-Bukhari rahimahullah mengkhususkan Ahli Sunnah Wal-Jamaah ialah Ahli Ilmu. (Lihat: Syarah Sahih Muslim, 13/66. an-Nawawi)

Berkata pula Imam Ahmad rahimahullah:
اِنْ لَمْ يَكُوْنُوْا اَهْل الْحَدِيْثِ فَلاَ اَدْرِيْ مَنْ هُمْ
“Jika sekiranya mereka (Ahli Sunnah wal-Jamaah) bukan kalangan Ahli Hadis, aku tidak tahu siapa mereka?”.

Ada yang menyatakan bahawa bermula munculnya istilah Ahli Sunnah wal-Jamaah apabila lahir golongan ahli bid’ah. Dengan bersandar kepada hadis-hadis dan athar maka bermula seruan agar bersatu dalam satu jamaah dengan berpegang kepada sunnah, di peringat dari pertelingkahan dalam agama dan sama sekali tidak melakukan bid’ah dalam agama. (Lihat Ibn Taimiyah wa-Tasawuf. Hlm. 8. Dr. Mustafa Helmi. Catakan 1982. Mesir) Seruan ini diperkuat dengan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam:

فَاِنَّهُ مِنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةِ شِبْرًا فَمَاتَ اِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Sesungguhnya sesiapa yang meninggalkan jamaah dengan kadar sejengkal maka ia mati, tidaklah kematiannya itu kecuali ia mati secara jahiliyah”. (H/R Bukhari 5/12. Kitab al-Fitan. No. 7054)

Akhirnya julukan Ahli Sunnah wal-Jamaah diberikan kepada sesiapa sahaja yang kembali kepada al-Quran, Sunnah dan ijmak ulama yang dikenali kebenaran pegangan dan pendiriannya. Terutama mereka yang jelas berpegang dengan aqidah yang dinukil dari para Salaf as-Soleh rahimahumullah yang diterima langsung dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam dan dari para sahabat radiallahu ‘anhum. (Lihat: الرد على من انكر الحرف والصوت hlm. 99. Abi Nasr) Kerana kita diperintahkan untuk mencontohi athar mereka (para sahabat) dan berittiba’ kepada sunnah mereka. (Lihat: الرد على من انكر الحرف والصوت hlm. 99. Abi Nasr)

Namun gelaran ini diutamakan kepada sesiapa sahaja yang berpegang kepada manhaj Salaf as-Soleh secara umum, yang sentiasa menentang ahli bid’ah di manapun mereka berada, pada bila-bila masa dan ketika sehinggalah keakhir zaman.

ISTILAH AHLI SUNNAH WAL-JAMAAH
Istilah “Ahli Sunnah wal-Jamaah” terdiri dari tiga kalimah iaitu: Ahli, Sunnah dan al-Jamaah.
“Ahli” mengikut bahasa bermaksud:

1 - "Pakar, Yang Berilmu, Yang Ahli atau Yang Pandai" sebagaimana firman Allah:

فَسْئَلُوْا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui". (Al-Anbiya, 21: 7)

2 - "Pengikut, Anggota Satu-Satu Fahaman Atau Kumpulan”, sebagaimana firman Allah:

يَا اَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَكْفُرُوْنَ بِاَيَاتِ اللهِ
"Wahai Ahli Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah padahal kamu mengetahui kebenarannya!". (Ali-Imran, 3:70)

وَاْمُرْ اَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan solat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya". (Thoha, 20: 132)
Antara contoh yang lain ialah:
“Ahli Pertubuhan, Ahli Parlimen, Ahli Mazhab, Ahli Sukan” dan sebagainya.

PENGERTIAN SUNNAH

1 - Menurut istilah,
kalimah sunnah ialah berasal dari: “Sanna - سَنَّ”. (Lihat:معجم مقاييس اللغة 3/60) Sunnah menurut bahasa ialah: at-Tariqah (الطريقة) “Jalan atau cara” (Lihat: لسان العرب - مادة (سنن) 13/226)
Disebut juga سُنُنه : نَهجه - سُننه  سِننه iaitu manhajnya. (Lihat: لسان العرب - مادة (سنن) 13/226) Atau sunnah bermaksud sirah (السيرة) "Sirah". (Lihat: (1). مختار الصحاح Hlm. 133. ar-Razi (2). Inilah takrif yang diberikan oleh Ibn Athir dalam النهاية فى غريب الحديث قى مادة : (سنن) ,Jld. 2. Hlm. 409)
Disebut dalam kamus “Lisanul Arab” sebagai berikut:
اَلسُّنَّةُ هِيَ الطَّرِيْقَهُ ، مَحْمُوْدَةٌ كَانَتْ اَمْ مَذْمُوْمَةٌ
“As-Sunnah: Jalan, sama ada yang terpuji (baik) atau yang keji (buruk)”. (Lihat: لسان العرب - مادة (سنن))

