KITAB THAHARAH
Terjemah Bahasa Indonesia
THAHARAH
Thaharah menurut syar’i adalah menghilangkan hal-hal yang
dapat menghalangi shalat berupa hadats atau najis dengan menggunakan (air atau
semisalnya) atau mengangkat najis tersebut dengan
tanah. Telah bersepakat kaum
muslimin bahwa thaharah syar’iyah ada
2(dua) macam, yaitu :
1. Thaharah
dari hadats (Thaharah Hukmiyah),
antara lain :
1. Hadats
kecil dengan wudhu
2. Hadats
besar dengan mandi
3. Pengganti
keduanya jika ada udzur adalah dengan tayammum
2. Thaharah
dari khabats/najis (Thaharah Haqiqiyah), dengan cara :
1. Membasuh
2. Memerciki
3. Menggosok
4. Menyamak
5. Mengambil
dan Menghilangkan Najis
Thaharah
dari Khabats
Cara bersuci dari khabats/najis,
antara lain dengan cara:
1.
Membasuh
a. Membasuh wadah yang terkena jilatan anjing
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah a bersabda;
“Sucinya bejana salah seorang diantara kalian
jika dijilat anjing adalah dengan membasuhnya sebanyak 7(tujuh) kali, yang
pertama dengan tanah.”24
b. Membasuh pakaian yang terkena kencing
Diriwayatkan
dari Abu Samah bahwa Rasulullah a
bersabda;
“Air
kencing bayi perempuan dibasuh.”
c. Membasuh pakaian yang terkena haidh Dari
‘Aisyah, ia berkata;
“Dahulu salah seorang diantara kami haidh,
kemudian ia
menggosok bekas darah yang ada pada pakaiannya dengan
jari-jemari ketika telah suci, lalu ia membasuhnya dan menyiram semuanya dengan
air, lalu ia melakukan shalat dengan baju itu.”26
Catatan
:
• Apabila
seorang menggunakan potongan kayu, sabun, atau alat pembersih lainnya untuk
membersihkan darah haidh, maka itu lebih baik. Sebagaimana dijelaskan dalam
hadits Ummu Qais binti Mihshan i, ia
berkata;
24 HR. Muslim
Juz 1 : 279 dan Abu Dawud : 71.
2625 HR. Abu
Dawud : 376, Nasa’i Juz 1 : 304, dan Ibnu Majah : 526. HR. Bukhari Juz 1 : 302, lafazh ini miliknya
dan Ibnu Majah : 630.
“Aku bertanya kepada Nabi a
tentang darah haidh yang (menempel) di baju. Beliau menjawab, “Gosoklah dengan potongan kayu, kemudian
basuhlah dengan air daun bidara.” [1]
• Apabila
setelah dibasuh ternyata bekas darah haidh masih ada, maka itu tidak mengapa.
Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Khaulah binti Yasar berkata:
“Wahai Rasulullah, aku hanya mempunyai 1(satu) baju.
Aku memakainya ketika haidh.” Beliau bersabda; “Jika engkau telah suci, cucilah tempat darah itu, lalu shalatlah
dengannya.” Ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika
(bekas) darahnya tidak hilang?” Beliau bersabda, “Air telah mencukupimu dan bekasnya tidak masalah bagimu.”[2]
• Hendaknya
dipisah antara pakaian yang suci dengan pakaian yang terkena najis. Syaikh
’Abdul ’Aziz bin’ Abdullah bin Baz t berkata;
“Menurut pendapat yang lebih hati-hati, bahwa
hendaklah pakaian yang najis dibasuh tersendiri secara terpisah dengan air
secukupnya serta menghilangkan belas najis yang melekat padanya.
Jika sejumlah pakaian bercampur (antara yang suci dan
yang najis, lalu) dibasuh dengan air yang banyak, maka air itu dapat
menghilangkan bekas najis dan pakaian yang suci tidak berubah karena bercampur
dengan pakaian yang najis, sehingga seluruh pakaian tersebut menjadi suci
dengan itu.”
d.
