Buku ini merupakan ensiklopedi ilmiah tentang berbagai
sisi kehidupan dan keutamaan Ibunda Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
menukil sisi kehidupan beliau dari sisi yang berbeda, mengenal beliau lebih
dekat, sifatnya, dan hubungannya yang terjalin antara beliau dengan Rasulullah
-shallallahu ’alaihi wa sallam- dan ahlul bait. Termasuk berkenaan dengan fitnah
dan syubhat paling keji yang pernah dilontarkan kepada beliau. Buku ini juga
membahas hukum bagi siapa saja yang mencela beliau dan berisi kumpulan
bait-bait syair yang berisikan pujian untuknya.
Ringkasan buku ini mencantumkan beberapa topik penting
yang diambil dari buku aslinya, mengacu kepada urgensi
maksud dari penulisan
buku ini. Topik utama dalam buku aslinya dijelaskan secara garis besar dengan
disertakan dalildalilnya, derajat periwayatnya dan takhrij hadistnya. Sangat
menarik bagi siapa saja yang ingin memperluas pengetahuannya tentang ummul
mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
Mungkin akan timbul pertanyaan, “Begitukah pentingkah
kedudukan Ummul mukminin ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- sehingga harus ditulis
kitab khusus tentang kehidupan, keutamaan-keutamaan, serta pembelaan terhadap
beliau?”
Jawabannya adalah: Iya, karena jika beliau tercemar
nama baiknya maka tercemarlah agama Islam ini, dan celaan yang menjatuhkan
beliau berarti juga celaan terhadap banyak hukum dan riwayat hadist yang diriwayatkan
melalui jalur beliau. Yang berarti juga mencela kehormatan Rasulullah –
shallallahu’alaihi wa sallam- dan mendustakan Allah Azza wa Jalla. Maka tatkala
keadaannya seperti ini –banyak tuduhan dialamatkan kepada Ummul Mukminin- dan
bermunculannya orang-orang yang meniti di atas jalannya kaum munafikin, mereka
semua menuduh istri Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam- dengan tuduhan
palsu dan dusta. Oleh sebab itu, sudah selayaknya kita membantah semua tuduhan
tersebut dengan menampilkan keutamaan-keutamaan beliau, serta membelanya dari
segala syubhat yang dilontarkan kepada beliau. Untuk itulah buku ini ditulis.
Buku ini terdiri dari tujuh bab.
Bab Pertama:
Kehidupan Ummul Mukminin Aisyah -Radhiyallahu
‘anha
Terbagi menjadi dua bagian:
Yang Pertama: mengenal beliau dari silsilah keluarga
beliau.
Beliau adalah Aisyah binti Abu Bakar (Abdullah) bin Abi
Quhafah (Utsman) bin Aamir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murroh bin
Ka’ab bin Lu’ay bin Fihr bin Malik bin Kinanah. Beliau termasuk orang Quraisy
dari bani Taimiyyah, orang Mekkah yang kemudian menjadi orang Madinah.
Kunyah (baca: kun-yah) beliau adalah Ummu Abdillah,
kunyah yang diberikan Rasulullah untuk membuat Aisyah bahagia.
Bahkan beliau radhiyallahu ‘anha digelari dengan banyak
laqob (sebutan) karena begitu banyaknya kemuliaan beliau. Diantara laqob
tersebut adalah Ummul Mukminin, Habibah/kekasih Rasulullah, Mubarro-ah (wanita
yang dibersihkan dari tuduhan), Toyyibah (wanita yang baik), Shiddiiqoh (wanita
yang jujur), Humairah (wanita yang pipinya kemerah-merahan) dan Muwafaqah
(wanita yang beruntung).
Rasulullah sering memanggil beliau dengan panggilan
wahai ‘Aisy, wahai putrinya orang yang jujur, dan wahai putrinya Abu Bakar.
Ayahnya adalah seorang khalifah pertama yang menjadi
pemimpin umat Islam sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu
Abu Bakar. Dan ibunya, Ummu Rumman, termasuk wanita pertama yang masuk Islam.
Aisyah mempunyai saudara kandung seayah dan seibu serta
saudara kandung seayah lain ibu. Saudara beliau yang seayah dan seibu adalah
Abdurrahman. Sedangkan Abdullah, Asma’, Muhammad dan Ummu Kultsum adalah
saudara lain ibu.
Bibi-bibi beliau adalah para shahabiyyah Rasulullah,
yaitu: Ummu Aamir, Quroibah, dan Ummu Farwah.
Beliau memiliki beberapa hamba sahaya yang setia kepada
beliau diantaranya adalah: Bariroh, Saibah, Marjanah, Abu Yunus, Dzakwan.
Ummul Mukminin Aisyah dilahirkan di Mekkah, sekitar
empat atau lima tahun setelah kenabian Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam.
Beliau dilahirkan di lingkungan Islam dan tidak mengalami masa jahiliyyah.
Kedua orang tuanya termasuk golongan pertama yang masuk Islam dan memberikan
dukungan penuh terhadap perjuangan dan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alahi
wasallam.
Beliau dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi
wasallam sebelum hijrah (ke Madinah) ketika beliau baru berumur 6 tahun, dan
mulai diperlakukan sebagai seorang istri pada bulan Syawal setelah hijrah
ketika beliau menginjak usia 9 tahun. Sebelum menikahinya Rasulullah bermimpi
didatangi malaikat selama tiga malam. Malaikat itu mengatakan kepada beliau,
“Dia itu istrimu”.
Selama menikah beliau menemani hari-hari Rasulullah
selama 8 tahun 5 bulan, karena Rasulullah meninggal ketika beliau baru
menginjak usia 18 tahun.