2 - Sunnah menurut syara’ (istilah),
"Apa yang diambil (diterima, dinukil, dipindah dan diriwayatkan) dari Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa-sallam dan para sahabat baginda tentang akidah dan amal". (Lihat:لمعة الاعتقاد الى سبيل الرشاد Hlm. 40. al-Uthaimin) Atau: "Cara (jalan) yang dicontohkan oleh Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam yang dibina (diambil) dari kitab Allah Ta'ala (al-Quran), sunnah Rasul-Nya dan jalan yang ditempuh oleh para sahabat sekalian yang telah diijmakkan oleh mereka". (Lihat: اهل السنة والجماعة ومنهج الاشاعرة فى توحيد الله تعالى Juz. 1/21. Khalid Abdul Latif)
Berkata Ibn Taimiyah rahimahullah:
اَلسُّنَّةُ هَيَ مَا قَامَ الدَّلِيْلُ الشَّرْعِيّ عَلَيْهِ
“as-Sunnah ialah: Apa yang telah ditegakkan dalil syar’i di atasnya”. (Lihat: مجموع الفتاوى 12/317. Ibnu Taimiyah)
Menurut ulama usuluddin (aqidah):
“Sunnah ialah hidayah (petunjuk) yang telah ditunjuk ajar oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam dan para sahabat baginda, sama ada yang berupa ilmu, iktiqad (kepercayaan), perkataan atau perbuatan yang wajib kita ikuti. Diberi pahala orang yang mengikutinya dan berdosa orang yang menentangnya”. (Lihat: مباحث فى عقيدة اهل السنة hlm. 13. Dr. Nasir bin Abdulkarim al-‘Aql)

Sunnah secara khusus dimaksudkan sebagai apa dan siapa sahaja yang bertentangan dengan bid’ah dan Ahli Bid’ah. Seperti Syiah, Khawarij, Jahmiyah, Mu’tazilah, Murjiah, Asya’irah dan yang seiring dengan mereka dari kalangan Ahli Bid’ah. Mereka sama sekali tidak termasuk dalam kalangan Ahli Sunnah.

Sunnah secara umum pula bermaksud: Mengikut (para pengikut) sunnah dan petunjuk Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam batin dan zahir. Mengikut (pengikut) jalan orang-orang yang mula-mula dan awal-awal dari kalangan Muhajirin dan Ansar. Pengikut wasiat Rasulullah yang mana baginda bersabda:
“Berpeganglah kamu sekalian kepada sunnahku dan sunnah Khalifah ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk selepasku, pegang dan gigitlah dengan gigi geraham, berjaga-jagalah kamu dari benda-benda yang baru maka sesungguhnya setiap yang baru itu bid’ah dan setiap yang bid’ah itu sesat”.

Dengan maksud umum dari hadis di atas ini, bermakna bahawa al-Quran, hadis Nabi, athar-athar salaf termasuk apa yang dinamakan sebagai sunnah.

Yang paling penting dan utama ialah pengertian sunnah mengikut Salaf as-Soleh. Ia dimaksudkan:
هِيَ مَاكَانَ عَلَيْهِ النَّبِيِّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَصْحَابهُ اِعْتِقَادًا وَاقْتِصَادًا ، قَوْلاً ، وَعَمَلاً
“Sunnah ialah apa yang seperti Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam dan para sahabat baginda, sama ada iktiqad (aqidah), iktisad, ucapan dan perbuatan (amalan)”. (Lihat: جامع العلوم والحكم Hlm. 230. Abi Faraj Abdulrrahman ibnu Syahibuddin bin Ahmad bin Rejab al-Hambali al-Bagdadi. Lihat: مجموع الفتاوى19/306, Ibnu Taimiyah)

Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata:
“Lafaz sunnah, dimaksudkan darinya ialah sesiapa yang telah mentsabitkan (menetapkan) kekhalifahan tiga Khalifah, termasuk dalam perkara tersebut ialah semua golongan kecuali ar-Rafidhah”. (Lihat: منهاج السنة النبوية 2/221. Ibnu Taimiyah)
Berkata Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah:
اُصُولُ السُّنَة عِنْدَنَا : اَلتَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ اَصْحَابُ رَسُوْل اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . ثُمَّ ذَكَرَ جُمْلَة عَقَائِدَ السَّلَف
“Asas Sunnah menurut kami: Berpegang seperti mana yang dipegang oleh para sahabat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam. Kemudian beliau menyebut sejumlah pegangan-pegangan Salaf”. (Lihat: شرح اصول اعتقاد اهل السنة Hlm. 1/156 al-Laalikai’i)

Berkata Imam Syafie rahimahullah:
اَلْقَوْلُ فِى السُّنَّةِ الَّتِيْ اَنّا عَلَيْهَا ، وَرَاَيْتُ اَصْحَابَنَا عَلَيْهَا اَهْلَ الْحَدَيْثِ الَّذِيْنَ رَاَيْتهُمْ ، مِثْل سُفْيَان ، وَمَالِك وَعَيْرهُمَا : اَلاِقْرَارُ بِشَهَادَةِ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ، وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَاَنَّ اللهَ عَلَىعَرْشِهِ وَاَنَّ اللهَ يَنْزِلُ اِلَىالسَّمَآء الدُّنْيَاكَيْفَ يَشَآء
“Perkataan sunnah yang kami di atasnya dan juga aku lihat para sahabat kami di atasnya ialah ahli hadis yang mana kami telah temui mereka dan saya ambil hadis dari mereka. Seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya yang mana mereka berikrar dengan persaksian: Tiada tuhan yang wajib diibadahi kecuali Allah dan sesungguhnya bahawa Muhammad Rasulullah. Berikrar bahawa Allah bersemayam di atas arasy-Nya dan Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang Ia kehendakinya”. (Lihat: اجتماع الجيوش الاسلامية على غزو الُمعطلة والجهمية Hlm 59. Ibnu Qaiyim al-Jauziyah. Darul Ma’rifah)

