.

.
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء و المرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين أهلا وسهلا بكم إذا كانت هذه زيارتك الأولى للمنتدى، فيرجى التفضل بزيارة صفحة التعليمات كما يشرفنا أن تقوم بالتسجيل ، إذا رغبت بالمشاركة في المنتدى، أما إذا رغبت بقراءة المواضيع والإطلاع فتفضل بزيارة القسم الذي ترغب أدناه. عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه - قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: "إن إبليس قال لربه: بعزتك وجلالك لا أبرح أغوي بني آدم مادامت الأرواح فيهم - فقال الله: فبعزتي وجلالي لا أبرح أغفر لهم ما استغفروني" اللّهم طهّر لساني من الكذب ، وقلبي من النفاق ، وعملي من الرياء ، وبصري من الخيانة ,, فإنّك تعلم خائنة الأعين ,, وما تخفي الصدور اللهم استَخدِمني ولاَ تستَبدِلني، وانفَع بيِ، واجعَل عَملي خَالصاً لِوجهك الكَريم ... يا الله اللهــم اجعل عملي على تمبـلر صالحاً,, واجعله لوجهك خالصاً,, ولا تجعل لأحد فيه شيئاً ,, وتقبل مني واجعله نورا لي في قبري,, وحسن خاتمة لي عند مماتي ,, ونجاةً من النار ومغفرةً من كل ذنب يارب يارب يارب

.

.

.

.