Aisyah tinggal bersama Rasulullah di sebuah kamar yang
sempit, yang jauh dari kata sejahtera dan nyaman. Baik dari segi perlengkapan
rumah maupun makanan yang digunakan sebagai penyambung hidup. Bahkan beliau
pernah tinggal bersama Rasulullah selama 2 bulan tanpa memiliki sesuatupun yang
dapat dijadikan makanan. Mereka hanya bergantung pada kurma dan air untuk
mengisi perutnya. Namun semua itu tidak menghalangi beliau untuk selalu tampil
menarik di hadapan suaminya yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Aisyah senantiasa setia membantu Rasulullah, menjaga hak-hak beliau, senantiasa
memberikan kenyamanan kepada Rasulullah, menjaga rahasia beliau, selalu menjaga
penampilannya, dan memiliki rasa cemburu kepada beliau.
Di mata Rasulullah, Aisyah mempunyai kedudukan yang
sangat istimewa. Beliau adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah,
beliau selalu menampakkan kecintaannya, menjaga Aisyah sewaktu usianya sangat
muda, selalu membuat Aisyah bahagia dan suka cita, selalu mendengarkan ucapan
Aisyah, selalu menaunginya dengan penuh cinta kasih hingga beliau meninggal
dunia. Para sahabat Rasulullah pun menyadari hal itu, mereka menunggu untuk
memberi hadiah kepada Rasulullah ketika beliau berada di rumah Aisyah, begitu
pula para istri Rasulullah yang lain pun mengetahui cinta Rasulullah yang besar
kepada Aisyah.
Cinta terus menghiasi rumah tangga mereka hingga
menjelang wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Karena kecintaan
beliau terhadap Aisyah, maka tatkala beliau sakit, para istri beliau
mengizinkan Rasulullah tinggal bersama Aisyah. Hal tersebut juga dikarenakan
kecerdasan Aisyah yang begitu istimewa, kuatnya hafalannya, cepat memahami
segala hal, sehingga ia radhiyallahu ‘anha- akan mampu memperhatikan dan
mengetahui setiap perkataan dan perilaku Rasulullah di sisa-sisa waktunya.
Hingga akhirnya Rasulullah wafat di rumah Aisyah, pada hari gilirannya, dalam
pelukannya dan telah bercampur antara air ludah Rasulullah shallallahu ‘alahi
wasallam dengan air ludahnya.
Dan sepeninggal Rasulullah, kaum muslimin bersepakat
bahwa Abu Bakar lah yang menjadi pemimpin. Sementara Aisyah tetap tinggal di
kamarnya, dan perannya pun belum terlihat ketika itu disebabkan begitu
dahsyatnya fitnah yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah. Kaum muslimin kala
itu sibuk memerangi kemurtadan yang mulai mewabah, dan bersamaan dengan itu Abu
Bakar pun menjadikan Aisyah sebagai rujukan dalam beberapa masalah yang tidak
ia ketahui, dan Aisyah juga menjawab banyak pertanyaan dari kalangan shahabat.
Abu Bakar meninggal dunia setelah beliau berwasiat agar
dikuburkan disamping makam Rasulullah shallallahu’alahi wa sallam.
Maka di zaman Umar Bin Khathab, peran ilmiyah Aisyah
kala itu mulai nampak semakin jelas. Ketika Umar bin Khathab merasa kesulitan
dalam suatu perkara khususnya dalam masalah kemanusiaan- beliau menanyakan
persoalan tersebut kepada Aisyah. Umar bin Khathab sangat peduli kepada
istri-istri Rasulullah, beliau selalu memperhatikan keadaan mereka, terlebih
lagi kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha. Bahkan beliau selalu melebihkan Aisyah
dari istri-istri Rasulullah yang lain dalam pembagian harta dari baitul mal. Karena
beliau beralasan bahwa Aisyah adalah kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Aisyah begitu segan dan menghormati Umar bin Khathab,
beliau meriwayatkan banyak hadits dari Rasulullah tentang keutamaannya. Oleh
sebab itu ketika Umar bin Khathab ditikam dan meminta agar ia diizinkan untuk
di kubur disamping Abu Bakar, Aisyah langsung mengizinkan dan memuliakannya
melebihi diri beliau sendiri.
Pada zaman Utsman bin Afan kejayaan Islam semakin
meluas, banyak menguasai negara-negara baru, sehingga ilmu dan kepandaian
Aisyah saat itu sangat dibutuhkan.
Utsman bin Affan pun tidak jauh beda dengan Umar bin
Khathab dalam memperhatikan kebutuhan para istri-istri Rasulullah. Dia
mengetahui ukuran yang pas untuk para istri Rasulullah, termasuk Aisyah. Aisyah
adalah orang yang mengetahui banyak hadits dari Rasulullah yang menjelaskan
tentang keutamaan Utsman bin Affan. Antara Aisyah dan Utsman bin Affan terjalin
hubungan yang baik dan saling memahami hingga terbunuhnya Utsman bin Affan. Aisyah
adalah orang yang pertama kali meminta agar pembunuhnya dan pemberontaknya
dijatuhi hukum qishash (balas bunuh).
Pada era kekhilafahan Ali bin Abi Thalib yang mewarisi
kepimpinan setelah kematian Utsman bin Afan, hubungan antara Aisyah dengan Ali
bin Abi Thalib pun berjalan sangat baik. Berjalan diatas kasih sayang dan
saling menghargai, keduanya mengetahui tugas dan kedudukan masing-masing, dan
Aisyah pun berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling pantas
memegang kekhilafahan setelah Utsman bin Afan, akan tetapi mereka berbeda
pandangan dalam masalah terbunuhnya Utsman bin Afan.