PENGERTIAN AL-JAMAAH
al-Jamaah sebagai yang warid menurut pengistilahan Ahli Sunnah wal-Jamaah ialah: Makna Jamaah di segi bahasa: Dari kata جمع. Dikatakan: جمع المتفرقة “Menyatukan yang berpecah-belah”. Dan الجماعة ضد الفرقة “Jamaah lawannya berpecah-belah”. (Lihat: (1). Lisan al-Arab, 8/53(مادة جمع). Lihat: (2). مجموع فتاوى 3/157 Ibn Taimiyah)
Lafaz jamaah terdapat di beberapa hadis sahih, antaranya sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam:
يَدُ الله مَعَ الْجَمَاعَة
“Tangan Allah bersama Jamaah”. (H/R Tirmizi dalam Sunannya 6/334. كتاب الفتن – باب فى لزوم الجماعةDiriwayatkan oleh Hakim dalam Mustadrak 1/115, 116 كتاب العلم)
كُلُّهَا فِى النَّار اِلاَّ وَاحِدَة وَهِيَ الْجَمَاعَة
“Semuanya di neraka kecuali satu iaitu jamaah”. (H/R al-Hakim dalam al-Mustadrak, 1/128. Kitabul Ilm. Disahihkan oleh Ibn Majah sebagaimana menurut al-Albani, 2/364. Kitab al-Fitn)
al-Jamaah juga secara bahasa diambil dari kalimah (الجمع)al-Jam’u iaitu:

Pertama: al-Jamaah bermaksud:
(1). Mengumpulkan atau menyatu-padukan yang berpecah-belah (bercerai-berai). (Lihat: (1). منهج اهل السنة والجماعة 1/20. Khalid bin Abdul Latif. (2). القاموس المحيط . مادة : (حمع) Hlm. 917. al-Fairuz Abadi)
(2). Bersatu dan lawannya berpecah-belah.
(3). Perkumpulan manusia yang bersatu untuk tujuan yang sama". (Lihat: (1) مجموعة فتاوى Jld. 3. Hlm. 157. (2).المعجم الوسيط . مادة : (جمع) Jld. 1. Hlm. 135)

Kedua: Golongan yang terbesar atau yang paling ramai(السواد الاعظم) dari kalangan umat Islam. (Lihat: H/R at-Thabari dalam "Al-Kabir" (1/320)) Termasuk juga para ahli ilmu, imam-imam mujtahid (Inilah yang diutamakan oleh Imam Bukhari, lihat dalam Sahihul Bukhari 13/316. Fathul Bari bab:وكذالك جعلناكم امة وسطا Dan lihat: Sunan at-Tirmizi. 6/335) dan para awliya.

Ketiga: Golongan para ulama yang mujtahid. ((1). Ini kata-kata 'Amru bin Qais dalam الابانة2/492. Ibn Battah (2). Perkataan Bukhari di dalam kitab sahihnya (13/328). (3). Turmizi dalam sunnannya (4/467))

Keempat: Setiap Umat Islam yang bersatu di bawah satu amir (pemerintah Islam). (Lihat: الاعتصام Jld. 2. Hlm. 263. As-Syatibi. Fathul Bari 13/38)