Wednesday, November 12, 2014

SELURUH TUBUH SELAIN MUKA DAN KEDUA TELAPAK TANGAN

Para ulama mujtahid telah menyepakati (ijma’) bahawa seorang perempuan boleh keluar rumah dalam keadaan terbuka wajahnya dan keharusan bagi orang laki-laki untuk tidak memandang dengan syahwat, jika memang perempuan tersebut menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangannya. Ijma’ ini telah dinukil oleh banyak ulama, di antaranya al Imam al Mujtahid Ibnu Jarir ath-Thabari, al Qadli ‘Iyadl al Maliki dalam al Ikmal, Imam al Haramayn al Juwayni, al Qaffal asy-Syasyi, al Imam ar-Razi, bahkan Ibnu Hajar al Haytami menukil dari sekelompok ulama yang menyebutkan ijma’ dalam masalah ini.
            Allah ta’ala berfirman :
 )ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها  ( (سورة النور : 31 )
: “Dan tidak bolah bagi mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari perhiasan tersebut” (Q.S. an-Nur: 31)
As-Sayyidah ‘Aisyah dan Abdullah ibn ‘Abbas     إلا ما ظهر منها : “adalah muka dan kedua telapak tangan”. Hal serupa juga dikemukakan oleh al Imam Ahmad.
            Di antara dalil yang menunjukkan kepada hukum ini adalah hadits perempua nKhats’amiyyah yang diriwayatkan oleh al Bukhari, Muslim, Malik, Abu Dawud, an-Nasa-i, ad-Darimi dan Ahmad dari jalur ‘Abdullah ibn ‘Abbas, ia berkata : “Di pagi hari raya ‘Eidul Adlha datang seorang perempuan dari kabilah Khats’am dan bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji berlaku atas ayahku ketika beliau sudah tua dan tidak bisa lagi naik kendaraan, apakah aku bisa berhaji untuknya ? Rasulullah menjawab : berhajiblah untuknya. Ibnu ‘Abbas berkata : perempuan tersebut adalah perempuan cantik, al Fadl-pun melihat kepadanya, ia terpesona dengan kecantikannya, maka Rasulullah memalingkan leher al Fadl ke arah lain”. Dalam riwayat at-Tirmidzi dari jalur ‘Ali : “Perempuan itu juga melihat kepada al Fadl, ia terpesona oleh ketampanannya, kemudian al ‘Abbas berkata : Wahai Rasulullah, kenapa engkau palingkan leher anak pamanmu ? Rasulullah menjawab : Aku melihat seorang pemuda dan pemudi, aku tidak menjamin selamat keduanya dari setan”, at-Turmudzi berkata : Hadits ini hasan sahih. Ibnu ‘Abbas berkata : “Peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat yang mewajibkan Hijab”.
Dalil yang bisa diambil dari hadits ini bahwa Rasulullah s.a.w tidak memerintahkan perempuan Khats’amiyyah yang cantik ini untuk menutup mukanya. Mungkin ada orang yang berkata : Bukankah ia sedang ihram (pantaslah ia tidak menutup mukanya karena hal itu memang dilarang) ! Jawabannya :  Seandainya menutup muka itu wajib, niscaya Rasulullah akan
memerintahkan perempuan tersebut untuk melambaikan kain di atas muknya tanpa menyentuh kulit muka dengan merenggangkan (antara kain dan muka) dengan memakai sesuatu untuk memnuhi kemaslahatan ihram tersebut. Tapi ternyata Rasulullah tidak memerintahnya. Ini menunjukkan bahwa menutup muka bagi perempuan tidak wajib hukumnya, tetapi merupakan sesuatu yang baik dan disunnahkan.
            Para ulama juga telah sepakat bahwa perempuan dimakruhkan baginya menutup muka dan memakai cadar dalam solat dan bahawa hal itu diharamkan ketika  ihram.
            Sedangkan kewajipan menutup muka itu hanya berlaku khusus bagi isteri-isteri Rasulullah s.a.w sebagaimana dinyatakan oleh Abu Dawud dan lainnya. Al Hafizh Ibnu Hajr mengatakan dalam at-Talkhish al Habir : “Abu Dawud mengatakan : ini (kewjiban menutup muka) hanya berlaku bagi isteri-isteri Rasulullah secara khusus dengan dalil hadits Fathimah binti Qays. Aku (Ibnu Hajar) mengatakan : Ini adalah pemaduan yang bagus, dengan ini pula al Mundziri melakukan pemaduan dalam Hawasyi-nya dan itu dianggap baik oleh guru kami”. Maksud Ibnu Hajar bahwa sabda Nabi riwayat Abu Dawud kepada kedua isterinya :
          ” احتجبا منه “
: “Pakailah hijab darinya “.
Ketika Ibnu Ummi Maktum yang buta datang, perintah ini adalah khusus bagi isteri-isteri Rasulullah, karena dikompromikan dengan hadits Fathimah binti Qays riwayat Muslim bahwa Rasulullah berkata kepadanya : “Lakukanlah ‘iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia adalah orang buta, kamu bisa meletakkan pakaianmu di sana”. Jadi jelas dalam hal ini Rasulullah dalam hukum membedakan antara isterinya dengan yang bukan isterinya. Abu al Qasim al ‘Abdari, penulis at-Taj wa al Iklil bisyarh Mukhtashar Khalil mengatakan : “Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa kewajiban menutup muka hanya khusus bagi isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam “.
            Sedangkan firman Allah ta’ala :
) يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا ( (سورة الأحزاب : 59 )
: “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin : hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang” (Q.S. al Ahzab: 59)
 Dalam ayat ini, Allah mengatakan  ”  عليهن ” ; atas tubuh mereka, bukan  ” على وجوههن ”  ; atas muka mereka. Jadi ayat ini maknanya sama dengan ayat yang lain, yaitu :
          ) وليضربن بخمرهن على جيوبهن ( (سورة النور : 31 )
: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” (Q.S. an-Nur: 31)
Maksud kedua ayat ini adalah perintah yang mewajibkan menutup leher  dan  atas dada. Ayat 59 dari surat al Ahzab ini memerintahkan demikian untuk membedakan antara perempuan yang merdeka dan budak. Demikian dijelaskan makna kedua ayat tersebut oleh al Hafizh al Mujtahid ‘Ali ibn Muhammad ibn al Qaththan al Fasi dalam kitabnya an-Nazhar fi  Ahkam an-Nazhar.
            Makna Khimar adalah kain yang digunakan oleh perempuan untuk menutup kepalanya. Al Jayb  adalah lubang di hujung baju atas di dekat leher. Jilbab adalah kain lebar yang digunakan oleh seorang perempuan untuk menyelimuti tubuhnya setelah pakaiannya lengkap, jilbab ini disunnahkan dipakai oleh perempuan.
            Jadi ayat  “ يدنين عليهن من جلابيبهن ”   tidak  berisi  kewajipan menutup muka, melainkan maksudnya adalah menutup leher dengannya sebagaimana dikatakan oleh ‘Ikrimah bahwa makna ayat tersebut perintah menutup lekukan bagian atas dada, kerana sebelum turunnya ayat hijab ini para wanita muslimah melakukan seperti yang dilakukan oleh perempuan di masa jahiliyyah, yaitu meletakkan kerudung di atas kepala dan diulurkan ke belakang jadi lehernya nampak.
            Firman Allah ”  ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين ”  : “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, kkerana itu mereka tidak diganggu”. Maksudnya adalah wanita-wanita merdeka lebih selamat dari gangguan orang-orang yang usil ketika mereka berbeda penampilan dengan para budak perempuan. Kaerana orang-orang fasik tersebut akan mengganggu wanita merdeka kalau mereka mengiranya budak. Jadi ketika seorang wanita merdeka menutup kepala dan lehernya ia akan selamat dari gangguan orang-orang fasik tersebut karena sudah ada tanda pembeda antara keduanya. Sedangkan para budak wanita memang tidak diwajibkan menutup leher dan kepala ketika keluar.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

.

Rasulullah s.a.w bersabda :

” Sesungguhnya seorang hamba yang bercakap sesuatu kalimah atau ayat tanpa mengetahui implikasi dan hukum percakapannya, maka kalimah itu boleh mencampakkannya di dalam Neraka lebih sejauh antara timur dan barat” ( Riwayat Al-Bukhari, bab Hifdz al-Lisan, 11/256 , no 2988)