Adapun di masa Muawiyyah radhiyallahu ‘anhu, sebenarnya
tidaklah terjadi sesuatu yang mengganggu kejernihan ukhuwah antara keduanya
sebelum Muawiyyah menjadi khalifah. Dan memang sebenarnya Muawiyah begitu menghormati ummul mukminin Aisyah
radhiyallahu anha, dan berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan ummul
mukminin, khususnya setelah Muawiyyah menjadi khalifah. Hanya ada beberapa
kejadian yang mengganggu kejernihan hubungan keduanya. Meskipun begitu
Muawiyyah tetap bersungguhsungguh untuk memohon keridhoan Aisyah radhiyallahu
anha, mengirim surat untuk meminta nasehat, dan Aisyah pun akhirnya
menasehatinya.
Era Muawiyyah berlangsung selama 20 tahun, dan Aisyah
hidup dalam pemerintahannya selama 18 tahun, artinya beliau meninggal 2 tahun
lebih awal sebelum pemerintahan Muawiyyah berakhir, tahun 58 H. Ada juga yang
tidak sependapat seperti ini. Beliau disemayamkan di pemakaman Baqi’ dan pada
saat itu penduduk Madinah dilanda duka yang mendalam karena meninggalnya ummul
mukminin.
Bab Kedua:
Karakteristik Ummul Mukminin Aisyah, Ketinggian Ilmunya
Serta Pengaruhnya Terhadap Dakwah Islam
Pada bab kedua ini terbagi menjadi 3 bagian:
Bagian pertama: Sifat-sifatnya
Berbicara tentang sifat maka disana ada 2 macam sifat,
yaitu sifat secara fisik dan sifat secara psikis. Secara fisik, Aisyah adalah
wanita yang sangat cantik, berkulit putih, kemerah-merahan, berpostur tinggi.
Sedangkan secara psikis maka tidak ada lagi yang lebih menakjubkan dari akhlak
beliau. Beliau dibesarkan dalam lingkungan kenabian, didikan dan arahan
Rasulullah memberikan dampak yang begitu besar terhadap perkembangan akhlaknya,
dan mengatur perilakunya, dengan menjadikan Rasulullah sebagai tauladan, dan
selalu bersama dalam setiap kondisi dan keadaan.
Beliau adalah seorang yang rajin dalam beribadah,
selalu menegakkan tahajjud, terkenal banyak sholat malam, bertanggung jawab,
rajin dalam melaksakan ibadah-ibadah yang sunnah, dan beliau sama sekali tidak
ingin ketinggalan untuk melaksanakan ibadah haji.
Dan termasuk keistimewaan sifat beliau adalah
berakhlak mulia, murah hati, rajin bershadaqah, zuhud terhadap duniawi, menjaga
diri (dari dosa), khusyu’ dalam beribadah, selalu melaksanakan ibadah haji,
lembut hatinya, pejuang, pemberani, suka mendamaikan sesama manusia, pemalu,
mengajak kepada kebaikan, melarang kemungkaran,
berlaku adil, pandai mengatasi permasalahannya,membenci
pujian, dan sederhana. Itulah beberapa sifat yang menggambarkan akhlak beliau.
Yang Kedua: Kedudukan Ilmunya
Sungguh para ulama secara turun temurun telah memuji
ketinggian ilmu dan kefahaman beliau. Karena itulah, para shahabat acap kali
menanyakan berbagai permasalahan ilmu yang sulit kepada beliau. Dan tidak
diragukan lagi bahwa diantara sebab tingginya kedudukan ilmu yang diraih ummul
mukminin itu adalah; tajamnya kecerdasan beliau, kekuatan ingatannya,
pernikahannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam usia dini,
banyaknya wahyu yang turun (ketika Rasulullah) berada di rumahnya, serta lisan
beliau yang gemar bertanya meminta penjelasan.
Sungguh beliau radhiyallahu ‘anha selalu mengikuti
metodologi keilmuan (yang jelas), symbol ilmu yang jelas, itu terlihat dari:
bagusnya pemahaman beliau dalam berbagai permasalahan yang ada dalam Al-Qur’an
dan sunnah, menjaga diri dari berfatwa tanpa ilmu (asal bicara), kepiawaiannya
menggabungkan dalildalil dengan kefahaman penuh terhadap tujuan syariah Islam
dan ilmu-ilmu arab, serta mahirnya dalam memahamai teks–teks Syariat. Beliau
juga mengenal betul tatakrama dalam berbeda pendapat, serta memiliki uslub
keilmuan yang kental dalam mengajar.
Beliau memiliki keistimewaan dalam berbagai bidang ilmu
syariah maupun non syariah. Di antaranya dalam bidang ilmu aqidah, Al-Qur’an
dan kandungannya. Metode mengajarnya pun sangat efektif, terkadang beliau
mentafsirkan AlQur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah, terkadang
beliau juga mempertimbangkan asbabun nuzul-nya, serta mentafsirkan Al-Qur’an
dengan bahasa Arab. Semua itu dikarenakan mahirnya beliau dalam ilmu bahasa dan
luasnya penguasaan ilmu sastra Arab, baik syair maupun sajak. Begitu pula dalam
bidang sunnah nabawiyyah ummul mukminin Aisyah sangat menguasainya. Karena
kedekatan yang terjalin antara beliau dengan Rasulullah, beliau mendengar
langsung dari Rasulullah, melihat dengan mata sendiri segala tindak tanduk
suaminya tersebut, beliau juga sering bertanya kepada Rasulullah tentang banyak
perkara yang tidak ia ketahui ilmunya. Tidak kurang dari 2210 hadist telah
beliau riwayatkan dari Rasulullah sehingga menempatkan dirinya termasuk jajaran
para shahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Pemahamannya yang luas dalam berbagai bidang ilmu
menempatkan dirinya sebagai mufti yang selalu diambil fatwanya, beliau juga
termasuk orang yang terpandai diantara kalangan sahabat. Seperti dalam bidang
sejarah, kehidupan bangsa arab, sirah Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, bahasa,
sastra, fasih dalam berbicara, begitu juga dalam ilmu pengobatan dan
penyembuhan.
