- Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Imam ar-Rabi’, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i رحمه الله berkata: “Iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan keyakinan (i’tiqad) di dalam hati. Tahukah kamu firman Allah عزّوجلّ:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ
إِيمَانَكُمْ
“Allah tidak menyia-nyiakan iman
kamu.” (Al-Baqarah: 143)
Maksud kata “Imanakum” (iman kamu) adalah
shalatmu ketika menghadap ke Baitul Maqdis. Allah عزّوجلّ menamakan shalat itu iman, dan
shalat adalah ucapan, perbuatan dan i’tiqad.”
- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang bertanya kepada Imam Syafi’i رحمه الله, “Apakah amal yang paling utama?” Imam Syafi’i رحمه الله menjawab: “Yaitu sesuatu yang apabila hal itu tiak ada, maka semua amal tidak akan diterima.” “Apakah itu?”, tanya orang itu lagi. Dijawab oleh Imam Syafi’i رحمه الله, “Yaitu iman kepada Allah عزّوجلّ di mana tidak ada Tuhan (yang hak disembah) selain Dia. Iman adalah amal yang paling tinggi derajatnya; paling mulia kedudukannya, dan paling bagus buah yang dipetik darinya.”
Orang tadi bertanya lagi: “Bukankah iman itu
ucapan dan perbuatan, atau ucapan tanpa perbuatan?” Imam Syafi’i رحمه
الله menjawab: “Iman itu adalah perbuatan untuk Allah
عزّوجلّ, dan ucapan itu
merupakan sebagian dari amal tersebut.” Ia bertanya lagi, “Saya belum paham
bagaimana itu, coba jelaskan lagi.”
Imam Syafi’i رحمه
الله menjelaskan, “Iman itu memiliki
tingkatan-tingkatan, ada iman yang sangat sempurna, ada iman yang berkurang yang
jelas kekurangannya dan ada pula iman yang bertambah.” “Apakah iman itu ada yang
tidak sempurna, berkurang dan bertambah?”, tanya orang itu. “Ya”, jawab Imam
Syafi’i رحمه الله. “Apakah buktinya?”, tanyanya
lagi. Imam Syafi’i
رحمه الله menjawab, “Allah
عزّوجلّ telah mewajibkan
iman atas anggota-anggota badan manusia. Allah عزّوجلّ membagi iman itu untuk semua
anggota badan. Tidak ada satupun anggota badan manusia kecuali telah diserahi
iman secara berbeda-beda. Semua itu berdasarkan kewajiban yang ditetapkan Allah
عزّوجلّ.
Hati misalnya, di mana manusia dapat berfikir
dan memahami sesuatu, merupakan “pemimpin” badan manusia. Tidak ada gerak
anggota badan kecuali berdasarkan pendapat dan perintah hati. Begitu pula dua
biji mata, di mana manusia melihat, dua daun telinga di mana manusia mendengar,
kedua tangan yang dipakai untuk memukul, kedua kaki yang dipakai untuk memenuhi
keinginan hatinya, lisan yang dipakai untuk berbicara, dan kepala di mana
terdapat wajahnya.
Allah عزّوجلّ mewajibkan kepada hati akan
hal-hal yang tidak diwajibkan kepada lisan. Pendengaran (telinga) diwajibkan
untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan kepada mata. Kedua tangan juga
mendapat kewajiban yang tidak sama dengan kaki. Begitu pula farji mendapat kewajiban yang tidak sama
dengan wajah.
Adapun kewajiban yang dibebankan oleh Allah
عزّوجلّ kepada hati adalah
iman, maka berikrar (mengakui), mengetahui, meyakini, ridha, menyerahkan diri,
bahwa tidak ada Tuhan (Yang Hak) selain Allah عزّوجلّ, Maha Esa Allah عزّوجلّ tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak
memiliki isteri dan anak. Dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah
عزّوجلّ, serta mengaku semua
yang datang dari Allah عزّوجلّ, baik Nabi maupun Kitab. Semua itu merupakan hal-hal yang
diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada hati, dan hal itu adalah amal (pekerjaan) hati.
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ
إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ
بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ
عَظِيمٌ
“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya
adzab yang besar.” (An-Nahl: 106)
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ
الْقُلُوبُ
“Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d :28)
مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آَمَنَّا
بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ
“Di antara orang-orang yang mengatakan dengan
mulut mereka, “Kami telah beriman”, padahal hati mereka tidak beriman.”