Kelima: Secara khususnya ialah para sahabat Nabi Muhammad. (Inilah yang dijelaskan oleh al-Barbahari dalamشرح السنة Hlm. 22) Pengertian ini diambil dari sabdanya:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ
"Hendaklah kamu kembali kepada sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk". (H/R Ahmad 4/162. Abu Daud 5/13. Turmizi 7/437 dan Ibn Majah 1/15)
Keenam: Setiap mukmin yang mengikut kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad (Lihat: شرح السنة Hlm. 22. al-Barbahari) walaupun seorang diri sebagaimana athar sahih di bawah ini:
اَلْجَمَاعَةُ : هِيَ الَّتِيْ مَا اَنَا عَلَيْهِ وَاَصْحَابِيْ
“Al-Jamaah: Iaitu yang serupa dengan apa yang ada pada diriku dan para sahabatku”. (Lihat: تحفة الاحوذى7/399-340. Berkata Turmizi: Hadis ini hasan dan gharib. Lihat: سلسلة الاحاديث الصحيحة No. 203 atau 1192. Syeikh al-Albani)
Berkata Imam asy-Syatibi rahimahullah berkaitan hadis di atas:
“Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam tidak menjelaskan firqah (golongan) yang berjaya kecuali menunjukkan sifat mereka. Tidak dikatakan misalnya: “Aku dan sahabat-ku”. Tetapi disebut sifatnya (manhajnya), iaitu: “Apa yang ada pada aku (seperti manhaj aku) dan para sahabatku”. Tidak diragukan lagi bahawa para sahabat termasuk apa yang disifatkan oleh baginda (tentang kesempurnaan manhajnya. Pent)”. (Lihat:الاعتصام 2/287-289. Asy-Syatibi)
Beliau meneruskan lagi:
“Ini bermakna kemenangan tidak dikhususkan kepada sesiapa yang telah berlalu sebaliknya meliputi setiap yang mendatangkan (mengikut/mencontohi) sifat-sifat golongan yang berjaya sehinggalah ke Hari Kiamat”. (Lihat: الاعتصام 2/287-289. As-Syatibi)
Contoh Jamaah yang berjaya tentulah Jamaah Nabi dan para sahabat baginda sebagaimana disebut:
اَلْجَمَاعَةُ : هِيَ الَّتِيْ عَلَى مِثْلِ مَا اَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَاَصْحَابِيْ
“al-Jamaah: Ia adalah yang berada di atas contoh (seperti) apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya pada hari ini”. (as-Sahihah No. 203 dan 1492)
Berkata Abu Syamah rahimahullah:
“Setelah datang perintah agar sentiasa dalam jamaah maka yang dimaksudkan dengan jamaah ialah sentiasa komitmen (iltizam) mengikut kebenaran dan berjamaah, sekalipun yang berpegang dengan kebenaran itu sedikit dan yang menentangnya ramai. Kerana kebenaran yang sebagaimana pada jamaah pertama dari golongan para nabi dan para sahabat tidak pernah terkesan walaupun melihat kepada banyaknya ahli batil semasa atau selepas mereka”. (Lihat:الباعث على انكار البدع والحوادث hlm. 22. Abu Syamah. Tahqiq Uthman Ahmad ‘Ambar. Cetakan pertama Mesir)
Kenyataan Abu Syamah amat bersesuaian dengan apa yang dijelaskan oleh Ibn Masoud radiallahu ‘anhu:
اِنَّ جُمْهُوْر النَّاسِ فَارِقُوْا الْجَمَاعَة ،وَانَّ اَلْجَمَاعَة مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَاِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ
"Sesungguhnya kebanyakan manusia akan meninggalkan Jamaah, sesungguhnya Al-Jamaah ialah apabila mengikuti kebenaran sekalipun engkau hanya seorang diri (keseorangan)." (Lihat: Riwayat Baihaqi. al-Madkhali. الحوادث والبدع Hlm. 22. Abu Syamah. Disahihkan oleh Sheikh al-Albani. Lihat: الباعث على انكار البدع والحوادث hlm. 91-92. Tahqiq Masyhur bin Hasan Salman. Lihat: Syarah Usul iktiqad. No. 160. al-Laalikai’i)
Berkata Abu Syamah rahimahullah:
“Apabila telah datang perintah agar komitmen kepada al-Jamaah, yang dimaksudkan dengannya ialah beriltizam pada al-Hak (kebenaran) dan mengikutinya, walaupun yang berpegang kepada kebenaran amat sedikit, yang meninggalkannya amat banyak. Kerana kebenaran yang berada bersama pada Jamaah yang pertama bersama Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam serta para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah melihat kepada ramainya ahli batil sesudah mereka”. (Lihat: الباعث علىابكارالبدع والحوادث Hlm. 22 Abu Syamah Ditahqiq: Uthman Ahmad ‘Anbar. Cetakan Pertama 1978 Mesir)
Berkata juga Naim bin Hammad:
اَي اِذَا فَسَدَتِ الْجَمَاعَة ، فَعَلَيْكَ بِمَا كَانَتْ عَلَيْهِ الْجَمَاعَة قَبْلَ اَنْ تَفْسَدَ ، وَاِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ ، فَاِنَّكَ اَنْتَ الْجَمَاعَةَ حِيْنَئِذٍ
“Iaitu apabila telah rosak sekalian jamaah maka bagimu mengikut sebagaimana jamaah yang belum rosak sekalipun engkau seorang diri kerana bahawasanya engkau dikala itu dalam jamaah”. (Lihat: اعلام الموقعين 3/397. Ibnu Qaiyim)
Oleh yang demikian Ibnu Qaiyim berkata:
“Keseluruhan manusia dizaman Imam Ahmad bin Hambal telah tergelincir hatinya (شذ) kecuali sedikit yang masih di atas kebenaran maka yang sedikit itulah yang dalam Jamaah. Yang diketika itu para kadi (gabenor/pembesar), para mufti dan Khalifah mereka semua telah tergelincir (akidah mereka) hanya Imam Ahmad seorang sahaja dalam Jamaah”. (Lihat:اعلام الموقعين 3/397. Ibnu Qaiyim)
