.

.
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء و المرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين أهلا وسهلا بكم إذا كانت هذه زيارتك الأولى للمنتدى، فيرجى التفضل بزيارة صفحة التعليمات كما يشرفنا أن تقوم بالتسجيل ، إذا رغبت بالمشاركة في المنتدى، أما إذا رغبت بقراءة المواضيع والإطلاع فتفضل بزيارة القسم الذي ترغب أدناه. عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه - قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: "إن إبليس قال لربه: بعزتك وجلالك لا أبرح أغوي بني آدم مادامت الأرواح فيهم - فقال الله: فبعزتي وجلالي لا أبرح أغفر لهم ما استغفروني" اللّهم طهّر لساني من الكذب ، وقلبي من النفاق ، وعملي من الرياء ، وبصري من الخيانة ,, فإنّك تعلم خائنة الأعين ,, وما تخفي الصدور اللهم استَخدِمني ولاَ تستَبدِلني، وانفَع بيِ، واجعَل عَملي خَالصاً لِوجهك الكَريم ... يا الله اللهــم اجعل عملي على تمبـلر صالحاً,, واجعله لوجهك خالصاً,, ولا تجعل لأحد فيه شيئاً ,, وتقبل مني واجعله نورا لي في قبري,, وحسن خاتمة لي عند مماتي ,, ونجاةً من النار ومغفرةً من كل ذنب يارب يارب يارب

.

.

.

.

Tuesday, April 14, 2015

THAHARAH : THAHARAH

KITAB THAHARAH

Terjemah Bahasa Indonesia



THAHARAH



Thaharah menurut syar’i adalah menghilangkan hal-hal yang dapat menghalangi shalat berupa hadats atau najis dengan menggunakan (air atau semisalnya) atau mengangkat najis tersebut dengan
tanah. Telah bersepakat kaum muslimin bahwa thaharah syar’iyah ada 2(dua) macam, yaitu : 

1.  Thaharah dari hadats (Thaharah Hukmiyah), antara lain :
1.  Hadats kecil dengan wudhu
2.  Hadats besar dengan mandi
3.  Pengganti keduanya jika ada udzur adalah dengan tayammum

2.  Thaharah dari khabats/najis (Thaharah Haqiqiyah), dengan cara :
1.  Membasuh
2.  Memerciki
3.  Menggosok
4.  Menyamak
5.  Mengambil dan Menghilangkan Najis

Thaharah dari Khabats
Cara bersuci dari khabats/najis, antara lain dengan cara:

1. Membasuh
a.   Membasuh wadah yang terkena jilatan anjing
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah a bersabda;

 “Sucinya bejana salah seorang diantara kalian jika dijilat anjing adalah dengan membasuhnya sebanyak 7(tujuh) kali, yang pertama dengan tanah.”24 

b.  Membasuh pakaian yang terkena kencing  
Diriwayatkan dari Abu Samah bahwa Rasulullah a bersabda; 
“Air kencing bayi perempuan dibasuh.”

c.   Membasuh pakaian yang terkena haidh Dari ‘Aisyah, ia berkata;
 “Dahulu salah seorang diantara kami haidh, kemudian ia
menggosok bekas darah yang ada pada pakaiannya dengan jari-jemari ketika telah suci, lalu ia membasuhnya dan menyiram semuanya dengan air, lalu ia melakukan shalat dengan baju itu.”26 

Catatan :
• Apabila seorang menggunakan potongan kayu, sabun, atau alat pembersih lainnya untuk membersihkan darah haidh, maka itu lebih baik. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ummu Qais binti Mihshan i, ia berkata;

                                                 
24 HR. Muslim Juz 1 : 279 dan Abu Dawud : 71.
2625 HR. Abu Dawud : 376, Nasa’i Juz 1 : 304, dan Ibnu Majah : 526.  HR. Bukhari Juz 1 : 302, lafazh ini miliknya dan Ibnu Majah : 630.
“Aku bertanya kepada Nabi a tentang darah haidh yang (menempel) di baju. Beliau menjawab, “Gosoklah dengan potongan kayu, kemudian basuhlah dengan air daun bidara.” [1]