(Al-Maidah: 41)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ
تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ
“Dan jika Allah menampakkan apa yang ada dalam
hati kamu, atau menyembunyikannya, niscaya Allah akan melakukan hisab
(perhitungan) dengan kamu tentang perbuatan itu.”
(Al-Baqarah: 284)
Maka keimanan seperti itulah yang diwajibkan
oleh Allah عزّوجلّ kepada
hati, dan itu adalah pekerjaan hati; dan juga merupakan pangkal iman.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kepada lisan,
yaitu mengucapkan dan menyebutkan apa yang telah diikrarkan dan diyakini di
dalam hati. Allah عزّوجلّ
berfirman:
قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ
“Ucapkanlah, “Kami beriman kepada Allah,”
(Al-Baqarah: 136)
Allah عزّوجلّ juga berfirman:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan katakanlah yang baik kepada manusia.”
(Al-Baqarah: 83)
Itulah ucapan-ucapan yang diwajibkan oleh
Allah عزّوجلّ kepada lisan,
yaitu mengatakan yang ada dalam hati. Dan hal itu merupakan pekerjaan lisan, dan
keimanan yang diwajibkan kepadanya.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kepada telinga
(pendengaran) untuk tidak mendengarkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah
عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ
إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا
تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا
مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada
kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari
dan diperolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta
mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya
(kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka” (An-Nisa’:
140)
Namun ada pengecualian, bila seseorang itu
lupa sehingga duduk bersama orang-orang kafir itu. Allah عزّوجلّ berfirman :
وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا
تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan
larangan itu), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu
sesudah ingat (akan larangan itu). (Al-An’am: 68)
Dan Allah عزّوجلّ juga berfiman :
فَبَشِّرْ عِبَادِ . الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ
فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ
أُولُو الْأَلْبَابِ
“Maka sampaikanlah kabar gembira itu kepada
hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk, dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
(Az-Zumar :17-18)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ
فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ . وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ .
وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ di dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang selalu
membersihkan dirinya.” (Al-Mu’minun: 1-4)
Allah عزّوجلّ berfirman pula :
وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ
“Apabila mereka mendengar (perkataan) yang
tidak berguna, mereka berpaling meninggalkannya.” (Al-Qashash: 55)
Begitu pula firman Allah عزّوجلّ:
وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan apabila mereka bertemu dengan
(orang-orang) yang melakukan perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Al-Furqan: 72)
Ayat-ayat itu semua menunjukkan adanya
kewajiban yang ditetapkan Allah عزّوجلّ kepada telinga agar ia membersihkan diri dari hal-hal yang haram
didengar.
Dan hal itu, merupakan telinga, dan itu
termasuk iman.
Allah عزّوجلّ juga meriwayatkan dua mata
manusia untuk tidak melihat hal-hal yang diharamkan. Dalam hal ini Allah
عزّوجلّ berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ
أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin, agar
mereka menahan pandangan matanya dan menjaga kemaluannya.” (An-Nur: 30)
Dalam ayat ini Allah عزّوجلّ melarang orang mukmin untuk
melihat kemaluan orang lain, dan menyuruh agar menjaga kemaluannya agar tidak
dilihat orang lain. Setiap ungkapan “menjaga kemaluan” di dalam
al-Qur’an, maksudnya adalah
berkaitan dengan zina, kecuali dalam ayat-ayat an-Nur ini, maksudnya adalah
melihat.
Dan itulah kewajiban yang ditetapkan oleh
Allah عزّوجلّ kepada kedua
mata manusia, dan itu merupkan pekerjaan mata termasuk dalam iman.
