EPISTEMOLOGI USHUL
FIQH
Oleh
A. Chozin Nasuha
Fakultas Syari’ah
Ketua Konsentrasi Studi Al-Qur’an Pascasarjana UIN Bandung
Pendahuluan
Agama (al-dien) adalah ide murni, atau system ide dan kepercayaan yang
bersifat Ilahiyah, berkenaan dengan
ketaatan pada Tuhan, dan disampaikan kepada nabi-nabi. Dalam Islam, ide murni
itu berbentuk wahyu yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ide ini tidak
bisa diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Berbeda dengan pemikiran agama (Islamologi) yang seluruhnya merupakan
produk manusia dan sangat berkaitan dengan masyarakat. Konsep ini tidak bisa
dipisahkan dari realitas tertentu dan sejarah masyarakat. Karena itu,
Islamologi inilah gagasan ide Ilahiah yang dapat diletakkan dalam konteks kemanusiaan.
Dengan kata lain, kita harus membedakan antara Agama dan pemikiran Agama. Salah
satu pemikiran Agama adalah Ushul-Fiqh. Ilmu
metodologi ini memiliki susunan yang pada umumnya terjadi kontroversi antara
proposisi-proposisi dengan logika dan bahasa. Meskipun begitu, secara ontologis
ilmu ini dapat dikelompokkan menjadi empat point yaitu (1) nilainilai aturan
hokum (2) dasar-dasar aturan hokum (al-adillah
al-syar’iah) (3) cara atau metoda menganalogikan dalil menjadi hokum, dan
(4) ketentuan ijtihad, taqlid, dialektika kontradiktif, dan tarjih.
Ushul-fiqh merupakan khazanah kekayaan ilmu
yang secara langsung atau tidak langsung, turut memperkaya model keagamaan
kita. Pelaksanaan syariat Islam akan susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab
ushul-fiqh dianggap sebagai penuntun fiqh yang merupakan jawaban bagi kehidupan
kita. Ilmu ini dapat menjawab beberapa masalah yang diajukan, maka agar kita
dapat memanfaatkan, kita harus mengetahui jawaban apa yang perlu dibawakan oleh
ilmu ini, setelah kita mengajukan pertanyaan. Di sini kita memerlukan jawaban
yang benar, dan bukan debat kusir atau jawaban plintiran (safsathah). Lalu muncul pertanyaan, bagaimana kita mencari jawaban
yang benar? Masalah ini, oleh kajian filsafat disebut epistemology, dan landasan
epistemo-logi ilmu disebut metoda ilmiah. Dengan kata lain, metoda ilmiah
adalah cara yang dilakukan itu dalam menyusun pengetahuan yang oleh filsafat
ilmu disebut teori kebenaran.
Ushul-fiqh mempunyai ciri
spesifik yang tersusun mengenai apa (ontology),
bagaimana (epistemology) dan untuk apa (aksiologi). Ketika landasan
ini saling berkaitan, maka ontology ushul-fiqh terkait dengan epistemologinya,
epistemology ushul-fiqh terkait dengan aksiologinya, dan begitulah seterusnya.
Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemilogi ushul-fiqh, maka kita harus
mengaitkannya dengan ontology, dan aksiologi. Tetapi dalam tulisan ini, kita
hanya membahas tentang epistemology, dan
itu pun memakai kerangka berfikir penelitian ilmu social.
1. Pendekatan
Humanistik
Permasalahan yang sering muncul
adalah bahwa kerja ushul-fiqh itu objektif atau subjektif. Demikian karena
banyak sekali materi fiqh yang dikelola melalui ushul-fiqh, beda pendapat
antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Cara berfikir ushuliyun selalu memakai pendekatan kwalitatif, maka oleh sebagian
ilmuan dianggap tidak objektif. Berbeda dengan paradigma ilmu yang memakai pendekatan kwantitatif, yang serba ilmiah dan
terkontrol. Hal ini diakui oleh ushuliyun
sendiri, dan tidak akan menolak.
Memang kerja ushul-fiqh sedikit
mengabaikan prinsip objektifitas, jika istilah objektif sebagai aturan ilmu
yang harus terukur, ada keberulangan, dan perilaku yang dapat diramalkan.
Hampir semua ushuliyun tidak berfikir
seperti itu, karena ushul-fiqh berhubungan dengan perilaku manusia (af’al mukallafin), maka subjektivitas
tetap memiliki peran tersendiri. Ushul-fiqh yang selalu menekankan pada
pendekatan subjektivitas, biasanya disebut studi humanistik. Paham ini berpandangan bahwa fiqh yang dikelola oleh ushul-fiqh
bukan harga mati, tetapi wilayah interpretative.
Menurut pandangan ahli-ahli
rasional, teratur, atau sistematik, perilaku manusia bersifat kontektual
berdasarkan makna yang diberikan di lingkungannya. Kalau ilmu di luar humaniora
lebih ditekankan pada ‘kedisiplinan’, humaniora justru kearah interpretasi
alternatif. Posisi ilmu humaniora, termasuk ushul-fiqh adalah pada ‘siapa’ dan
menentukan ‘apa yang dilihat’. Menurut paham ini realitas perbuatan manusia
termasuk fenomena yang cair dan mudah berubah. Fenomena ini bersifat polisemik
yang memerlukan penafsiran. Jadi kerja ushul-fiqh selalu bergerak pada
‘komakoma’ bukan berhenti pada satu titik.
Persoalan objective ilmiah dan
subjektivitas tidak ilmiah, memang telah lama ditujukan pada semua ilmu agama,
termasuk ushul-fiqh. Apalagi ilmu ini menyajikan penafsiran dan hermeunitika.
Tentu saja penafsiran semacam ini keberatan jika dikait-kan dengan penilaian
objektif dan subjektif. Tetapi muncullah beberapa tokoh sosio-log yang
mengatakan bahwa objektivitas itu hanya berlaku bagi ilmu alam. Dengan kata
lain, ilmu agama memiliki kateristik tersendiri. Karena itu subjektivitas
interpre-ter yang sering memasukkan resepsi, kepekaan, akal sehat, dan pendapat
yang terbuka, mestinya tidak harus sama persis dengan “self-understanding”. Itulah maka objektivitas dalam ilmu social,
ilmu budaya, termasuk ushul-fiqh tidak bisa absolut.