Luasnya ilmu dan banyaknya pengetahuan yang dimilikinya
telah banyak mempengaruhi ulama-ulama dari kalangan shahabat senior dalam
berbagai banyak permasalahan.
Yang Ketiga: Pengaruhnya Terhadap Dakwah Islam
Berbicara tentang pengaruh Aisyah dalam berdakwah
kepada jalan Allah baik ketika pada masa Rasulullah maupun kekhilafahan serta
masa-masa dinasti umawiyyah, maka beliau adalah seorang yang berdakwah diatas
metode yang bijaksana serta pembahasan-pembahasan yang sarat dengan kebaikan,
karena beliau adalah panutan bagi kaum muslimin.
Bab Ketiga:
Keutamaan Aisyah Dibandingkan dengan para wanita lain
di rumah kenabian, dan keutamannya dibanding ayahnya Sendiri
Yang pertama:
Adapun keutamaannya –dan ini bagian pertama pada bab
ini), diantaranya terdapat keutamaan yang sama seperti keutamaan istri-istri
Rasulullah yang lainnya. Dan ada pula yang khusus bagi beliau radhiyallahu
anha.
Diantara keutamaan beliau radhiyallahu ‘anha yang
sebanding dengan istri-istri Rasulullah yang lain adalah mereka semua termasuk
wanita yang paling utama di muka bumi secara mutlak, sebagai istri-istri dari
seorang hamba yang paling mulia dimuka bumi, sebagai ibu kaum mukminin
sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Al-Qur ’an
dan istri-istrinya adalah ibu ibu mereka
Mereka juga istri-istri Rasulullah di dunia dan
akhirat, mereka lebih memilih Allah dan Rasulnya serta kehidupan Akhirat
daripada kehidupan dunia dan perhiasannya, Allah juga menjaga kesucian mereka
dari segala dosa berupa syirik, akhlak yang tercela, etika yang buruk, serta
Allah melipat gandakan setiap ketaatan dan amal sholeh mereka. Masih banyak
lagi keutamaan-keutamaan mereka radhiyallahu anhunna yang lain.
Diantara keutamaan- keutamaan yang khusus bagi Aisyah
adalah:
1. Sabda
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam
“Keutamaan Aisyah atas kaum wanita seperti keutamaan tsarid
atas seluruh makanan”
2. Beliau
adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah, ketika beliau ditanya
“Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab,
“Aisyah”
3. Rasulullah
tidak menikahi seorang perawan pun selain Aisyah
4. Dalam
mimpi Rasulullah, Allah Azza wa Jalla menggambarkan Aisyah dengan sebuah kain
sutera, sehingga pernikahanya dengan Rasulullah adalah wahyu dari Allah.
5. Rasulullah
memilih untuk tinggal di rumah Aisyah ketika beliau sakit, sehingga beliau
meninggal di rumah Aisyah, pada hari gilirannya, dalam pelukannya, dan
bercampur antara ludahnya dengan ludah Rasulullah saat menjelang akhir
hayatnya, dan dikuburkan di rumah beliau radhiyallahu ‘anha juga.
6. Tidak
pernah turun wahyu sedang Rasulullah berada diselimut istrinya selain Aisyah.
7. Jibril
pun pernah mengucapkan salam untuknya
8. Beliau
juga mendapat jatah dua hari dan dua malam, melebihi istri-istri Rasulullah
yang lainya
9. Beliau
adalah wanita yang paling pandai dan banyak ilmunya, dan tidak satu pun wanita
yang lebih banyak meriwayatkan hadits Rasulullah dari pada ummul mukminin
Aisyah radhiyallahu ‘anha
10.
Rasulullah mendoakan ampunan bagi beliau
radhiyallahu ‘anha atas dosadosanya yang telah lampau maupun yang akan datang.
Masih banyak lagi keutamaan-keutamaan beliau
radhiyallahu ‘an ha yang lain.
Seluruh umat Islam dari zaman shahabat hingga zaman
ini, bahkan hingga datangnya hari kiamat pun selalu memuji beliau radhiyallahu
‘anha dengan kalimat-kalimat pujian. Kecuali Syiah Rafidhah yang telah keluar
dari Islam, sebagaimana kesepakatan para ulama.
Yang kedua: Keutamaan Aisyah dibandingkan dengan wanita
ahlu bait dan ayahnya.
Terdapat perselisihan diantara ulama, manakah yang
lebih utama antara Aisyah dengan ummul mukminin Khodijah radhiyallahu anhuma.
Pendapat terkuat adalah perlu adanya perincian dalam hal tersebut.
Ummul mukminin Khodijah lebih utama dalam hal
perlindungannya untuk Rasulullah, pembenarannya disaat semua orang mendustakan
Rasulullah, pertolongannya untuk Rasulullah dan dari beliaulah keturunan
Rasulullah lahir.
Sedangkan Aisyah lebih utama dalam bidang ilmunya dan
manfaatnya untuk umat muslim.
Maka yang benar adalah dalam permasalahan ini perlu
dijelaskan secara terperinci. Jika ditinjau dari segi kemuliaan nasab, maka
jelaslah nasab Fatimah binti Rasulullah lebih utama. Namun jika ditinjau dari
keutamaan ilmu pengetahuan, maka tidak diragukan bahwa Aisyah lebih utama dan
lebih bermanfaat bagi umat, dan lebih utama dari sisi ini.
Jika dibandingkan keutamaan Aisyah radhiyallahu anha
dengan Abu Bakar, maka para ulama bersepakat bahwa Abu bakar lebih utama dari
pada Aisyah. Semoga Allah Ta’ala meridhoi keduanya.