Menyucikan tanah
Ini berdasarkan hadits dari Anas bin Malik ia
berkata;
“Seseorang
Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang
menghardiknya, lalu Nabi a melarang
mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi a menyuruh
untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu.”[3]
Catatan
:
• Apabila
sajadah atau karpet terkena najis, maka harus diguyur air diatasnya. Al-Lajnah Ad-Da’imah berfatwa;
“Menghilangkan najis yang jatuh diatas sajadah dan karpet tidak cukup hanya
menyapu dengan sapu bulu (atau tissue), tetapi harus mengguyurkan air diatasnya
sehingga menghilangkan najis yang jatuh diatasnya; baik najis tersebut berupa
air kencing atau najis lainnya.
Jika najis itu mempunyai wujud, maka wajib
menghilangkan wujudnya terlebih dahulu kemudian membasuhnya.”
• Adapun
cara untuk membersihkan kasur yang terkena kotoran manusia adalah dengan
membersihkannya dan menyiramkan air pada tempat yang terkena (kotoran manusia
tersebut). Adapun bila terkena kencing, maka cukup dengan menyiramkan air
banyak-banyak pada tempat yang terkena (kencing tersebut).
2.
Memerciki
a.
Memerciki pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki yang masih menyusu pada
ibunya
Diriwayatkan
dari Abu Samah bahwa Rasulullah a
bersabda;
“Air
kencing bayi perempuan dibasuh, sedangkan air kencing bayi laki-laki diperciki
dengan air.” [4]
Kencing bayi laki-laki diperciki, jika bayi tersebut
tidak makan kecuali susu ibunya, atau makanan yang
mendominasinya adalah susu ibunya. ‘Ali berkata;
“Air kencing bayi perempuan dibasuh, sedangkan
air kencing bayi laki-laki diperciki dengan air, selama belum makan (selain
susu ibunya).” 31
Jika bayi laki-laki tersebut sudah memamakan makanan lain
selain susu ibunya, maka kencingnya harus dibasuh. Nabi bersabda;
“Ini
selama keduanya belum makan. Apabila sudah makan, maka (cara membersihkan)
kencingnya (adalah) dengan dibasuh.”[5]
b.
Memerciki pakaian yang terkena madzi
Sebagaimana hadits dari Sahal bin Hunaif, ia
berkata;
“Wahai Rasulullah,
bagaimana dengan (madzi) yang mengenai pakaianku?” Rasulullah a menjawab, “Cukuplah
31 HR. Abu
Dawud : 378.
bagimu
mengambil segenggam air lalu memercikkan pada pakaianmu dimana engkau melihat
bahwa madzi tersebut mengenainya.”[6]
Catatan
:
• Apabila
kemaluan yang terkena madzi, maka wajib dibasuh seluruhnya. Pengikut Imam
Hambali, dan sebagian pengikut Imam Malik berpendapat; “Wajibnya membasuh
kemaluan seluruhnya. Mereka berdalilkan dengan hadits (‘Ali bin Abi Thalib y, yang memerintahkan Miqdad bin Al-Aswad y untuk menanyakan madzi kepada Rasulullah
a). Hadits tersebut menjelaskan secara
jelas tentang membasuh kemaluan. Inilah hakekat lafadz membasuh, jadi membasuh
keseluruhannya (bukan hanya tempat yang terkena madzi saja).
• Menghilangkan
najisnya madzi harus dengan air. Berkata Syaikh ’Abdullah bin ’Abdurrahman Ibnu
Shalih Alu Bassam t;
“Tidak cukup menghilangkan najisnya madzi dengan
mengunakan batu, seperti membersihkan kencing,
tetapi harus dengan air.”
• Adapun
cairan yang keluar dari kemaluan wanita pada hampir setiap waktu dan semakin
banyak pada saat hamil, ketika berjalan, atau bekerja keras, maka hukumnya
adalah suci. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Dan tidak
diragukan lagi bahwa hal ini juga terjadi pada kaum wanita dimasa Nabi a, sebagaimana terjadi pada wanita zaman
sekarang. Tetapi tidak pernah disinyalir bahwasanya Nabi a memerintahkan mereka untuk membasuhnya.