Ketika ushul-fiqh dianggap
sebagai karya pemikiran dalam Islam (tsaqafah
Islamiah), muncullah dilematis apakah ushul-fiqh itu sebagai ilmu atau
sebagai seni berdebat. Begitu pula ketika para ilmuan melihat perdebatan dalam
Islam antara ahli hadits dan ahli rakyu, dalam memecahkan konsep syari’ah,
mereka bertanya, apakah ushul-fiqh itu Agama atau ilmu agama. Kalau ushulfiqh
dipandang sebagai Agama, (bukan ilmu agama) lalu sampai dimana kita
memperlakukannya sebagi sumber data untuk membangun teori yang dianggap
objective. Kenyataan ini membutuhkan kesadaran baru yang menjadi ciri
postmodernisme. Yaitu bahwa representasi, suatu penyajian dalam perbandingan
mazhab misalnya, tentang suatu aliran ushul-fiqh, pada dasarnya tidak pernah
menyajikan gambaran sebagaimana adanya. Penyajian atau uraian itu telah
dibungkus dalam kemasan tertentu. Ushul-fiqh sebagai teks tidak bisa diuraikan
apa adanya tetapi mengalami ‘distorsi’ tertentu setelah melalui proses
penafsiran (syarah).
Ushul-fiqh selalu muncul dalam
kerangka berfikir tertentu dan tidak bisa bebas begitu saja. Tetapi dalam
penyajiannya selalu muncul nilai subjektivitas di dalamnya. Karena itu, meskipun mulanya ushul-fiqh itu
gagasan al-Syafi’iy untuk membangun mazhabnya, tetapi dalam perkembangannya,
mucullah Ushl-fiqh Zaidiyah, Ushul-fiqh Mu’tazilah, Ushul-Fiqh Syi’ah,
Ushul-fiqh Hanafiyah, Ushul-fiqh Zhahiri, dan sebagainya. Lalu apa artinya
kebenaran ilmiah ? Kebenaran ilmiah bersifat relatif, kondisional, dan
tergantung konsensus atau kesepakatan. Tidak ada kebenaran mutlak dalam ilmu
soasial atau budaya termasuk ushul-fiqh. Karena itu, setiap ushuliyyun harus siap menerima kritik
atas kekurang tepatan analisanya. Dalam kaitan ini, Abdulwahhab al-Sya’rani
berkata : Mazhab kami adalah benar, tetapi mungkin juga salah. Mazhab di luar
kami adalah salah, tetapi mungkin juga benar. Demikian ini tertuang dalam kitab
klasik berjudul Mizan al-Kubra, maka
nilai pluralis ini termasuk ciri postmodernism.
Perkembangan selanjutnya, bahwa
ahli-ahli perbandingan mazhab dapat menyusun kesadaran ‘subjektivitas’ yang
selanjutnya diarahkan pada penulisan biog-rafi individu (tokoh).
Dalam konteks modernis yang kaku,
ushuliyyun berpandangan harus
objektif, memiliki otoritas, netral dari mazhab, dan selalu mengolah teks
dengan objektif. Padahal fiqh yang dikelola melalui ushul-fiqh selalu berubah
karena perubahan waktu dan tempat, akibatnya makna teks bisa plural dan bisa
berkembang. Jadi pemikiran semacam itu harus ditata ulang kalau dia akan
mempelajari ilmu ushul-fiqh.
Memahami pendapat tokoh memang
sangat menarik, sama seperti menariknya mempelajari perbedaan subjective dan
objective bagi orang yang berpendapat dan pendukung. Permasalahan ini akan
terkait pula dengan soal ilmiah atau tidak ilmiah, ilmuan atau propagandis,
akademis atau idiologis, dan begitulah seterusnya. Padahal uraian yang dinilai
seperti itu tergantung bagaimana tokoh itu menguraikan.
Pada waktu positivisme menjadi
idola setiap ilmuan, semua pemikiran yang tidak objective dinilai lemah,
termasuk kerangka kerja ushul-fiqh. Tetapi setelah muncul strukturalisme, dan
teori ini bisa diterapkan pada penggalian fiqih yang ijtihadnya ditata rapih,
maka bisa ditemukan objektivitas. Terutama jika strukturalis itu berupaya
menemukan masalah penting dalam setiap uraian fiqh yang disajikan, seperti
kesimpulan: lebih manfaat, lebih
maslahat, lebih adil dan semacamnya. Lebih lagi jika semua itu tidak
terjebak pada alam khayal realis, melainkan selalu berpegang pada bahasa
sebagai alat pemikiran.
Disitu jelaslah bahwa ushul-fiqh
yang bisa dipandang bernilai subjective, tidak ilmiah, terlalu keagama-agamaan
itu sebenarnya tidak benar. Disiplin ilmu ushul-fiqh tetap mengedepankan aspek
kebenaran tertentu sejalan dengan tujuan, metoda, hubungan antara dalil dan
mad-lul, dan analisis yang berwawasan lain dengan pendekatan objective.
Perbedaan ini tidak berarti bahwa kerja ushul-fiqh itu hanya asal-asalan,
melainkan berusaha memahami fenomena liwat subjective yang tidak mungkin
terfahami melalui objektivitas.
Mushawwibah dan Mukhaththiah
Di dalam Islam, semua teks
(al-Qur’an dan al-Hadits) yang berbentuk zhanni
(dugaan) maka makna yang muncul dari teks itu selalu dirumuskan dalam
kesimpulan yang berbeda-beda (mukhtalaf
fih). Bagi pengikut teori mushawwibah
akan mengatakan bahwa semua kesimpulan yang beda-beda itu, yang benar tidak
satu, bahkan bisa juga semuanya benar. Demikian jika semua mujtahidnya
menampilkan kerangka berfikir yang sejalan dengan jalur ushulfiqh. Sedangkan
pengikut mukhath-thiah akan
berpendapat bahwa semua kesimpilan yang banyak itu, yang benar cuma satu saja,
apalagi jika beberapa kesimpulan tadi ada nilai kontradiktif.
Penilaian semacam itu muncul
karena ushul-fiqh atau kerangka berfikir fiqh memanfaatkan penalaran subjective
dan paradigma kwalitative. Penalaran semacam ini kurang memiliki kebenaran pada
tingkat tertentu. Kebenaran ushul-fiqh dianggap mengada-ada dan spekulasi yang
merancang. Tentu saja asumsi seperti itu tidak selalu benar. Meskipun begitu,
pengembangan ushulfiqh seyogyanya berusaha keras untuk meyakinkan orang lain,
bahwa fiqh yang diproduksinya memiliki kadar logika dan kebenaran.
Logika dan kebenaran dalam
ushul-fiqh tidak berbeda dengan metoda penelitian ilmu social atau ilmu budaya.
Logika tetap menjadi wahana untuk mencari kebenaran. Meskipun begitu, banyak
sekali macam-macam logika yang dipergunakan untuk mencapai kebenaran itu.