Bab Keempat:
Hubungan Baik Antara Aisyah Radhiyallahu Anha Dengan
Ahlul Bait Rasulullah
Pada zaman shahabat, tampak jelas makna persaudaraan
dan kasih sayang yang paling tinggi. Tidak pernah pudar hubungan baik antara
mereka dengan ahlul bait Rasulullah. Begitu pula hubungan Aisyah yang sangat
baik dengan para ahlul bait.
Yang pertama: hubungan baik yang terjalin antara beliau
radhiyallahu anha dengan ahlul bait yang terdapat dalam kitab-kitab ahlu
sunnah. Diantaranya adalah hubungan baik antara beliau dengan Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu anhu. Banyak dalil yang menjelaskan tentang hubungan baik
antara keduanya tersebut bahkan ketika mereka berbeda pendapat tentang kasus
terbunuhnya Utsman bin Afan. Hingga akhirnya, pendukung Ali bin Abi Thalib dan
pendukung Aisyah terlibat dalam peperangan yang bernama “Waqo’atul Jamal”.
Setelah itu Ali bin Abi Thalib mengirimkan kepada Aisyah hewan tunggangan,
perbekalan dan juga perhiasan. Sehingga Aisyah berkata kepada manusia, “Wahai
anakku, janganlah kalian mencela salah satu diantara kami, demi Allah
sesungguhnya yang terjadi antara kami hanyalah sesuatu yang biasa terjadi
antara perempuan dengan mertuanya, dan sesungguhnya dia termasuk orang baik
yang dalam teguranku” dan Ali bin Abi Thalib juga menjawab, “Dia benar,
karena sesungguhnya demikianlah yang terjadi antara kami, dan dia adalah istri
Rasulullah baik di dunia maupun akhirat” kemudian mereka berjalan
bersama dan Ali pun mengantarkan beliau ketika pulang. Begitulah hubungan baik
yang terjalin antara Ali dan Aisyah, semoga Allah meridhoi keduanya.
Begitu pula ketika Utsman bin Afan terbunuh, maka
beliau meminta para sahabat agar menjadikan Ali sebagai penerusnya dan setia
kepadanya. Bahkan kadangkadang Aisyah menyarankan kepada para sahabat untuk
meminta fatwa kepada
Ali juga.
Dalam bab ini juga dibahas hubungan baik antara Aisyah dengan
Fatimah Azzahra. Yaitu hubungan keduanya yang terjalin penuh kasih sayang,
cinta, dan keharmonisan, dan tidak ada yang menyangkalnya. Bahkan banyak sekali
dalildalil yang menunjukkan jalinan kasih sayang antara keduanya. Diantaranya
adalah apa yang diucapkan oleh Aisyah tentang Fatimah, “Saya tidak pernah
melihat seorang pun yang lebih baik dari Fatimah selain
ayahnya sendiri”. Aisyah juga meriwayatkan hadits tentang sebuah rahasia
antara Fatimah dan Rasulullah, kabar gembira yang Rasulullah khususkan bagi
Fatimah, yaitu sebuah kabar gembira bahwa Fatimah adalah pemimpin wanita di
surga. Seandainya ada kebencian antara mereka berdua, niscaya hal ini tetap
akan menjadi sebuah rahasia. Sementara yang terjadi adalah Fatimah
mengungkapkan rahasia yang telah Rasulullah khususkan untuknya dan tidak boleh
diungkapkan selama Rasulullah masih hidup, kepada Aisyah radhiyallahu’anha
sepeninggal Rasulullah. Ini menunjukkan jalinan kasih sayang yang terjadi
antara keduanya. Dan jika Fatimah pergi ke rumah Rasulullah sedangkan beliau
tidak ada, maka Fatimah akan menyampaikan maksudnya kepada Aisyah agar nanti
beliau sampaikan kepada Rasulullah. Hal ini menunjukkan bahwa Fatimah percaya
terhadap Aisyah. Bahkan Rasulullah memerintahkan kepada Fatimah supaya
menyayangi Aisyah, dan tidak mungkin bagi seorang Fatimah mengingkari perintah
ayahnya. Dan masih banyak lagi bukti yang menunjukkan hubungan baik yang
terjalin antara keduannya.
Aisyah juga selalu menjalin hubungan baik antara
dirinya dengan ahlul bait yang lainnya. Hadits tentang “al-kisa’ (kain)” yang
diriwayatkan oleh Aisyah adalah sebuah indikasi tentang hubungan baik yang
terjalin antara mereka. Hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah memasukkan
Hasan, Husain, Fatimah, dan Ali dalam kain bajunya dan bersabda,
“Sesungguhnya Allah menjauhkan kalian dari kekejian, Ahlu
bait dan membersihkan kalian dengan sebersih bersihnya”.
Begitu juga Riwayat beliau tentang keutamaan Hasan.
Bahkan Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib pun belajar kepada Aisyah
radhiyallahu anha. Dan tidak ada bukti nyata yang menunjukkan bahwa Aisyah
benci atau marah kepada Ahlu bait Rasulullah.
Yang kedua: pembahasan tentang hubungan Aisyah dengan
Ahlu bait menurut versi orang syiah. Disebutkan disebagian kitab-kitab mereka
sebuah persaksian bahwa Ali menjaga Aisyah, memuliakannya, menghormati
kedudukannya, dan sebuah persaksian dari mereka, bahwa Aisyah meriwayatkan
banyak hadits tentang keutamaan Ali, Fatimah, dan Ahlu bait. Dan Aisyah juga
mengizinkan Hasan untuk dikuburkan dirumahnya, mereka juga meyakini bahwa
Aisyah adalah penghuni surga, pemimpin ahlu bait menamai anak-anak perempuan
mereka dengan nama Aisyah, dan apa yang mereka sebutkan itu menunjukkan
hubungan baik yang terjalin antara keduannya, bahkan ketika Fatimah memasak
beliau tidak lupa memberikan sebagian masakannya untuk Aisyah, dan seterusnya
yang mereka sebutkan dalam sebagian kitabnya, hanya saja yang membuat mereka
mencabut semua klaim tersebut, karena adanya permusuhan antara Aisyah dengan
salah satu ahlu bait Rasulullah.