• Apabila setelah dibasuh ternyata bekas darah haidh masih ada, maka itu tidak mengapa. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Khaulah binti Yasar berkata:
“Wahai Rasulullah, aku hanya mempunyai 1(satu) baju. Aku memakainya ketika haidh.” Beliau bersabda; “Jika engkau telah suci, cucilah tempat darah itu, lalu shalatlah dengannya.” Ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika (bekas) darahnya tidak hilang?” Beliau bersabda, “Air telah mencukupimu dan bekasnya tidak masalah bagimu.”[2] 
• Hendaknya dipisah antara pakaian yang suci dengan pakaian yang terkena najis. Syaikh ’Abdul ’Aziz bin’ Abdullah bin Baz t berkata;
“Menurut pendapat yang lebih hati-hati, bahwa hendaklah pakaian yang najis dibasuh tersendiri secara terpisah dengan air secukupnya serta menghilangkan belas najis yang melekat padanya.
Jika sejumlah pakaian bercampur (antara yang suci dan yang najis, lalu) dibasuh dengan air yang banyak, maka air itu dapat menghilangkan bekas najis dan pakaian yang suci tidak berubah karena bercampur dengan pakaian yang najis, sehingga seluruh pakaian tersebut menjadi suci dengan itu.”

d. Menyucikan tanah
Ini berdasarkan hadits dari Anas bin Malik ia
berkata;
 “Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi a melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi a menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu.”[3]

Catatan :
      Apabila sajadah atau karpet terkena najis, maka harus diguyur air diatasnya. Al-Lajnah Ad-Da’imah berfatwa; “Menghilangkan najis yang jatuh diatas sajadah dan karpet tidak cukup hanya menyapu dengan sapu bulu (atau tissue), tetapi harus mengguyurkan air diatasnya sehingga menghilangkan najis yang jatuh diatasnya; baik najis tersebut berupa air kencing atau najis lainnya.
Jika najis itu mempunyai wujud, maka wajib menghilangkan wujudnya terlebih dahulu kemudian membasuhnya.”

      Adapun cara untuk membersihkan kasur yang terkena kotoran manusia adalah dengan membersihkannya dan menyiramkan air pada tempat yang terkena (kotoran manusia tersebut). Adapun bila terkena kencing, maka cukup dengan menyiramkan air banyak-banyak pada tempat yang terkena (kencing tersebut).

2. Memerciki
a. Memerciki pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki yang masih menyusu pada ibunya
Diriwayatkan dari Abu Samah bahwa Rasulullah a bersabda; 

“Air kencing bayi perempuan dibasuh, sedangkan air kencing bayi laki-laki diperciki dengan air.” [4]

Kencing bayi laki-laki diperciki, jika bayi tersebut tidak makan kecuali susu ibunya, atau makanan yang
mendominasinya adalah susu ibunya. ‘Ali berkata;
 “Air kencing bayi perempuan dibasuh, sedangkan air kencing bayi laki-laki diperciki dengan air, selama belum makan (selain susu ibunya).” 31

Jika bayi laki-laki tersebut sudah memamakan makanan lain selain susu ibunya, maka kencingnya harus dibasuh. Nabi bersabda;

“Ini selama keduanya belum makan. Apabila sudah makan, maka (cara membersihkan) kencingnya (adalah) dengan dibasuh.”[5] 

b. Memerciki pakaian yang terkena madzi 
Sebagaimana hadits dari Sahal bin Hunaif, ia
berkata;
 “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan (madzi) yang mengenai pakaianku?” Rasulullah a menjawab, “Cukuplah
31 HR. Abu Dawud : 378.                                                  
bagimu mengambil segenggam air lalu memercikkan pada pakaianmu dimana engkau melihat bahwa madzi tersebut mengenainya.”[6] 

Catatan :
      Apabila kemaluan yang terkena madzi, maka wajib dibasuh seluruhnya. Pengikut Imam Hambali, dan sebagian pengikut Imam Malik berpendapat; “Wajibnya membasuh kemaluan seluruhnya. Mereka berdalilkan dengan hadits (‘Ali bin Abi Thalib y, yang memerintahkan Miqdad bin Al-Aswad y untuk menanyakan madzi kepada Rasulullah a). Hadits tersebut menjelaskan secara jelas tentang membasuh kemaluan. Inilah hakekat lafadz membasuh, jadi membasuh keseluruhannya (bukan hanya tempat yang terkena madzi saja).

      Menghilangkan najisnya madzi harus dengan air. Berkata Syaikh ’Abdullah bin ’Abdurrahman Ibnu Shalih Alu Bassam t;
“Tidak cukup menghilangkan najisnya madzi dengan mengunakan batu, seperti membersihkan kencing,
tetapi harus dengan air.”