Tetapi tidak semuanya relevan bagi pengembangan ushul-fiqh. Macam-macam logika
itu antara lain : (a) logika formal. Logika ini berusaha mencari kebenaran
dengan mencari relasi antar muqaddimah shugra
dan kubra dengan tujuan untuk
menggeneralisasikan natijah yang ada
pada setiap syakal (qiyas manthiqi).
Logika ini tidak bisa diterapkan dalam ushul-fiqh. karena ushul-fiqh tidak
mengejar qiyas-qiyas manthiqi seperti
itu, tetapi transferabilitas. (b) logika matematik. Logika ini pencarian
kebenaran dengan mencari relasi proposisi menurut kebenaran materiil seperti
tiga kali tiga itu sembilan. Logika ini didukung oleh rerata yang pasti dan terukur. Andalan logika ini adalah adanya
dalil, aturan, dan rumusrumus pasti. Logika semacam ini dimanfaatkan oleh
statistika dan bisa berlaku bagi penelitian ilmu social, ilmu budaya, termasuk
ilmu agama yang penganut faham posistivistik. (c) Logika reflektif, yaitu cara
berfikir dengan sangat cepat, untuk mengabstraksikan dan penjabaran. Logika ini berlangsung cepat
dan bisa memanfaatkan daya intuisi. Dalam ilmu tasawwuf, logika ini disebut
pendekatan dzauqi yang bisa
berkembang sampai laduni. (d) logika
kwalitatif, yakni pencarian kebenaran berdasarkan paparan deskriptif data di
lapangan atau di perpustakaan. Kwalitas kebenarannya didasarkan pada realitas
yang ada. (e) logika linguistik, yaitu pencarian kebenaran berdasarkan
pemakaian bahasa. Logika ini banyak diminati oleh penelitian al-Qur’an dan
semacam penelitian yang memerlukan penafsiran.
Dari macam-macam logika di atas,
ushul-fiqh cenderung memanfaatkan logika kwalitatif dan logika linguistik.
Suatu saat logika reflektif pun dipakai pula, terutama untuk mengembangkan
dalil metodologis seperti istihsan dan mashalih mursalah. Logika kwalitatif
banyak dipergunakan untuk mengembangkan dalil sosiologis seperti ijma’, qaul
shahabi, dan lain-lain. Sedangkan logika linguistik dipergunakan untuk
mengembangkan dalil normative, yaitu al-Qur’an dan teks al-Hadits.
Dari segi lain, logika kwalitatif
biasanya dipergunakan untuk lingkup kebenaran yang terbatas. Artinya, kebenaran
yang dicapai bukan sebuah wacana yang berlaku universal, melainkan hanya pada
tingkat local, atau kasus tertentu saja. Karena itu, kebenaran kwalitatif
bersifat lebih spesifik dan tidak menghendaki adanya regualitas. Oleh karena
itu teks atau kasus yang dikelola memakai logika kwalitatif akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda-beda. Hal ini bukan berarti kebenaran semacam itu
lemah, tetapi tetap menggunakan dalil berdasarkan realitas. Itulah suatu fenomena
yang oleh Islam disebut rahmatan
lil’alamin.
Dulu, penelitian ilmu social dan
ilmu budaya diarahkan pada pemikiran objektif dan matematis. Tetapi setelah
mereka mulai meninggalkan logika tradisi, dan ingin mencari kebenaran baru yang
lebih orisinil, mereka mengejar perkembangan yang disebut postmodernisme. Kalau perkembangan ilmu itu seperti itu, maka akan
berte-mu dengan ushul-fiqh yang kebenarannya didasarkan pada argumentasi,
imajinasi, dan common sense (akal
sehat).
Kebenaran dalam ushul-fiqh adalah
nisbi (zhanni) dan relative (mukhtalaf fih), dan menganut hokum
probabilitas (ijtihadiah). Titik
tolak ushuliyun semacam itu adalah
kebenaran kreatif cerdas, dan tidak
menyalahkan orang lain seperti meng-hakimi salah,
bid’ah, jumud, dan sebagainya. Tentu saja pendirian ushuliyun seperti itu tidak disetujui oleh agamawan yang taat pada
kebenaran matematis.Di antara mereka ada yang berkata : Allah itu satu. Nabi
Muhammad itu satu, dan Al-Qur’an juga satu, maka seharusnya pemikiran Islam pun
satu pula (bersatu). Padahal sulit dipungkiri bahwa kebenaran kreatif pun akan
mampu mewadahi aspirasi kebenaran yang kecil-kecil, yaitu kebenaran yang jarang
teradopsi oleh ilmuan yang selalu berfikir global.
Perlu dipertimbangkan, baik oleh
pengikut mushawwibah atau mukhaththiah bahwa perilaku manusia (af’al al-mukallafin) adalah unik, dan
inilah yang menjadi objek pembahasan ushul-fiqh. Oleh karena itu tuntutan
kebenaran dan atau objek-tivitas ushul-fiqh hendaknya dicari bukan seperti
fenomena alam. Jika fenomena alam ada hal-hal yang secara fisik teramati,
terulang, dan teratur, maka perilaku manusia tidak selamanya bergerak seperti
itu, bahkan selalu bias. Tingkat bias ini hanya mampu diolah menjadi objective
apabila dilukiskan secara verstehen (mudah
terfahami). Jika fiqh yang diproduksi melalui ushul-fiqh tadi dapat diterima
oleh masyarakat, berarti dalam ushul-fiqh tadi ada kejelasan. Kejelasan inilah
yang disebut kebenaran.
Jadi kalau kebenaran ilmuan
objective lebih menyukai penjelasan logis, maka ushul-fiqh menyajikan
penjelasan yang berisi penafsiran. Kalau kebenaran objective ingin melihat
pembakuan pengamatan yang teratur, maka penglolaan ushul-fiqh bersifat humanistic yang kreatif. Dengan kata
lain kebenaran ushul-fiqh lebih menitik beratkan pada aspek humanistic
kemanusiaan. Itulah sebabnya, ushul fiqh dinilai unik yang memandang bahwa
perilaku manusia satu sama lain tidak selalu sama. Dengan demikian, orang yang
berpendapat bahwa Ushul-fiqh al-Syafi’iy itu mirip dengan Manthiq Plato atau
Aristotales, itu tidak benar. Karena kebenaran Manthiq memiliki hubungan
kausalitas yang jelas dan harus relasional yang memungkinkan kontrol proposisi.