Imam Ahmad, pada zamannya dianggap dalam Jamaah walaupun keseorangan dalam menegakkan kebenaran, yang mana beliau mempertahankan kebenaran bahawa “Al-Quran itu adalah Kalamullah bukan makhluk”. Beliau ditentang oleh seluruh kadi, mufti dan Khalifah yang sudah rosak pemahamannya kerana meyakini bahawa al-Quran itu makhluk. Menurut pengertian dan hakikat Jamaah maka Imam Ahmad tetap dalam Jamaah kerana beliau berada di dalam kebenaran dan mempertahankannya. Dengan ini jelaslah bahawa kebenaran itu adalah al-Quran dan as-Sunnah. al-Jamaah adalah sesiapa yang kembali kepada kebenaran (al-Quran dan as-Sunnah) mengikut manhaj para sahabat kerana para sahabat sentiasa memelihara dan mengikut kebenaran yang diturunkan kepada Rasullullah yang berupa al-Quran dan as-Sunnah. Allah berfirman:
اَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
"Kebenaran itu dari Tuhanmu sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu". (al-Baqarah, 2: 147)
Dari ayat inilah Ibn Qaiyim rahimahullah berpendirian bahawa Imam Ahmad rahimahullah adalah contoh ketabahan ulama yang mempertahankan Jamaah walaupun kebanyakan dari mereka telah menyeleweng. Ini ditegaskan oleh beliau dalam ucapannya:
“Telah menyimpang manusia semuanya pada zaman Imam Ahmad bin Hambal kecuali beberapa orang sahaja yang masih dalam Jamaah. Di mana para kadi di masa itu dan para mufti serta khalifah dan pengikut mereka semuanya telah menyimpang namun Imam Ahmad bersedirian dalam Jamaah”. (Lihat: اعلام الموقعين 3/397. Ibnul Qaiyim)
Antara penafsiran yang paling tepat (rajih) tentang "Jamaah" ialah:
"Mereka yang tergolong dari kalangan sahabat kerana sentiasa di atas kebenaran, ahlinya dan golongan yang teramai (السواد الاعظم) mengikut fahaman salaf yang paling hak". (Lihat: اهل السنة والجماعة ومنهج الاشاعرة فى توحيد الله تعالى. 1/ 23)
Dengan ini sesiapa yang mengikut manhaj para sahabat dengan baik maka ia digolongkan sebagai al-Jamaah. Ada pun antara nama-nama jamaah yang diberikan namanya oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam ialah:
Ahli al-Hadis atau Ahli al-Athar. (Lihat: مقالات الاسلاميين 1/290 Abu al-Hasan Ali Bin Ismail al-Asy’ari)
Digelar Ahli Hadis kerana beramal dan menyibukkan diri mereka dengan hadis Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam. Dan digelar Ahli Athar kerana mereka para sahabat Nabi yang paling memahami hadis, mengamalkan, paling mengetahui untuk membezakan antara yang hak dengan yang batil dan sentiasa berhujjah dengan hadis.
Berkata Ibn Qaiyim rahimahullah:
"Ahli Hadis adalah golongan yang paling benar sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Mubarak: Aku dapati agama berada pada ahli hadis, kecelaruan pemikiran pada golongan Muktazilah, pembohongan pada ar-Rafidhah dan banyak berhelah pada Ahli ar-Rakii". (Lihat: Bahaya Taqlid Buta & Ta'sub Mazhab. Hlm. 81. Rasul)
Berkata Abdul Qadir Jailani rahimahullah:
“Sesungguhnya Ahli Sunnah, mereka tidak mempunyai nama kecuali nama yang satu iaitu Ashabul Hadis”. (Lihat: الغنية لطالبي طريق الحق 1/71 Abdulqadir Jailani. Darul Ma’rifah. Bairut. Cetakan kedua)
2 - Firqah an-Najiyah, Firqah al-Mansurah atau at-Thoifah an-Najiyah, at-Thoifah al-Mansurah. Berkata Ibn Taimiyah:
"Apa yang dikatakan Firqah an-Najiyah ialah pengikut para sahabat Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam. Ia adalah syiar (Ahli sunnah). Dinamakan Firqah an-Najiyah kerana mereka itu terdiri dari Ahli Sunnah". (Lihat: منهاج السنة Jld. 3. Hlm. 457. Ibn Taimiyah)
3 - Ahli Ittiba'. Dinamakan Ahli Ittiba' kerana berittiba' (mentaati) al-Quran, as-Sunnah serta athar para sahabat.
Al-Guraba' (الغرباء) bermaksud: "Golongan yang aneh, asing, luar biasa, dagang atau sedikit":
بَدَاَ اْلاِسْلاَمُ غَرِيْبًا سَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأ فَطُوْبَى للغُرِبَاءِ
"Islam itu bermula dengan aneh maka akan kembali menjadi aneh maka berbahagialah orang yang aneh". (H/R Muslim)
عَنْ سُفْيَانِ الثَّوْرِيِّ اَنَّهُ قَالَ: اِسْتَوْصُوْا بِاَهْلِ السُّنَّةِ خَيْرًا فَاِنَّهُمْ غُرَبَاءُ
"Sufyan ath-Thauri berkata: Berwasiatlah kepada Ahli Sunnah dengan kebaikan kerana mereka ghuraba".
Paling tepat dinamakan al-Jamaah ialah: “Mereka yang termasuk dalam nama-nama yang berkaitan dengan Jamaah Islamiyah yang mengikuti manhaj para sahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in dengan baik, terutama para ulama mujtahid yang berpegang kepada al-Kitab dan as-Sunnah”. (Lihat: منهج اهل السنة والجماعة ومنهج الاشاعرة فى توحيد الله تعالى Juz 1, Hlm.23) Gelaran Ahli Sunnah wal-Jamaah muncul diakhir zaman sahabat.
Imam Malik rahimahullah ketika ditanyakan kepada beliau siapa Ahli Sunnah, beliau menjawab:
اَهْلُ السُّنَّةِ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ لَقْبٌ يُعْرَفُوْنَ بِهِ ، لاَ جَهْمِيُّ وَلاَ قَدَرِيٌّ وَلاَرَافِضِيٌّ
“Ahlu Sunnah adalah mereka yang tidak memiliki gelaran tertentu yang mereka dikenali dengan gelaran tersebut. Mereka bukan Jahmiyah, bukan Qadariyah dan bukan Rafidhah”. (Lihat: الانتقاء hlm. 35. Ibn Abdil Barr)
Selain yang bermanhaj Salaf, mereka adalah Ahli Bid’ah. Keterangan ini diambil dari athar Ibn Abbas apabila menafsirkan Firman Allah (Lihat: منهج اهل السنة والجماعة ومنهج الاشاعرة فى توحيد الله تعالى1/23):