Bab Kelima:
Kedustaan dan Syubhat yang Ditujukan Kepada Aisyah dan
Bantahannya
Pasal Pertama yang berkaitan dengan sebuah rekayasa
penuh kedustaan yang ditujukan kepada Aisyah. Yang mana kita ketahui bahwasanya
Syiah Rofidhah lah menjadi dalang di balik kedustaan tersebut. Bahkan agama
mereka dibangun diatas kebohongan.
Diantara rekayasa mereka adalah sebuah tuduhan keji
bahwa Aisyah berusaha meracuni Rasulullah. Mereka mengarang sebuah cerita dusta
untuk mendukung tuduhannya tersebut. Mereka dengan seenak hatinya mentafsirkan
hadits-hadits yang shahih menurut hawa nafsunya. Namun tuduhan mereka telah
terbantahkan dengan cukup rinci, dan cukuplah dalam menanggapi ucapan itu bahwa
penghinaan mereka terhadap Allah dan Rasulnya jauh lebih besar daripada
penghinaan kepada Aisyah. Karena tidak mungkin seseorang ingin membuat tipu
daya kepada Rasulullah kemudian tidak ada wahyu yang datang untuk
memberitahunya. Seperti yang pernah Rasulullah alami ketika beliau berusaha
diracun oleh Yahudi. Atau seperti ketika beliau akan dilempar sebuah batu.
Jadi, mana mungkin Rasulullah hidup selama bertahun-tahun bersama dengan orang
yang ingin mencelakakannya, bahkan memilih untuk tinggal di rumahnya ketika
sakit, kemudian meninggal dalam pelukannya, dan Rasulullah tidak menyadari
bahwa Aisyah ingin mencelakainya? Sungguh kedustaan ini hanyalah rekayasa
belaka.
Mereka juga menuduh bahwa Aisyah suka berbohong kepada
Rasulullah, dengan menyertakan dalil palsu. Hal yang demikian itu sangat
bertentangan dengan kejujuran seorang Aisyah yang telah tersebar di kalangan
umat Islam kala itu. Karena beliau adalah seorang Shahabiyyah. Dan istri
seorang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bahkan Ummu Salamah masih menyebut beliau seorang yang
jujur ditengah kecemburuan yang melanda diantara keduanya kala itu, dan bukti
kejujuran beliau adalah bahwasanya beliau juga meriwayatkan hadits yang
menjelaskan sebuah kebohongan yang terjadi, dan sebuah rekayasa yang dituduhkan
kepada Rasulullah.
Sementara untuk tuduhan mereka kepada Aisyah yang
berkaitan dengan ahlu bait, maka cukuplah hubungan kasih sayang yang terjalin
antara mereka di pembahasan sebelumnya yang membantah semua itu.
Tuduhan lain yang sangat keji adalah mereka mengklaim
bahwa Allah memaparkan kisah istri dua orang nabi, Nuh dan Luth sebagai
perumpamaan bagi Aisyah. Maka jelas ini adalah sebuah kedustaan. Bagaimana
mungkin Allah menjadikan keduanya sebagai perumpamaan bagi Aisyah, sedangkan
perumpamaan itu adalah perumpamaan bagi orang-orang kafir, dan Rasulullah
setuju akan hal itu. Namun beliau tidak menceraikan Aisyah. Dan bagaimana
mungkin dalam Al-Qur’an Allah begitu memujinya dengan firman-Nya:
“Dan istri-istrinya adalah ibu ibu mereka”
Lalu kemudian memberikan perumpamaan untuknya dengan
dua wanita kafir dalam firman-Nya:
“mereka berdua dibawah pengawasan dua hamba..”.
Aisyah dan Hafshah berada dalam didikan dan pengawasan
Rasulullah saja, maka bisa dipastikan bahwa ayat itu bukanlah untuk Aisyah dan
Hafshah.
Tuduhan yang lain menyebutkan bahwa Aisyah membenci
Utsman bin Afan, dan dialah menyuruh untuk membunuh Utsman. Tuduhan ini juga
bersandarkan kepada berita-berita dusta yang dipercaya. Dan sangatlah jelas
berita bohong ini bertentangan dengan hadits yang berisikan tuntutan qishosh
kepada pembunuh
Utsman bin Afan. Bahkan beliau meriwayatkan banyak
hadits tentang keutamaan Utsman yang berasal dari Rasulullah. dan masih banyak
lagi tuduhan yang tidak masuk akal dari mereka.
Pasal kedua: Tentang syubhat yang sengaja diciptakan
untuk menyamarkan antara kebenaran dan kebohongan yang terjadi.
Diantaranya adalah syubhat yang berkaitan dengan
hubungan Aisyah dan Rasulullah. Mereka menuduhkan bahwa Aisyah adalah seorang
istri yang buruk perilakunya. Dan ini sungguh mengada-ada. Bagaimana mungkin
Rasulullah mencintai wanita yang buruk akhlaknya?. Bahkan Aisyah adalah istri
yang paling beliau cintai di antara istri-istrinya yang lain. Rasulullah
mencintai Aisyah karena agama dan akhlaknya, maka penjelasan ini cukup menjawab
semua syubhat yang berhubungan dengan Aisyah bersama Rasulullah. Dan tidak ada
seorang pun yang mencela berita tentang bagusnya perangai Aisyah. Akan tetapi
ada saja tulisan salah tentang masalah ini.