Sedangkan kebenaran Ushul-Fiqh ditekankan pada penafsiran logic yang
kadang-kadang bercampur dengan intuisi, imajinasi, dan kreativitas. Oleh karena
itu, melalui penafsiran semacam ini, Ushul-Fqh lebih mampu memasuki sisi-sisi
perso-alan hukum yang berkaitan dengan perilaku umat (af’al almukallafin).
Lebih dari itu, kebenaran
ushul-fiqh bukan hal yang dirancang ada, tetapi harus dicari dalam konteks. Ushuliyun hanya bertugas menghimpun,
mengorganisasi, mengklasifikasi, dan menglola dalil-dalil fiqhiyah untuk
keperluan fiqih.
Ushul-fiqh aliran Rakyu dan aliran Mutakallimin
Penerapan ushul-fiqh sering
direpotkan ketika ushuliyun akan
membuat fiqh, terutama ketika mencari bentuk aliran, apakah ushul-fiqh aliran rakyu atau aliran mutakallimin. Dua aliran ini, secara etimologis memang bertolak
belakang. Keduanya memiliki implikasi metodologis yang berbeda. Padahal
keduanya sama-sama dimanfaatkan oleh imam-imam mujtahid.
Rakyu adalah aliran dalam
ushul-fiqh yang teori-teorinya dibangun atau disusun sesudah fiqh terbentuk.
Artinya, mujtahid ini mengamati perilaku orang-orang mukallaf yang ada pada
masyarakat, kemudian dia memproduk fiqh secara induktif. Setelah itu disusunlah
ushul-fiqh untuk dasar-dasar pengembangannya, di samping kaidah fiqhnya juga.
Karena itu, uruf (tradisi), mashalih al-mursalah, dan istihsan di-ambil sebagai dasar hukum
fiqh. Ushul-fiqh aliran ini dipakai oleh Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan
Mu’tazilah. Dalildalil ini, biasanya dirumuskan berdasarkan istiqra (penelitian) untuk mencari
bentuk fiqh.
Sebaliknya, jika mujtahid itu
menyusun ushul-fiqh dulu, kemudian memproduki fiqh berdasarkan ushul-fiqh tadi,
berati ushul fiqh ini disebut aliran mutakallimin.
Aliran ini berfikir deduktif, dengan menyesuaikan perilaku umat (af’al al-mukallafin), kepada teori-teori
ushul-fiqh tadi. Aliran ini dipakai antara lain oleh Mazhab Syafi’iy, Mazhab
Hanbali, Mazhab Zhahiri, dan Mazhab Syi’ah Itsna Asyariyah. Aliran ini tidak
mau memakai ‘uruf, mashalih almursalah, dan
istihsan, karena semua dalil ini bisa
bertentangan dengan qiyas ‘am. Aliran
ini, tambahan dalil pokoknya adalah istish-hab,
yaitu dalil yang memandang persoalan hokum, selama tidak ada dalil yang
mengubah maka tetap berlaku sampai sekarang dan masa depan.
Ushul fiqh model ini agak sempit
dan seperti membatasi diri pada kondisi lapangan tertentu, terutama jika kita
melihat perkembangan kehidupan yang cepat berubah. Akibatnya, teori-teori
ushul-fiqh hanya terpaku pada pemahaman dasar (al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’
dan al-Qiyas) dan beberapa dalil yang berorientasi ke belakang seperti istishhab, dan syara’ man qablana. Dengan kata lain, ada kelemahan bagi aliran
ini, yaitu kurang menghargai fenomena dan realitas. Berbeda dengan aliran rakyu
yang menggunakan dalil ‘uruf dan istihsan, bisa masuk ke dalam rangka (a)
Ushuliyun bisa mengolah semua
permasalahan yang muncul di tengah masyara-kat, dengan teori-teori
ushul-fiqhnya. (b) Ushuliyun bisa
berhubungan langsung secara akrab dengan masyarakat yang memakai mazhab
tertentu (c) Ushuliyun dapat
menguraikan latar belakang secara penuh, sehingga uraian fiqhnya bisa
mengangkat dalildalil kulli dengan
meninggalkan dalil juz’iy yang
sama-sama zhanni.
2. Pendekatan Emik dan Etik
Ada dua cara pandang (pendekatan)
yang saling bertolak belakang. Dua pendekatan ini disebut pendekatan emik
(fonemik) dan pendekatan etik (fonetik). Awalnya, pendekatan ini muncul dari
istilah linguistik, yang dalam ilmu budaya dipopulerkan oleh Kenneth Pike.
Dalam Kitab Klasik, teori ini pernah dikembangan oleh Ibn Jinni dan al-Jurjani.
Menurut Ja’far Dikki, teori Ibn Jinni dan teori Al-Jurjani saling melengkapi
untuk membangun teori linguistik yang baru. Penggabungan dua teori tersebut
adalah (a) Penggabungan antara studi diakronik
Al-Jurjani dan singkronik Ibn
Jinni merupakan hal yang signifikan (b) Teori Ibn Jinni yang mengatakan bahwa
bahasa tidak terbentuk seketika, tetapi berproses, dan teori Al-Jurjani tentang
hubungan antara bahasa dan pertumbuhan pemikiran, merupakan hal yang saling
terkait. Dengan demikian bahasa dengan segala aturannya tumbuh dan berkembang
seiring dengan pertumbuhan pemikiran manusia. Teori dua tokoh tadi
mengembangkan aliran linguistik Abu Ali al-Farisi, yang kateristik umumnya
adalah (a) Bahasa pada dasarnya terbetuk secara system. (b) Bahasa merupakan
fenomena social dan strukturnya terkait dengan fungsi transmisi yang melekat
pada bahasa tersebut. (c) Adanya kesesuaian antara bahasa dan pemikiran. Dari
segi lain, ahli-ahli linguistik mempelajari kamus Maqayis alLughat karya Ibn Faris. Tokoh ini meng-embangakan teori
gurunya, yaitu Sa’lab yang membedakan antara kata benda sebagai subjek (ism dzat) dan kata benda sebagai sifat (ism shifat). Tampaknya, dari teori
semacam inilah muncul gagasan tentang emik dan etik untuk mengembangkan ilmu
sosial dan ilmu budaya, dan sekarang dicoba untuk mengembangkan
ushul-fiqh.
Secara epistemologis, pendekatan
etik dan emik memiliki implikasi yang berbe-da. Jika ushuliyun berusaha mengembangkan ushul-fiqh menurut mazhab
universal dengan menggunakan cara-cara yang ditentukan sebelumnya, maka cara
ini, oleh teori linguistik disebut etik. Sebaliknya, jika pengembangan
ushulfiqh itu berdasar-kan mazhab regional (mazhab Syafi’iy saja misalnya) maka
berarti ushuliyun telah mengembangkan
ushul-fiqh dengan pendekatan emik. Bagi ushuliyun bisa juga menggunakan salah
satu pendekatan, dan atau menggunakan keduanya. Yang penting mereka
memperhatikan konsistensi pemanfaatan keduanya, agar tidak terjadi campur aduk.