3.
Menggosok
a. Menggosok bagian bawah sandal
Diriwayatkan dari Abu Sa’id
Al-Khudri ia berkata, bahwa Nabi bersabda;
”Apabila
kalian datang ke masjid, maka memperhatikanlah (sandal kalian). Jika melihat
pada sandalnya tersebut terdapat kotoran atau najis, maka hendaklah ia
menggosokkan (ke tanah), lalu (silakan) shalat dengan menggunakan keduanya.”[7]
b. Menyucikan bagian bawah pakaian wanita
Jika bagian bawah pakaian wanita
terkena najis, maka akan menjadi suci dengan menyentuhkannya ke tanah yang
suci. Seorang wanita pernah bertanya kepada Ummu
Salamah , isteri Nabi a, ia
berkata;
“Sesungguhnya
aku adalah wanita yang memanjangkan ujung pakaianku dan berjalan di tempat yang
kotor?” lalu
Ummu Salamah menjawab, “Nabi bersabda,
”(Ujung
pakaian yang tersebut) disucikan dengan tanah
setelahnya.”35
4. Menyamak
Menyamak
kulit bangkai
Dari Ibnu ‘Abbas Rasulullah bersabda;
“Jika
kulit bangkai telah disamak, maka menjadi suci.”36
5. Mengambil dan Menghilangkan
Menyucikan
sumur atau minyak samin ketika terkena najis
Dari Maimunah , ia berkata;
“Bahwasanya
Rasulullah a ditanya tentang seekor tikus
yang jatuh kedalam samin (sejenis mentega). Maka beliau menjawab, ”Buanglah tikus dan samin yang ada di
sekitarnya, dan makanlah saminmu (yang tersisa).”37
Akan tetapi jika ternyata pada sisa samin tersebut
juga terdapat pengaruh najis, maka sisa samin tersebut dibuang seluruhnya.
35 HR.
Tirmidzi Juz 1 : 143, Abu Dawud : 383, dan Ibnu Majah : 531.
3736 HR. Muslim
Juz 1 : 366 dan Abu Dawud : 4123. HR.
Bukhari Juz 1 : 233.
Catatan
:
• Ketika
sifat utama najis telah hilang dan berubah menjadi sesuatu yang suci, maka ia
dihukumi suci. Misalnya kotoran yang telah menjadi tanah.
• Apabila
seorang teringat adanya najis ketika sedang shalat, maka jika ia dapat membuang
najis tersebut dengan tidak membuka auratnya, maka hendaknya dibuang, shalatnya
tetap dilanjutkan dan shalatnya sah.
Sedangkan jika ia tidak dapat membuang najis yang ada
pada dirinya tersebut, karena dapat membuka auratnya. Maka dia tetap
melanjutkan shalatnya, dan shalatnya sah.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari
Abu Sa’id Al-Khudri , Ia berkata;
“Suatu hari kami shalat bersama Rasulullah a. Ketika shalat telah dimulai tiba-tiba
beliau melepas sandalnya, lalu meletakkan disamping kirinya. Melihat Nabi n melepas sandalnya orang-orang ikut
melepas sandal mereka. Setelah selesai shalat, beliau bertanya, ”Mengapa kalian melepas sandal kalian?” Mereka
menjawab, ”Karena kami melihat engkau melepas sandal, maka kami melepas
sandal-sandal kami.” Beliau menjawab, ”Sesungguhnya
Jibril a mendatangiku untuk mengabarkan kepadaku bahwa pada sandalku terdapat
kotoran. Apabila kalian datang ke masjid, maka memperhatikanlah (sandal
kalian). Jika melihat pada sandalnya tersebut terdapat kotoran atau najis, maka
hendaklah ia menggosokkan (ke tanah), lalu
(silakan)
shalat dengan menggunakan keduanya.”38
• Apabila
teringat adanya najis setelah shalat selesai, maka shalatnya tetap sah dan
tidak perlu diulang. Berkata Syaikh ’Abdul ’Aziz bin ’Abdullah bin Baz
t;
”Orang yang shalat sedang di badannya atau di
pakaiannya ada najis dan ia tidak mengetahui hal itu kecuali setelah shalat,
maka shalatnya shahih (sah), menurut
pendapat yang terkuat dari 2(dua) pendapat para ulama’.”