Mereka juga mengarang berita bahwa Aisyah sengaja
menyebarkan rahasia Rasulullah. Padahal yang menyebarkan rahasia itu adalah
Hafshah. Dan seandainya benar Aisyah yang melakukan hal itu, maka dia telah
berbuat maksiat dan dia bisa bertaubat dari dosa itu. Karena tidak ada
persyaratan bagi penghuni surga itu harus tidak pernah berbuat dosa. Mereka
juga menyebarkan kebohongan bahwasanya Aisyah menampar wajahnya sendiri
(meratap) ketika Rasulullah meninggal dunia. Dan berita ini sungguh
bertentangan dengan hadits dari Qais bin ‘Aashim yang menyatakan bahwa tidak
ada yang meratapi kematian Rasulullah. Dan seandainya benar seperti itu, beliau
mengakui ketika itu usia beliau sangat muda, dan itu bukti bahwa dia telah
bertaubat dari masalah ini, dan mengakui kesalahannya yang disebabkan oleh
besarnya musibah yang menimpa. Apapun itu, perkataan mereka sangatlah
bertentangan, karena mereka menuduh Aisyah menampari wajahnya karena sedih atas
kematian Rasulullah dan disisi lain Aisyah berusaha mencelakai Rasulullah dan
ingin meracuninya.
Disamping syubhat yang berkaitan dengan kehidupan
beliau bersama Rasulullah, mereka juga menyebarkan syubhat yang berhubungan dengan
ahlu bait.
Diantaranya adalah Syi’ah Rafidhah yang menyebarkan
berita dusta bahwa Aisyah membenci Ali bin Abi Thalib, sampai beliau tidak
pernah mengucapkan nama Ali. Maka jawabannya ada dalam pembahasan yang
sebelumnya, yaitu tentang jalinan kasih sayang yang terjadi diantara keduanya.
Dan ulama pun membantah hadits yang mendukung berita dusta itu untuk
membuktikan kebenarannya, bahwasanya beliau tidak terlalu ingat nama Ali. Bisa
jadi karena beliau tidak mengenal Ali dengan jelas karena terkadang Rasulullah
menyebut Al-Fadl dan pada kesempatan lainnya beliau menyebut Ali. Yang jelas
ada sebab yang membuat Aisyah tidak begitu ingat namanya. Akan tetapi ketika
menjelang lanjut usia mereka, terikatlah sebuah ikatan yang penuh kebaikan
diantara keduanya, sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya. Dengan itu kita
bisa menjawab semua syubhat Syi’ah tentang kemarahan Aisyah kepada Ali
disebabkan lemahnya tuduhan mereka.
Mereka menuduh bahwa Aisyah menghalangi Fatimah untuk
mengambil harta warisannya. Maka kita jawab bahwa Aisyah tidak pernah mencegah
Fatimah untuk mengambil jatah warisannya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata,
“Aku tidak meninggalkan warisan apapun, apa pun yang aku
tinggalkan adalah shadaqah”.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Aisyah dan istri-istri
nabi yang lain pun tidak mendapatkan warisan apapun dari Rasulullah, itu
berarti bukan hanya Fatimah yang terhalang. Bahkan ketika istri-istri Nabi
berencana untuk mengutus Utsman bin Afan kepada Abu Bakar untuk menanyakan
harta warisan Rasulullah, Aisyah menasehati mereka,
“Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa aku tidak men
inggalkan warisan, segala yang kutinggalkan menjadi shadaqah”
Tatkala Ali menjabat sebagai khalifah, beliau pun
menerapkan hal yang sama seperti Abu Bakar ketika menjabat sebagai khalifah,
tidak memberikan warisan Rasulullah shallallahu’laihi wasallam kepada Fatimah.
Terdapat beberapa syubhat yang lain, yang berkaitan
dengan syi’ah Rafidhah yang tidak perlu disebutkan. Semua termuat dalam buku
aslinya beserta bantahannya sekaligus.
Adapun tentang syubhat yang berkaitan dengan Perang
Jamal, tentunya hal itu membutuhkan pembahasan khusus yang lebih luas.
Pertama-tama menjelaskan tentang beberapa hal yang telah menjadi kesepakatan
para ulama. Diantaranya adalah berbaik sangka terhadap para sahabat. Jangan
pernah menghina mereka, serta menahan diri untuk tidak masuk kedalam
persengketaan yang terjadi diantara mereka. Meyakini bahwa mereka tidak
bersalah, serta menjelaskan bahwa perang itu terjadi setelah kematian Utsman
bin Afan, dan kesepakatan para sahabat untuk membaiat Ali serta adanya tuntutan
untuk meng-qishash pembunuh Utsman. Akan tetapi Ali memerintahkan mereka supaya
bersabar dahulu karena masih adanya suatu halangan, maka masalah ini pun
menjadi campur aduk. Ada hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu, serta
pemerintahan stabil, sehingga qishosh bisa dilaksanakan. Namun hingga sampai
empat bulan pembunuhan Utsman berlalu, tetap tidak ada keputusan bagi
pembunuhnya, maka terjadilah perselisihan, mereka menuntut balas atas kematian
Utsman, dan Aisyah pun berusaha mendamaikan kedua golongan yang bertikai
tersebut, maka beliau mengirimkan surat kepada Ali menjelaskan keadaan yang
terjadi, akan tetapi pembunuh Utsman yang menyusup diantara kaum muslimin
menghasut mereka agar berperang hingga terjadilah perang yang dikenal dengan
Perang Jamal. Perang pun berkecamuk dan banyak jiwa yang terbunuh. Melihat yang
demikian itu Aisyah pun menyesal karena telah ikut terlibat. Beliau berfikir
ada baiknya kalau tidak tidak pernah keluar, dan beliau tidak mengira jika
keadaan akan seperti itu.