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ
"Pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam muram". (Ali-Imran, 3: 106)
Menurut Ibn Abbas radiallahu ‘anhu:
"Orang yang putih berseri mukanya ialah Ahli Sunnah wal-Jamaah dan Ulul al-Ilm dan yang hitam muram mukanya ialah ahli bid'ah atau orang yang sesat". (Lihat: منهج اهل السنة والجماعة ومنهج الاشاعرة فى توحيد الله تعالى 1/23)
Dan sesiapa yang meninggalkan manhaj Salaf as-Soleh adalah firqah yang terkeluar dari Ahli Sunnah wal-Jamaah kerana Rasulullah bersabda:
لَتَفْتَرِقَنَّ اُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِى النَّارِ . قِيْلَ : مَنْ هُمْ ؟ قَالَ : اَلْجَمَاعَة
“Akan berpecah umatku kepada 73 firqah, hanya satu ke syurga dan 72 ke neraka. Baginda ditanya: Siapa mereka? Baginda bersabda: Al-Jamaah". (H/R Ibn Majah (2/1322). Hadis ini disahihkan oleh al-Haitimi dalam (الزوائد).Disahihkan juga oleh al-Iraqi di dalam kitab
تلخيص الاحياء))
Dalil yang menjelaskan hanya yang berpegang kepada al-Quran, as-Sunnah, athar dan bermanhaj Salaf as-Soleh berhak dinamakan Ahli Sunnah wal-Jamaah yang berdasarkan hadis:
مَا اَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَاَصْحَابِيْ
"(al-Jamaah) ialah sesiapa yang seperti aku hari ini dan para sahabatku". (Lihat: H/R Turmizi. (تحفة الاحوذى) (7/399-240))
Diperintahkan agar bermanhaj akidah dan amal seperti manhajnya para sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in kerana mereka para salaf yang wajib diikuti manhajnya. Firman Allah:
وَكُوْنُوْا مَعَ الصَّادِقِيْنَ
"Hendaklah kamu bersama orang-orang siddiqin". (Thaha, 20: 119)
Yang dimaksudkan syuhada, solehin dan siddiqin adalah para sahabat kerana mereka adalah golongan Salaf sebenar. Dan bermanhaj Salaf adalah suruhan al-Quran. Firman Allah:
وَاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ
"Ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepadaKu". (Luqman, 31: 15)
Mereka yang kembali ke jalan Allah tentulah Rasulullah dan para sahabat kerana mereka mematuhi firman Allah:
اِتَّبِعُوْا مَا اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ اَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ
"Ikutlah oleh kamu apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikit dari kamu mengambil pelajaran". (al-A’raf, 7: 3)
"Mengikut apa yang telah diturunkan" ialah kembali kepada wahyu. Wahyu ialah al-Quran dan sunnah Rasulullah berdasarkan firman Allah:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى اِنْ هُوَ اِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
"Tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu wahyu yang diwahyukan". (an-Najm. 54:3-4)
“Adapun syiar Ahli Sunnah wal-Jamaah itu ialah mengikuti (manhaj) Salaf as-Soleh dan meninggalkan segala bentuk bid’ah serta perkara-perkara baru yang dimasukkan ke dalam agama”. (Lihat: الحجة فى البيان المحجة 1/364. Al-Asbahani)
SUNNAH LAWANNYA BID'AH
Pencinta bid'ah (مُبْتَدِعٌ) tidak dinamakan Ahli Sunnah kerana sunnah berlawanan dengan bid’ah. Ahli Sunnah sentiasa menjauhi perbuatan bid'ah. Syeikh Abdul Rahman as-Su'di berkata:
فَاَهْلُ السُّنَّةِ السَّالِمُوْنَ مِنَ الْبِدْعَةِ الَّذِيْنَ تَمَسَّكُوْابِمَاكَانَ عَلَيْهِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَصْحَابه فِى اْلاُصُوْلِ كُلِّهَا
"Ahli Sunnah ialah mereka yang menyelamatkan diri mereka dari bid'ah, mereka benar-benar bepegang dengan apa yang ada (dicontohkan) pada Nabi sallallahu 'alaihi wa-sallam dan para sahabat dalam keseluruhan perkara pokok". (Lihat: الفتاوى السعدية hlm. 63. Abdul Rahman an-Nasr as-Su'di)
تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ مَا لَنْ تَضِلُّ بَعْدَهُ اِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ ، كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ
"Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kamu dua perkara, tidak akan sesat buat selama-lamanya selagi berpegang dengan keduanya iaitu Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya". (H/R Muslim, 2137, al-Haj. Abu Daud, 1628. al-Manasik. Ibn Majah 3060 al-Manasik)
Menurut Ibnu Taimiyah rahimahullah, sunnah sentiasa berlawanan dengan bid’ah dan memerangi ahli bid’ah adalah jihad:
اَنَّ الرَّادَ عَلَى اَهْلِ الْبِدَعِ مُجَاهِد
“Sesungguhnya menentang Ahli Bid’ah adalah suatu jihad”. (Lihat: مجموع الفتاوي 4/13. Dan rujuk: الرد على الرد المخلف Hlm. 39. Syeikh Bakr Bin Abdullah Abu Zaid)
Berkata salah seorang dari imam Salaf Yahya bin Yahya rahimahullah:
اَلذَّبُّ عَنِ السُّنَّةِ اَفْضَلُ مِنَ الْجِهَادِ
“Membela (mempertahankan) sunnah lebih mulia dari berjihad”. (Lihat: مجموع الفتاوي 4/13. Dan rujuk: الرد على الرد المخلف Hlm. 39. Syeikh Bakr)
Menurut ahli ilmu, sunnah lawannya bid'ah dan jamaah lawannya firqah (perpecahan). Lahirnya gelaran ahli Sunnah wal-Jamaah lantaran munculnya ahli Ahwa. (Lihat: اهل السنة والجماعة ومنهج الاشاعرة فى توحيد الله تعالى, 1/24. Khalid Abdul Latif) Mereka dikenali sebagai ahli bid'ah (mubtadi’), “Pembuat Bid’ah” . Penentangan ahli sunnah terhadap ahli bid'ah bermula sejak kelahiran ahli bid'ah dan tidak pernah berkesudahan sehinggalah ke hari ini. Ahli bid’ah adalah firqah yang berpecah. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah:
اِنَّ اَهْلَ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا فِى دِيْنِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةٍ وَاِنَّ هَذِهِ اْلاُمَّةِ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةٍ كَلُّهَا فِى النَّارِ اِلاَّ وَاحِدَة وَهِيَ الْجَمَاعَة
"Sesungguhnya Ahli Kitab berpecah dalam agama mereka kepada 72 millah. Sesungguhnya umat ini akan berpecah kepada 73 millah semuanya ke neraka kecuali yang satu iaitu al-Jamaah. (H/R Ibn Majah (2/1322). Ibn Abi 'Asim dalam Sunnah hlm. 32)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُو : وَتَفْتَرِقْ اُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً ، كَلُّهَا فِى النَّارِ اِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً : مَا اَنَا عَلَيْهِ وَاَصْحَابِيْ
"Dari Abdullah bin 'Amr: Berpecah umatku kepada 73 perpecahan semuanya ke neraka kecuali millah yang satu iaitu sesiapa yang sepertiku dan para sahabatku". (Lihat:تحفة الاحوذى (7/399-340))
لاَيَسْتَقِم قَوْلٌ وَعَمَلٌ اِلاَّ بِمُوَافَقَتِهِ السُّنَّةِ
"Tidak akan lurus (betul) perkataan dan amalan kecuali setelah perkataan dan amal tersebut menepati as-Sunnah". (Lihat: تلبيس ابليس hlm 9. Ibn Qaiyim. Az-Zahabi,مقدمة الجرح والتعديل (1/122))
Adalah wajib mengikut manhaj Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam dalam berakidah dan ibadah.
Allah s.w.t. berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلاَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
"Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah". (al-Ahzab, 33: 21)
Maka sunnah hanyalah apa yang disunnahkan/ditunjuk-ajarkan oleh Allah Azza wa-Jalla dan yang disunnahkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam. Ini adalah sebagaimana apa yang telah dikatakan oleh Umar Ibn al-Khattab radiallahu ‘anhu:
اَلسُّنَّةُ مَا سَنَّهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ تَجْعَلُوْا حَظَّ الرَّاْي سُنَّة لِلأُمَّةِ
“Sunnah itu, apa saja yang disunnahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu menjadikan buah fikiran sebagai sunnah untuk ummah”. (Lihat: الاعتصام 1/102. Asy-Syatibi)