Kedua pendekatan ini memiliki kelemahan masing-masing dan sekaligus memiliki kekuatan
tertentu.
Menurut Marvin Harris, istilah
etik dan emik akan berhubungan dengan masalah objektif dan subjektif. Etik
bersifat sangat tertutup dalam hal makna, seperti prinsip objektif. Tetapi emik
tidak bisa disejajarkan dengan subjektif saja tetapi bisa juga disejajarkan
dengan objektif dan subjektif sekali gus. Kalau teori ini diterapkan pada
ushul-fiqh universal dan ushul-fiqh regional, maka bisa berhubungan dengan
objektif dan subjektif dalam penerapan. Artinya, jika dalam ushul-fiqh tadi ushuliyun
mengo-lah dalil normative (tsk al-Qur’an dan teks al-Hadits), maka bisa
menemukan objektif dan subjektif. Tetapi jika mereka mengolah dalil metodologis
seperti istihsan maka dia akan
terjadi subjektif. Jadi perbedaan antara objektif dan subjektif dan penyebutan
ushul-fiqh regional dan universal, tergantung penggunaannya.
Jelasnya, pendekatan etik dan
emik merupakan landasan norma pengembangan penelitian yang berusaha memahami
tingkah laku manusia. Tingkah laku tersebut penuh dengan makna, karena di
dalamnya terdapat aneka macam symbol aksi. Begitu pula ushul-fiqh yang
mengambil istilah mazhab regional dan mazhab universal, meru-pakan landasan
pengembangan ushul-fiqh itu sendiri, yang berusaha memahami tingkah laku
manusia (af’al almukallafin). Tingkah
laku ini penuh dengan makna (penilaian), karena di dalamnya terdapat berbagai
aksi (akidah, niat, ucapan, gerakan dan perbuatan).
Pendekatan mazhab regional dan
mazhab universal pada dasarnya merefer pada sudut pengembangan ushul fiqh itu
sendiri. Jika ushuliyun itu
mendasarkan pengem-bangannya pada mazhabnya sendiri, berarti dia mengembangkan
ushul-fiqh regional. Dan jika dia menggunakan sudut pandang beberapa mazhab,
berarti dia menggunakan ushul-fiqh akurat apabila dia mampu menangkap persamaan
dan perbedaan pendapat beberapa tokohnya, selanjutnya dikategorikan dan dicari
signifikasi teori secara penuh. Berarti pengambilan mazhab regional lebih
memperhatikan teori yang lebih aspiratif. Sebaliknya, pemaparan ushul-fiqh
universal lebih tergantung pada kejelian ushuliyun
itu sendiri, dalam menampilkan suatu teori secara ilmiah.
Jika ushuliyun itu pengembangannya memilih ushul-fiqh mazhab universal,
pada akhirnya dia harus melakukan generalisasi. Pada saat itu dia harus
melakukan beberapa hal. (a) dia harus mengelompokkan secara sistematis seluruh
pendapat atau teori ushul-fiqh yang ada, ke dalam system tunggal. (b) dia
menyediakan ukuran atau kriteria untuk klasifikasi setiap dalil yang menunjang
teori-teori ushul-fiqhnya. (c) dia mengorganisasikan teori yang telah
diklasifikasikan ke dalam type-type tertentu. (d) menganalisa, menemukan, dan
menguraikan setiap teori (qaul) dan
argumentasinya ke dalam kerangka system yang telah dibuat, sebelum dia
mempelajari ushul-fiqh.
Sebaliknya, pendekatan ushul-fiqh
mazhab regional termasuk ushul-fiqh mazhabnya sendiri, merupakan esensi yang
shahih untuk fenomena fiqh pada suatu waktu tertentu. Pendekatan ini relevan
sebagai usaha untuk mengungkap pola-pola fiqh menurut persepsi mazhabnya.
Pendekatan ini menegaskan bahwa konsepnya muncul dari ushuliyun sendiri. Berbeda dengan pengembangan ushul-fiqh
universal, ushuliyun berdiri di luar
mazhabnya sendiri. Pendekatan pertama (regional) akan terkait dengan
keseluruhan teori mazhabnya, dan akan
menekankan pada kenisbian. Pendekatan ini lebih natural dalam mereprosentasikan
teori ushul-fiqh dan sejalan dengan konsep ushul-fiqh secara operasional.
Sedangkan ushul-fiqh universal ditekankan pada sikap mutlak. Dari satu segi,
pendekatan ini kurang natural, dan sejajar dengan teori ushul-fiqh secara
kognitif.
Jika kedua pendekatan itu
diperbandingkan maka akan tergambar dalam karakte-ristik sebagai berikut.
Pendekatan ushul-fiqh regional adalah (a) Ushuliyun akan mempelajari perilaku
masyarakat (af’al al-mukallafin) yang
mengikuti mazhabnya sendiri. (b) Ushuliyun
hanya mempelajari ushul-fiqh dari mazhabnya sendiri, yaitu ushulfiqh
al-Syafi’iy misalnya, yang ditulis oleh beberapa tokoh mazhab itu. (c) Struktur
ushul-fiqh diten-tukan oleh kondisi dan situasi jama’ah yang mengamalkan
fiqhnya. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat relatif dan terbatas.
Sedangkan ushul-fiqh universal
adalah (a) Ushuliyun akan mempelajari
perilaku manusia (af’al al-mukallafin)
dari luar mazhabnya sendiri. (b) Ushuliyun
akan mempelajari ushul-fiqh dari berbagai mazhab dan membandingkannya satu sama
lain. (c) Struktur ushul-fiqh ditentukan oleh ushuliyun itu sendiri dengan membangun konseptual. (d) Kriteria
ushul-fiqh bersifat mutlak, ada generalisasi dan berlaku universal.
Dari karakteristik seperti itu,
tampak bahwa ushuliyun regional akan
menjadikan dirinya sebagai bagian utuh dari mazhab itu. Ushuliyun ini ikut merasakan dan bertindak sebagai partisipan
penuh. Kehadiran ushuliyun seperti
ini menentukan ke-berhasilan. Tentu saja subjektivitas pun tetap sulit
dihindarkan. Apalagi ushuliyun tadi
pendukung mazhabnya. Jika dia tidak mampu mengambil jarak, bisa terjadi bias.