Mereka menyebarkan kedustaan lagi bahwa Aisyah keluar
berperang untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, dengan menggunakan riwayat palsu
sebagai sandaran. Mereka berkata: bahwasanya Rasulullah bersabda,
“kamu memerangi Ali, dan kamu berbuat dholim kepadanya”.
Dan seperti yang diketahui, bahwa saat itu Aisyah
keluar dengan tujuan mendamaikan dua golongan yang bertikai, bukan untuk
membunuh sebagaimana tuduhan Syi’ah Rafidhah. Semua itu telah dibantah semuanya
dalam kitab aslinya.
Pasal ketiga: tentang berita bohong (tuduhan Aisyah
berzina dengan Sofwan, pent), baik yang dulu maupun yang sekarang ini terjadi
dan atsar-atsar yang menjawab keduanya. Pasal ini juga menyinggung bagaimana
mulanya tercipta berita bohong itu sebagaimana yang ada dalam riwayat Bukhori
dan Muslim. Serta beberapa penjelasan penting yang berkaitan dengan berita
bohong ini, seperti waktu terjadinya, siapa dalangnya, dan bagaimana sikap
Rasulullah dalam menyikapi berita ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
terlihat begitu sabar, yakin bahwa istrinya tidak bersalah, hal itu bisa
terlihat ketika Rasulullah bersabda,
“Demi Allah tidak lah aku mengetahui keluargaku melainkan
kebaikannya” dan seterusnya. Begitu juga sikap para sahabat.
Sedangkan “berita bohong” adalah berita yang sangat
layak mendapatkan perhatian khusus, dalam berita itu justru keutamaan beliau
tampak lebih jelas, menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang mulia
akhlaknya, melindungi kehormatannya dan menjaga rahasianya.
Seandainya manusia melihat berita itu tanpa melihat
keutamaan yang dimiliki oleh ummul mukminin sekalipun, bisa diketahui jika
tidaklah mungkin Aisyah melakukan perbuatan sebagaimana yang dituduhkan
kepadanya. Karena beliau pergi bersama Rasulullah pun atas undian yang beliau
dapatkan. Karena sudah menjadi kebiasaan Rasulullah jika beliau akan bepergian
ia selalu mengundi istriistrinya. Dan barang siapa yang keluar namanya maka
dialah yang akan mendampingi beliau. Pulangnya Aisyah pun pada siang hari di
hadapan mata manusia, tidak tertutup gelapnya malam, tidak ada yang
disembunyikan. Beliau menunggang kendaraan yang dipandu oleh Sofwan bin
Mu’atthol, dan tentang Sofwan bin Mu’atthol yang ditinggal oleh rombongan itu
bukanlah perkara yang aneh, karena sudah menjadi kebiasaan rombongan Rasulullah
selalu ada yang berangkat paling akhir guna memeriksa kembali barang bawaan atau
sesuatu apapun yang tertinggal dari rombongan utama, dan sebagainya. Hal itu
membuktikan bahwa beliau adalah seorang wanita yang bersih lagi suci, sedangkan
Syi’ah Rafidhah mempunyai pandangan yang keji terhadap Ummul Mukminin Aisyah.
Sebagaimana berita dusta zaman dahulu yang memberikan
hikmah yang banyak, demikian pula cerita dusta yang terjadi pada zaman sekarang
ini. Dan apapun tuduhan mereka kepada ummul mukminin Aisyah, Allah selalu
mensucikannya dari tuduhan tersebut. Dan dalam kisah dusta tersebut juga
menyiratkan banyak hikmah yang bisa diambil darinya. Ummul mukminin juga
membuka semua kedok Syi’ah Rafidhah. Beliau mengirim pesan yang jelas kepada
setiap orang yang menyeru untuk bergabung dengan Syi’ah, dan para ulama pun
menjelaskan tentang bahayanya Syi’ah Rafidhah. Banyak sekali dari mereka yang
kembali kejalan Allah dan meninggalkan agama Syi’ah setelah dipaparkan
kebenaran fakta dari Syi’ah tersebut, dan atsar-atsar yang menjawab tentang
berita dusta ini.
Bab Keenam:
Hukum Mencela Ummul Mu’minin Aisyah Radhiyallahu Anha
Para ulama telah bersepakat bahwa orang yang menghina
Aisyah setelah Allah mensucikan beliau dari segala tuduhan maka ia telah kafir.
Diantara ulama yang telah berpendapat demikian adalah Al-Qodhi Abu Ya’la, Ibnul
Qoyyim, Ibnu Katsir, Al-Hijjawy dan selainnya. Bahkan para ulama berpendapat
jika orang itu menghina Aisyah setelah Allah bersihkan nama beliau dari tuduhan
itu maka dia adalah kafir dan hukuman yang pantas untuknya adalah hukuman mati.
Namun jika orang itu menghina Aisyah dalam suatu hal yang tidak Allah turunkan
pembelaannya, maka ulama berpendapat bahwa dia telah melakukan dosa besar,
haram hukumnya menghina para sahabat. Dan istri-istri Rasulullah termasuk
golongan shahabat.
Namun terdapat perselisihan pendapat tentang orang yang
menghina Aisyah dalam suatu perkara yang Allah tidak mensucikan nama beliau,
apakah dia dihukumi kafir atau tidak.
Bab Ketujuh :
Aisyah Dalam Bait Syair
Bab ini mengandung kumpulan bait-bait syair yang memuji
beliau, keutamaankeutamaan beliau, dan pembelaan untuknya -semoga Allah
meridhoinya-.
Penterjemah : Ahmad Zawawi, Arif Dhiyaul Haq
Editor : Mas’ud Abu Abdillah