      Adapun cairan yang keluar dari kemaluan wanita pada hampir setiap waktu dan semakin banyak pada saat hamil, ketika berjalan, atau bekerja keras, maka hukumnya adalah suci. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Dan tidak diragukan lagi bahwa hal ini juga terjadi pada kaum wanita dimasa Nabi a, sebagaimana terjadi pada wanita zaman sekarang. Tetapi tidak pernah disinyalir bahwasanya Nabi a memerintahkan mereka untuk membasuhnya.

3. Menggosok
a.   Menggosok bagian bawah sandal
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri ia berkata, bahwa Nabi  bersabda;
”Apabila kalian datang ke masjid, maka memperhatikanlah (sandal kalian). Jika melihat pada sandalnya tersebut terdapat kotoran atau najis, maka hendaklah ia menggosokkan (ke tanah), lalu (silakan) shalat dengan menggunakan keduanya.”[7] 

b.  Menyucikan bagian bawah pakaian wanita
Jika bagian bawah pakaian wanita terkena najis, maka akan menjadi suci dengan menyentuhkannya ke tanah yang suci. Seorang wanita pernah bertanya kepada Ummu
Salamah , isteri Nabi a, ia berkata;

 “Sesungguhnya aku adalah wanita yang memanjangkan ujung pakaianku dan berjalan di tempat yang kotor?” lalu
Ummu Salamah  menjawab, “Nabi  bersabda,
”(Ujung pakaian      yang    tersebut)          disucikan         dengan            tanah setelahnya.”35

4.  Menyamak
Menyamak kulit bangkai
Dari Ibnu ‘Abbas  Rasulullah  bersabda;
                                                                                   
“Jika kulit bangkai telah disamak, maka menjadi suci.”36 

5.  Mengambil dan Menghilangkan 
Menyucikan sumur atau minyak samin ketika terkena najis
Dari Maimunah , ia berkata;
 “Bahwasanya Rasulullah a ditanya tentang seekor tikus yang jatuh kedalam samin (sejenis mentega). Maka beliau menjawab, ”Buanglah tikus dan samin yang ada di sekitarnya, dan makanlah saminmu (yang tersisa).”37 

Akan tetapi jika ternyata pada sisa samin tersebut juga terdapat pengaruh najis, maka sisa samin tersebut dibuang seluruhnya. 
                                                 
35 HR. Tirmidzi Juz 1 : 143, Abu Dawud : 383, dan Ibnu Majah : 531.
3736 HR. Muslim Juz 1 : 366 dan Abu Dawud : 4123.  HR. Bukhari Juz 1 : 233.
Catatan :
      Ketika sifat utama najis telah hilang dan berubah menjadi sesuatu yang suci, maka ia dihukumi suci. Misalnya kotoran yang telah menjadi tanah.

      Apabila seorang teringat adanya najis ketika sedang shalat, maka jika ia dapat membuang najis tersebut dengan tidak membuka auratnya, maka hendaknya dibuang, shalatnya tetap dilanjutkan dan shalatnya sah. 

Sedangkan jika ia tidak dapat membuang najis yang ada pada dirinya tersebut, karena dapat membuka auratnya. Maka dia tetap melanjutkan shalatnya, dan shalatnya sah.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri , Ia berkata;
“Suatu hari kami shalat bersama Rasulullah a. Ketika shalat telah dimulai tiba-tiba beliau melepas sandalnya, lalu meletakkan disamping kirinya. Melihat Nabi n melepas sandalnya orang-orang ikut melepas sandal mereka. Setelah selesai shalat, beliau bertanya, ”Mengapa kalian melepas sandal kalian?” Mereka menjawab, ”Karena kami melihat engkau melepas sandal, maka kami melepas sandal-sandal kami.” Beliau menjawab, ”Sesungguhnya Jibril a mendatangiku untuk mengabarkan kepadaku bahwa pada sandalku terdapat kotoran. Apabila kalian datang ke masjid, maka memperhatikanlah (sandal kalian). Jika melihat pada sandalnya tersebut terdapat kotoran atau najis, maka hendaklah ia menggosokkan (ke tanah), lalu
(silakan) shalat dengan menggunakan keduanya.”38 

• Apabila teringat adanya najis setelah shalat selesai, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulang. Berkata Syaikh ’Abdul ’Aziz bin ’Abdullah bin Baz
t;
”Orang yang shalat sedang di badannya atau di pakaiannya ada najis dan ia tidak mengetahui hal itu kecuali setelah shalat, maka shalatnya shahih (sah), menurut pendapat yang terkuat dari 2(dua) pendapat para ulama’.”