Sedangkan pengembang ushul-fiqh universal, otoritas ushuliyun sangat menentukan. Kemampuan mereka membangun konsep yang
akan diterapkan, amat menentukan keberhasilan.
3. Pendekatan Positivistis dan Naturalistis
Dulu, gagasan positivistic itu
dicetuskan oleh Ibn Taymia. Tetapi karena ia wafat dalam tahanan dan
buku-bukunya baru beredar setelah lima ratus tahun, maka gagasan semacam itu
mandeg, kata Nurcholis Madjid. Setelah muncul falsafat Agust Comte
(1798-1875) dan tulisan Emil Durkheim
(18581917) banyak ilmuan yang mengambil falsafat ini sebagai pendekatan
penelitian. Filsafat ini berfikir statistik dan biasanya menolak pemahaman
metafisik dan teologis. Bahkan faham ini sering manganggap bahwa pemahaman
metafisik dan teologis terlalu primitif dan kurang rasional. Begitu pula Ibn
Taymia mengembangkan pemikiran tekstualis, realistis, dan tidak menerima ta’wil. Ia juga tidak menerima berfikir
teologis, terutama pemikiran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Dalam kitabnya, Al-Radd ‘alal Manthiqiyin, Ibn Taymia
menolak berfikir falsafati yang membuat konsep-konsep yang abstrak dan
subjektif. Dalam kitab itu, tulisan yang berfikir manthiqi seperti konsep definisi, silogisme dan lain-lain ditolak,
yang kadang-kadang dikuatkan dengan menampilkan dalil al-Qur’an. Terhadap
pemikiran tasawwuf falsafi, seperti pemikiran al-Hallaj, Abu Yazid al-Busthami,
dan Ibn Arabi, semua itu berfikir subjektif dan khayalis, bahkan semua itu
dinilai ‘kafir’. Dengan kata lain positifistik lebih berusaha ke arah mencari
fakta atau sebab-sebab terjadinya fenomena secara objektif, terlepas dari
pandangan pribadi yang bersifat subjektif.
Dalam pandangan Durkheim, dasar
pendekatan positivistic adalah logika mate-matis yang penuh teori logika
deduktif. Kevalidan karya positivisme dengan cara mengandalkan fakta empiri.
Generalisasi diperoleh dari rerata di lapangan. Kalau konsep semacam ini
diterapkan pada pemikiran Ibn Taymia, maka ada dua dasar, yaitu (a) teks
al-Qur’an dan teks al-Hadits dinilai sebagai pusat, dan pemahaman yang diluar
teks adalah sebagai dunia yang gelap.
Maka untuk mengetahui yang gelap itu, ilmuan harus masuk pada tingkat hakikat,
yaitu makna empirik (tektualis), bukan ta’-wil atau kinayah dan sebagianya. (b) teks tidak dipandang sebagai pusat,
tetapi sebagi satu titik dari deretan titik yang disebut kenyataan. Karena
kedudukan seperti ini, maka teks tidak harus mengetahui hukum (yang gelap) yang
berlaku pada dunia sekitar, tetapi yang gelap-gelap itulah yang lebih
menserasikan diri dengan teks.
Biasanya, positivistic lebih
menekankan pembahasan singkat dan menolak pem-bahasan yang penuh deskripsi
cerita, atau ta’wil, dalam istilah
Ibn Taymia. Karena itu, jika ushuliyun
akan menggunakan positivistic, otomatis harus membangun teori-teori atau konsep
dasar, kemudian disesuaikan dengan kondisi mazhab yang meng-amalkan ushul-fiqh
itu. Ushuliyun lebih banyak berfikir
induktif agar menghasilkan sebuah verifikatif sebuah bentuk ushul-fiqh yang
ingin dibangun.
Ciri-ciri positivistic dapat
dilihat dari tiga pilar keilmuan, yaitu (a) aspek ontolo-gis, positivistic
menghendaki bahwa perilaku manusia (af’al
al-mukallafin) dapat di-pelajari secara independen, dapat dieliminasikan
dari subjek lain, dan dapat dikontrol. (b) secara epistemologis, yaitu upaya
untuk mencari generalisasi terhadap peng-amalan fiqh dalam masyarakat. (c)
secara aksiologis, menghendaki agar pengem-bangan ushul-fiqh bebas nilai.
Artinya, ushuliyun dalam menyusun
ushul-fiqhnya mengejar objektivitas agar dapat ditampilkan prediksi meyakinkan
yang berlaku bebas waktu dan tempat.
Positivistik berbeda dengan naturalistic yang cenderung
mengungkapkan peng-amalan fiqh di suatu tempat. Paham ini dipengaruhi oleh
teknik berfikir induktif un-tuk mermperoleh ushul-fiqh yang diambil dari
pengamalan fiqh di daerah itu. Demikian ini difahami melalui analisis yang
netral atau lingkungan alamiah dalam mazhabnya. Dengan kata lain, ushul-fiqh
yang dipelajari dengan pendekatan naturalistrik adalah ushul-fiqh yang
berangkat dari realita komunitas mazhab fiqh yang diamalkan oleh masyarakat
itu.
Posisi ushuliyun yang mempelajari fiqh dengan pendekatan ini seperti orang
asing yang belum tahu gambaran ushul-fiqh yang bisa dirumuskan dari daerah itu.
Oleh karena itu, di samping dia mempelajari dan mengamati masyarakat, dia juga
mengadakan pemetaan lokasi dan merekam apa yang terjadi pada mazhab itu. Ada
sebagian ilmuan yang mengatakan bahwa ushuliyun
yang mempelajari norma-norma ushul-fiqh di suatu daerah dengan pendekatan ini
sama seperti mengguanakan metoda fenomenologi.
Selain menggunakan instrumen
perilaku umat (af’al al-mukallafin),
pendekatan naturalistic juga memiliki cirri, antara lain (a) realitas umat
dapat dipisahkan dari konteksnya, dan tidak selamanya mereka berada dalam
konteks itu. (b) penggunaan pengetahuan yang tersembunyi seperti intuisi, itu
bisa dibenarkan, karena interaksi manusia pun sering demikian. (c) rancangan
ushul-fiqh yang dinegosiasikan adalah penting karena konstruksi mazhab itu akan
dikonstruksi oleh ushuliyun yang
sedang mencari ushul-fiqh itu. (d) rumusan ushul-fiqh bersifat ideografis atau
berlaku khusus bukan bersifat nomotetis atau mencari generalisasi. Karena
interpretasi yang berbeda akan lebih bermanfaat bagi realitas yang berbeda
pula, karena perbedaan konteksnya. (e) gambaran ushul-fiqh bersifat tentatis,
dan belum tentu bisa digeneralisasikan.