38 HR. Abu
Dawud : 650 dan Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani t dalam Irwa’ul Ghalil.
• Sesuatu
yang kering tidak dapat dinajisi dengan najis yang kering. Berkata Syaikh
’Abdullah bin
’Abdurrahman Al-Jibrin t;
“Menyentuh najis yang telah kering dengan badan atau
pakaian, (maka najis tersebut) tidak menajisi. (Misalnya) seorang masuk kamar
mandi yang telah kering dan tidak beralas kaki, dengan keadaan kedua telapak
kaki (yang) kering, (maka najis yang ada) tidak menajisinya. Kerena kenajisan
itu dapat menajisi, (jika) ia dalam keadaan basah.”
• Mani
adalah suci. Ini adalah pendapat Imam AsySyafi’i, Dawud, dan salah satu dari
2(dua) riwayat yang paling shahih dari Imam Ahmad n.
Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t;
“Tidak terdapat 1(satu) dalil pun yang mengatakan
najisnya mani. Ada sebuah pembahasan panjang, yang ditulis oleh Ibnul Qayyim t dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, yang mana didalamnya terdapat diskusi panjang
antara orang yang menganggap najisnya mani, dan orang yang berpendapat mani itu
suci dan tampak jelas dalam diskusi tersebut, bahwa mani itu suci.”
• Muntah
adalah suci. Hal ini disebabkan karena hadits
Ammar bin Yasir p yang
menunjukkan tentang najisnya air muntah adalah Hadits Bathil. Sehingga
kembali kepada qaidah, “Asal segala sesuatu adalah
suci.” Oleh karena itu Imam Ibnu Hazm t
menegaskan akan sucinya air muntah seorang muslim,
dalam kitabnya Al-Muhalla I/183.
Inilah Madzhab Syaukani t dalam Ad-Durarul Bahiyyah dan Sidiq Hasan Khan
t dalam Raudhah Nadiyyah I/18-20 serta disetujui oleh Al-Albani t dalam Tamamul Minnah halaman 53.
• Khamer
itu suci. Ini adalah pendapat Rabi’ah, Al-Laits,
Al-Muzani,
Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, Ahmad
Syakir, dan Syaikh Al-Albani n.
Diriwayatkan dari
Anas bin Malik ia berkata;
”Ketika (Rasulullah a
memerintahkan seseorang untuk) mengumumkan; ”Ketahuilah sesungguhnya khamer
telah diharamkan.” Aku pun menumpahkannya
di jalan-jalan kota Madinah.”39
Seandainya khamer itu najis, maka Rasulullah a akan memerintahkan untuk menyiram air
pada tanah yang terkena khamer tersebut untuk mensucikannya. Sebagaimana
Rasulullah a memerintahkan untuk menuangkan
air pada air seni seorang Arab Badui. Ada sebuah qaidah penting dalam masalah
ini, ”Sesuatu yang haram belum tentu najis, tetapi semua benda yang najis pasti
haram.”
39 HR. Muslim
Juz 3 : 1980.
[1] HR. Abu Dawud : 363,
lafazh ini miliknya dan Ibnu Majah : 628.
[2]
HR. Baihaqi Juz 2 : 3920.
[3]
Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari Juz 1 :
219, dan Muslim Juz 1 :285.
[4]
HR. Abu Dawud : 376, Nasa’i Juz 1 : 304, dan Ibnu Majah : 526.
[5]
HR. Abu Dawud : 378.
[6]
HR. Tirmidzi Juz 1 : 115, lafazh ini miliknya dan Ibnu Majah : 506.
[7] HR. Abu Dawud : 650 dan
Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani t
dalam Irwa’ul Ghalil.