BAHAYANYA AHLI BID’AH
Para ulama Salaf as-Soleh sentiasa menasihati dan mengingatkan agar orang-orang yang beriman menjauhi Ahli bid’ah. Para a’immah (imam-imam) Salaf as-Soleh seperti para sahabat terutamanya Abu Bakr, Umar, Uthman, Ali, Ibnu Masoud, Abi Musa al-Asy’ari, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, Asma binti Abi Bakr dan selain mereka. Kemudian selepas mereka seperti Abul ‘Aliyah, Ibnu Sirin, Ibnu Musaiyib, ‘Ata, Mujahid, Hasan al-Basri, Umar bin Abdulaziz, Auzaii, Ayub as-Sakhtiani, Thabin al-Banani, Ibnu ‘Aun, Ibrahim bin Adham, Ibnul Mubarak, Malik, Abi Hanifah, Syafie, Az-Zuhri, As-Syabii dan selain mereka. Diikuti juga oleh Imam Ibnu Taimiyah serta anak muridnya yang semua mereka telah mengharamkan orang-orang beriman dari mempercayai Ahli Bid’ah, memujinya, menyanjungnya dan diharamkan dari bermajlis dengan mereka kerana ada sebuah athar yang mereka gigit dan pegang dengan kuat:
مَنْ جَلَسَ صَاحِبَ بِدْعَةٍ نُزِعَت مِنْهُ الْعِصْمَة ، وَوُكِّلَ اِلَى نَفْسِهِ ، وَمَنْ مَشَى اِلَى صَاحِبِ بِدْعَةٍ مَشَى اِلَى هَدْمِ اْلاِسْلاَمِ
“Barangsiapa yang bermajlis dengan ahli bid’ah, tercabut dari dirinya keamanan dan diserahkan pada dirinya sendiri dan barangsiapa yang berjalan menemani ahli bid’ah bererti berjalan untuk menghancurkan Islam”. (Lihat: Al-I’tisam, 1/107. Asy-Syatibi)
لَيْسَ فِى الدُّنْيَا مُبْتَدِعٌ اِلاَّ وَهُوَ يَبْغَضُ اَهْلَ الْحَدِيْثِ ، فَاِذَا ابْتَدَعَ الرَّجُلُ نَزَعَ حَلاَوَةَ الْحَدِيْثِ مِنْ قَلْبِهِ
“Tiada di dunia seorang pelaku bid’ah kecuali membenci Ahli Hadis maka apabila seorang lelaki melakukan bid’ah (dengan membenci Ahli Hadis), dicabut kemanisan hadis dari hatinya”. (Lihat: شرف اصحاب الحديث Ini adalah perkataan al-Hafiz Ahmad bin Sanan al-Qattan Abu Ja’far al-Wasiti. Dia seorang Ahli Hadis, melahirkan pakar hadis yang enam orang kecuali at-Turmizi. Wafat pada tahun 258H)