38 HR. Abu Dawud : 650 dan Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh                                                  
Al-Albani t dalam Irwa’ul Ghalil.
      Sesuatu yang kering tidak dapat dinajisi dengan najis yang kering. Berkata Syaikh ’Abdullah bin
’Abdurrahman Al-Jibrin t;
“Menyentuh najis yang telah kering dengan badan atau pakaian, (maka najis tersebut) tidak menajisi. (Misalnya) seorang masuk kamar mandi yang telah kering dan tidak beralas kaki, dengan keadaan kedua telapak kaki (yang) kering, (maka najis yang ada) tidak menajisinya. Kerena kenajisan itu dapat menajisi, (jika) ia dalam keadaan basah.”  

      Mani adalah suci. Ini adalah pendapat Imam AsySyafi’i, Dawud, dan salah satu dari 2(dua) riwayat yang paling shahih dari Imam Ahmad n. Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t;
“Tidak terdapat 1(satu) dalil pun yang mengatakan najisnya mani. Ada sebuah pembahasan panjang, yang ditulis oleh Ibnul Qayyim t dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, yang mana didalamnya terdapat diskusi panjang antara orang yang menganggap najisnya mani, dan orang yang berpendapat mani itu suci dan tampak jelas dalam diskusi tersebut, bahwa mani itu suci.”

      Muntah adalah suci. Hal ini disebabkan karena hadits
Ammar bin Yasir p yang menunjukkan tentang najisnya air muntah adalah Hadits Bathil. Sehingga
kembali kepada qaidah, “Asal segala sesuatu adalah suci.” Oleh karena itu Imam Ibnu Hazm t
menegaskan akan sucinya air muntah seorang muslim, dalam kitabnya Al-Muhalla I/183. Inilah Madzhab Syaukani t dalam Ad-Durarul Bahiyyah dan Sidiq Hasan Khan t dalam Raudhah Nadiyyah I/18-20 serta disetujui oleh Al-Albani t dalam Tamamul Minnah halaman 53.

      Khamer itu suci. Ini adalah pendapat Rabi’ah, Al-Laits,
                Al-Muzani,     Asy-Syaukani,     Ash-Shan’ani,    Ahmad
Syakir, dan Syaikh Al-Albani n. Diriwayatkan dari
Anas bin Malik  ia berkata;
”Ketika (Rasulullah a memerintahkan seseorang untuk) mengumumkan; ”Ketahuilah sesungguhnya khamer telah diharamkan.” Aku pun menumpahkannya
di jalan-jalan kota Madinah.”39 

Seandainya khamer itu najis, maka Rasulullah a akan memerintahkan untuk menyiram air pada tanah yang terkena khamer tersebut untuk mensucikannya. Sebagaimana Rasulullah a memerintahkan untuk menuangkan air pada air seni seorang Arab Badui. Ada sebuah qaidah penting dalam masalah ini, ”Sesuatu yang haram belum tentu najis, tetapi semua benda yang najis pasti haram.”

  
39 HR. Muslim Juz 3 : 1980.                                                  



[1] HR. Abu Dawud : 363, lafazh ini miliknya dan Ibnu Majah : 628.
[2] HR. Baihaqi Juz 2 : 3920.
[3] Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari Juz  1 : 219, dan Muslim Juz 1 :285.
[4] HR. Abu Dawud : 376, Nasa’i Juz 1 : 304, dan Ibnu Majah : 526.
[5] HR. Abu Dawud : 378.
[6] HR. Tirmidzi Juz 1 : 115, lafazh ini miliknya dan Ibnu Majah : 506.
[7] HR. Abu Dawud : 650 dan Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani t dalam Irwa’ul Ghalil
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

.

Rasulullah s.a.w bersabda :

” Sesungguhnya seorang hamba yang bercakap sesuatu kalimah atau ayat tanpa mengetahui implikasi dan hukum percakapannya, maka kalimah itu boleh mencampakkannya di dalam Neraka lebih sejauh antara timur dan barat” ( Riwayat Al-Bukhari, bab Hifdz al-Lisan, 11/256 , no 2988)