Dari cirri-ciri tersebut dapat
dinyatakan bahwa penulisan ushul-fiqh dengan pen-dekatan naturalistic adalah
lebih membumi. Ushul-fiqh model ini akan mampu memecahkan perilaku umat yang
dipelajari, dan bisa membantu keinginan tokoh-tokoh yang menyajikan Mazhab Jogja,
atau Fiqh Indonesia, dan sebagainya.
4. Pendekatan Fenomenologis
Sebagaimana telah disebutkan di
atas, bahwa positivisme memerlukan penyusu-nan teori. Sedangkan fenomenologi
justru tidak menunggu-nunggu teori bahkan alergi dengan teori. Pendekatan ini
lebih menekankan rasionalisme dan realitas peng-amalan fiqh di tengah
masyarakat. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografis yang menitik beratkan
pada pilihan dan pandangan pegangan mazhab setempat. Realitas adalah lebih
penting dan dominan dibanding teori dan rerata.
Fenomenologi berusaha memahami
pengamalan mazhab liwat pandangan dan perilaku pengamal mazhab itu. Menurut
faham fenomenologi, ilmu bukanlah bebas nilai dari apa pun, tetapi memiliki
hubungan dengan nilai. Aksioma fenomenologis adalah (a) kenyataan ada dalam
diri manusia, baik selaku individu atau kelompok, selalu bersifat majmuk atau
ganda yang tersusun secara kompleks. Oleh karena itu pengamalan mazhab Syafi’iy
atau mazhab Hanafi atau lainnya yang tersebar di bebe-rapa kawasan, hanya bisa
dipelajari secara holistic dan tidak terlepas-lepas. (b) hubungan antara ushuliyun dengan pengikut mazhab di
daerah itu saling mempenga-ruhi, mungkin karena diskusi atau saling memberikan
komentar.(c) lebih mengarah kepada kasuskasus fiqhiyah bukan untuk
menggeneralisasi karangan atau materi untuk ushul-fiqhnya. (d) ushuliyun akan kesulitan dalam
membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan, (e)
inkuiri terkait nilai, bukan bebas nilai, sebagaimana disebutkan di atas.
Fenomenologi merupakan istilah
generic yang merujuk kepada semua pandangan ilmu social yang menganggap bahwa
kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan
social. Dalam pandangan ushul-fiqh, pandangan subjektif dari pengikut mazhab
yang dikembangkan ushul-fiqhnya, sangat diperlukan. Subjektivitas akan menjadi
shahih apabila ada proses intersubjektivitas antara ushuliyun dengan pengikut mazhab yang dipelajari ushul-fiqhnya itu.
Dalam pengembangan ushul-fiqh,
pendekatan fenomenologi tidak dipengaruhi secara langsung oleh filsafat
fenomenologi, tetapi oleh perkembangan dalam pende-finisian konsep fiqh atau
ushul-fiqhnya, termasuk pendefinisian tafsir al-Qur’an atau ilmu budaya
lainnya. Dalam fenomenologi, objek ilmu tidak terbatas pada yang empirik
(sensual), melainkan mencakup juga fenomena berikutnya yang terdiri dari
persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan si subjek yang menuntut pendekatan
holistic, menundukkan objek pengembangan ushul-fiqh dalam suatu konstruksi
ganda melihat objeknya dalam satu konteks netral, dan bukan parsial. Karena itu
dalam fenomenologi lebih menggunakan tata pikir logic dari pada sekedar linier
kausal. Tujuan pengembangan ushul-fiqh dengan pendekatan fenomenologi adalah
untuk membangun ilmu-ilmu agama, termasuk ushul-fiqh itu sendiri.
Metoda kwalitatif fenomenologi,
berdasarkan pada empat kebenaran, yaitu kebe-naran empirik sensual, kebenaran
empirik logic, kebenaran empirik etik, dan kebenar-an empirik transenden. Atas
dasar cara pencapaian kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara ushuliyun dengan masyarakat pengamal
mazhab. Keterlibatan ushuliyun dengan
umat yang dikembangkan ushul-fiqhnya itu menjadi salah satu cirri utama.
Pendekatan fenomenologi berusaha
memahami arti pengamalan fiqh dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa
dalam situasi tertentu. Ilmuan fenomenologi tidak berasumsi bahwa mereka
mengetahui makna tindakan bagi orang-orang yang sedang dipejalari. Oleh karena
itu inkuiri dimulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap
pengertian sesuatu yang dipelajari. Yang ditekankan adalah aspek subjek
(pengamal fiqh) dari perilakunya. Mereka berusaha untuk masuk ke dunia
konseptual para subjek yang dipelajari sedemikian rupa, sehingga mereka
mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar
peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari.
Mulanya ilmuan tahu dari
pengakuan masyarakatnya, bahwa mereka pengamal fiqh Syafi’iy, dari segi ibadah,
mu’amalah, mawarits, munakahat, dan sebagainya. Tetapi ilmuan tahu juga bahwa
mazhab al-Syafi’iy didukung oleh banyak komentator (ash-hab) terhadap ushul-fiqhnya, sehingga terjadi antara satu
konsep dengan konsep lainnya berbeda. Maka ilmuan fenomenologi ingin mengetahui
praktek pengamalan fiqh, dikaitkan dengan pola kehidupan bermazhabnya.
Penekanan ilmuan fenomenologi
adalah pada aspek subjektif dari pengamal fiqh. Ushuliyun berusaha masuk ke dalam dunia subjek yang dipelajarinya,
sehingga ushuliyun mengerti apa dan
bagaimana satu konsep yang dikembangkan. Pengamal fiqh dipercayai memiliki
kemampuan untuk menfsirkan pengamalannya melalui interaksi. Ushuliyun fenomenologis tidak menggarap
data secara mentah. Dia cukup pandai dengan cara memberikan “tekanan” pada
pengamal fiqh untuk memberikan makna pada tindakan fiqihnya, tanpa mengabaikan
realitas.
Demikian dapat difahami, karena
istilah fenomenologi itu berkaitan dengan suatu persepsi, yaitu kesadaran.
Fenomenologi akan berupaya menggambarkan fenomena kesadaran dan bagaimana
fenomena itu tersusun. Dengan adanya kesadaran ini, tidak mengherankan jika ushuliyun dan pengamal fiqh memiliki
kesadaran tertentu terhdap pengamalannya masingmasing. Pengamalan yang
dipengaruhi oleh kesadaran itu, pada saatnya akan memunculkan permasalahan baru
dan di antaranya akan terkait dengan polapola pengamalan fiqh itu tadi.