PRINSIP DAKWAH PARA SALAF AS-SOLEH
Sesungguhnya para Nabi dan para Rasul memulakan dan menyebukkan diri mereka dengan mengajak manusia kepada tauhid. Menyeru mereka untuk beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan semua jenis bid’ah dan kesyirikan. Allah berfirman:
وَمَا اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلاَّ نُوْحِيْ اِلَيْهِ اَنَّهُ لاَاِلَهَ اِلاَّ اَنَا فَاعْبُدُوْنِيْ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahawa tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku maka sembahlah olehmu akan Aku”. (al-Anbiya, 21: 25)
Para Nabi dan para Rasul sentiasa menyebukkan diri mereka untuk mengenalkan umat tentang nama-nama, sifat-sifat serta kekuasaan Allah. Mereka berusaha supaya manusia menuju ke jalan tauhid yang sebenar iaitu hanya menyembah Allah, supaya sekalian manusia tahu bahawa mereka dijadikan adalah untuk beribadah hanya kepada Allah Azza wa-Jalla semata yang tidak boleh disekutukan dengan makhlukNya. Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلاِنْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (az-Zariyat, 51: 56)
Seterusnya, matlamat dan tugas para Nabi dan Rasul ialah memberi khabar gembira kepada sesiapa yang mengimani tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa-sifat. Hanya para Nabi dan Rasul yang paling benar dalam menyampaikan khabar yang menakutkan kepada manusia iaitu berita tentang azab api neraka yang amat pedih jika mereka mengingkari nama-nama, sifat-sifat dan tidak mentauhidkan Allah Azza wa-Jalla. Para Nabi dan Rasul membimbing (mentarbiyah) dan membersihkan akidah (mentasfiyah) dengan membawa mereka untuk mengibadahi hanya Allah dan mentaati Rasulullah yang membawa utusan dari Allah.
Sumber bertalaqi (mendapat ilmu) akidah yang benar bagi para Ahli Sunnah wa-Jamaah yang bermanhaj Salaf as-Soleh ialah: Al-Quran, As-Sunnah dan Ijmak Salaf kerana hanya dari sini sahaja sumber pengambilan ilmu agama Islam yang paling selamat.
Apabila mereka berikhtilaf, para Salaf akan memahamkan dan menyelesaikannya dengan membawakan hujjah. Sama ada dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak dan selainnya.
Bagi para Salaf as-Soleh, persoalan akidah dan ibadah adalah persoalan tauqifiyah, tidak dibenarkan mengambilnya dari sumber yang bukan wahyu, terutamanya akidah kerana akidah adalah persoalan wahyu yang tidak boleh dicabuli oleh akal dan pendapat.
Sesiapa yang cuba menyelesaikan persoalan syara melalaui jalan yang bukan dari wahyu maka ia telah melakukan pembohongan atau penipuan kerana ia memperkatakan tentang Allah tanpa ilmu dariNya. Tambahan pula terdapat sebuah hadis yang menjelaskan:
وَعَلَى الرَّسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَلاَغ ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيْمِ
“Kewajipan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam menyampaikan dan atas kita menerima”. (H/R Bukhari. Kitab at-Tauhid. Bab 46. Fathul Bari. 13/508)
Para sahabat, imam-imam tabi’in dan orang-orang yang mengikut jejak mereka daripada ulama hadis, mereka semua sentiasa dalam petunjuk iktiqad yang selamat lantaran mereka hanya menerima (mengambil) akidah dari Rasulullah, itulah yang dikatakan سبيل المؤمنين “Jalan atau manhajnya orang-orang Salaf yang paling beriman” sehingga Al-Auzaii rahimahullah berkata:
عَلَيْكَ بَآثَارِ مَنْ سَلَفَ وَاِنْ رَفَضَكَ النَّاس ، وَاِيَّاكَ وَرَاْيُ الرِّجَال وَاِنْ زُخْرُفُوْهُ لَكَ بِالْقَوْلِ
“Hendaklah kamu mengikut athar Salaf sekalipun engkau disingkir oleh manusia. Tinggalkanlah pendapat seseorang sekalipun membawa kata-kata yang mempersonakan”. (Lihat: Tarikh al-Islam. Hlm. 141 Oleh Az-Zahabi)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

.

Rasulullah s.a.w bersabda :

” Sesungguhnya seorang hamba yang bercakap sesuatu kalimah atau ayat tanpa mengetahui implikasi dan hukum percakapannya, maka kalimah itu boleh mencampakkannya di dalam Neraka lebih sejauh antara timur dan barat” ( Riwayat Al-Bukhari, bab Hifdz al-Lisan, 11/256 , no 2988)