Perkembangan kesadaran yang
diketahui oleh ushuliyun yang
menggunakan fenomenologi akan dihadapkan pada sejumlah permasalahan fiqh dan
ushul-fiqhnya. Paling tidak ada tiga permasalahan pokok, yaitu (a) Ketidak
samaan data yang dihimpun oleh ushuliyun,
karena perbedaan minat di kalangan mereka terhadap perilaku suatu mazhab di
daerah yang sama (b) Masalah sifat data itu sendiri. Artinya seberapa jauh data
tersebut dapat diperbandingkan, atau seberapa jauh data tersebut benar-benar
dapat melukiskan gejala yang sama dari pengamal mazhab yang berbeda (c)
Menyangkut masalah klasifikasi data yang di antara ushuliyun masih berbeda kriterianya.
Melihat tiga hal tadi, studi
fenomenologi bisa dibantu dengan pendekatan etno-sains sebagai salah satu alternatif.
Pendekatan ini dipandang lebih fenomenologis karena dengan menerapkan model
linguistik yang dikenal dengan pelukisan secara etik dan emik, pemaknaan ushul
fiqh menjadi lebih lengkap. Dengan cara ini pende-finisian ushul-fiqh merupakan
akumulasi dari system ide, dalam istilah “makna” yang diberikan oleh pendukung
mazhab pun turut diperhitungkan.
Pendekatan fenomenologi, ada yang
mengkritik lagi dan diarahkan pada penglo-laan secara etnografis. Pendekatan
ini mengkritik pandangan empirisisme radikal, naturalisme, dan fenomenologi
murni. Kalau pendekatan ini diterapkan pada ushul-fiqh, maka (a) Persyaratan ‘illat (alasan hokum) menurut Hanafiyah
harus berjangka luas, hingga memungkinkan untuk dijadikan dasar qiyas. Menurut
Syafi’iyah ‘illat jangkauannya
terbatas, karena hukum itu mengikuti ‘illat. Sedangkan menurut teori
etnografis, bahwa ‘illat yang
dirasakan oleh pengikut Mazhab Syafi’iy misalnya, belum tentu sejalan dengan
konsep ‘illat yang dirumuskan oleh
Ushulyun Syafi’iy yang menyusun ushul-fiqhnya. (b) Mengembangkan ushul-fiqh
fenomenologis yang memperhatikan ‘dunia moral lokal’ terhadap masalah ekologi
yang mengkaji situasi dan lingkungan. Situasi dan lingkungan adalah bagian dari
hidup manusia (af’al al-mukallafin)
yang akan membentuk dan dibentuk oleh lingkungan setempat dan atau oleh budaya
keagamaan setempat. (c) Arahan baru ushul-fiqh diarahkan pada fisik, karena
subjektivitas adalah kehidupan fisik di dunia, bahkan sikap simpati dan empati
merupakan sifat dasar kehidupan fisik pula. Karena itu, pemahaman fenomenologi
perlu mendasarkan fisik ini. Karena fisik merupakan aspek primordial dari
sebjek-tivitas manusia sebagai makhluk social. (d) Ushul-fiqh yang diarahkan
pada histeo-grafi, yaitu memandang fenomena dalam kaitannya pada kehidupan dan
sejarah.
Demikian pengembangan ushul-fiqh,
sebenarnya masih bisa dicapai lagi dengan pendekatan yang lain, seperti
pendekatan praktek, dan pendekatan emansipatoris. Meskipun begitu, pendekatan-pendekatan
yang sudah disajikan di atas, sudah mencukupi untuk mengembangkan ushul-fiqh
kita. Wallahu a’lam.
Rujukan
:
Asymawi, Muhammad
Sa’id al., Al-Islam al-Siyasiy, Kairo,
1992, Sina Li alNasyr.
Aziziy, A. Qadri,
Pengembanagn Ilmu-ilmu Keislaman, Jakarta,
2003, Dipertais, Ditjen, Bagais, Depag RI.
Bisri, Cik Hasan,
Model Penelitian Fiqh, Jilid I, Jakarta,
Edisi Pertama,2003, Prenada
Media.
Buwaithiy,
Muhammad Said Ramadlan, Dlawabith
al-Mashlahah Fi al-Syafiat al-
Islamiyah, Beirut, Cet. Ke 5, 1990 M., 1410 H., Muassasah
al-Risalah.
Dikki al-Bab,
Ja’far, Metoda Linguistik Buku al-Kitab wa al-Qur’an, dalam Al-Kitab
Wa al-Qur’an,karya Muhammad Syahrur, Terjemah Sahiron, Yogyakarta,
2004
ELSAQ Press.
Endraswara,
Suwardi, Metodologi Penelitian
Kebudayaan, Yogyakarta, 2003 Gajah
Mada Press.
Hasan Hanafi, Dirasah Islamiyah (Islamologi I) Diterjemahkan
oleh Miftah Faqih, Yogyakarta,
2003, LKiS,
Ibn Taymia, Al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin, Beirut tt.
Dar al-Fikr.
Ibrahim Abu
Sulaiman, Abdulwahhab, Al-Fikr
al-Ushuliy, Cet. Ke I, Jeddah, 1993,
1403 H., Dar al-Syuruq.
Mahfuzh, Anas Saidi, Metodologi
Penelitian, Hanya Untuk Kalangan Sendiri, tt. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kwalitatif, Bandung,
Cet. Ke 20, 2006, Remaja
Rosdakarya.
Musa, Muhammad
Yusuf, Nizham al-Hukm fi al-Islam, Kairo,
1963, Dar al-Kitab al-
Arabiyah.
Raziy, Abu
Abdillah Muhammad ibn Umar ibn Husain al., Al-Mahshul
fi Ilm al-
Usul
Beirut tt. Dar al-Kutub
al-Arabiyah.
Sa’di, al-Iraqi,
Abdulhakim abdurrahman, al., Mabahits
al-Illat fi al-Qiyas ‘ind al-
U-
Shuliyyin, Beirut, Pect. Ke I,
1982 M-1406 H., Dar al-Basyair al-Islaiyah. Sarkhasi, Muhammad ibn Ahmad ibn
Abi Sahal, al., Al-Muharrar fi Ushul
al-Fiqh, Beirut, tt. Dar
al-Kutub al-Arabiyah.
Syalabi, Muhammad
Musthafa, Ta’lil al-Ahkam, Beirut,
1981 M-1401 H., Dar al- Nahdlah
al-Arabiyah.
Suryasumantri,
Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Jakarta, 1984,
Penerbit Sinar Harapan.