Allah عزّوجلّ kemudian memberitahukan apa yang
wajib dikerjakan oleh hati, telinga dan mata, dalam sebuah ayat berikut
ini:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ
مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti hal-hal yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu,
semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’ : 36)
Maksud ayat ini adalah bahwa Allah
عزّوجلّ mewajibkan kepada
farj (kemaluan) agar tidak
digunakan untuk hal-hal yang haram. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ
عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ
“Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari
kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu.” (Fushshilat: 22)
Yang dimaksud dengan “kulitmu” dalam ayat ini
adalah “kemaluan dan paha”. Dan itulah yang diwajibkan oleh Allah عزّوجلّ kepada kemaluan agar menjaga
dirinya dari hal-hal yang tidak halal. Dan itu merupakan pekerjaan kemaluan.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kedua tangan agar
tidak digunakan untuk hal-hal yang diharamkan, tetapi justeru digunakan dalam
hal-hal yang diperintahkan Allah عزّوجلّ, seperti sadaqah, silaturahmi, jihad fi sabilillah, bersuci untuk
shalat dan lain-lain. Allah عزّوجلّ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ
إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
...
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu, tanganmu sampai siku-siku
…dst.” (Al-Maidah : 6)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ
الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا
بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir
(di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga jika kamu telah
mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka, dan sesudah itu kamu boleh membebaskan
mereka atau menerima tebusan.” (Muhammad : 4)
Memerangi orang-orang kafir, silaturrahmi,
sadaqah, dan lain-lain adalah perbuatan tangan.
Allah عزّوجلّ juga mewajibkan kedua kaki
manusia untuk tidak berjalan kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah
عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ
لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini
dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi
dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Al-Isra’: 37)
Allah عزّوجلّ mewajibkan wajah untuk sujud
kepada Allah عزّوجلّ siang
dan malam, dan pada waktu-waktu shalat. Allah عزّوجلّ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ارْكَعُوا
وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
ruku’lah kamu, sujudlah
kamu, sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapatkan
kemenangan.” (Al-Hajj: 77)
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا
مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah
kepunyaan Allah, maka janganlah kamu menyembah seseorang di samping Allah.”
(Al-Jin: 18)
Maksudnya menyembah di masjid, di mana manusia
melakukan shalat dengan sujud. Dan itulah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan
Allah عزّوجلّ kepada anggota
badan.
Allah عزّوجلّ juga menyebutkan bersuci dan
shalat (sembahyang) sebagai iman, yaitu ketika Allah عزّوجلّ memerintahkan kepada Nabi
صلي الله عليه وسلم untuk
memalingkan wajahnya dari menghadap ke Baitul Maqdis dalam shalat beralih
menghadap ke Ka’bah di
Makkah. Sementara kaum muslimin telah melakukan shalat dengan menghadap ke
Baitul Maqdis selama enam belas bulan. Mereka kemudian mengadu kepada Nabi
صلي الله عليه وسلم, “Ya
Rasulullah, bagaimana dengan shalat kami yang menghadap ke Baitul Maqdis, apakah
diterima oleh Allah عزّوجلّ?”. Allah عزّوجلّ kemudian menurunkan ayat:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan
menyia-nyiakan iman kamu. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.” (Al-Baqarah: 143)
Dalam ayat ini Allah عزّوجلّ telah menamakan shalat dengan
iman. Maka siapa kelak bertemu dengan Allah عزّوجلّ dengan menjaga shalat-shalatnya,
menjaga anggota badannya, mengerjakan dengan seluruh anggota badannya apa yang
diperintahkan dan diwajibkan Allah عزّوجلّ, maka ia bertemu dengan Allah عزّوجلّ dengan iman yang sempurna dan ia
termasuk penghuni surga. Sebaliknya, siapa yang anggota badannya dengan sengaja
meninggalkan perintah-perintah Allah عزّوجلّ, maka ia akan bertemu dengan
Allah عزّوجلّ dalam keadaan
imannya berkurang.”
Begitulah penjelasan Imam Syafi’i رحمه
الله tentang iman. Kemudian orang yang bertanya kepada
Imam Syafi’i رحمه الله tadi bertanya lagi, “Saya sudah
paham tentang berkurang dan sempurnanya iman. Dari mana datang tambahnya iman
itu?” Imam Syafi’i
رحمه الله menjawab dengan
menyebutkan firman Allah عزّوجلّ:
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ
يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا
فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ . وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ
مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ
كَافِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di
antara mereka (orang-orang munafiq) ada yang berkata, “Siapa di antara kamu yang
bertambah imannya dengan turunnya (surat) ini? Adapun orang yang beriman, maka
surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Adapun orang-orang yang
hatinya ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka di
samping kekafirannya (yang telah ada), dan mereka mati dalam
kekafiran.” (At-Taubah : 124-125)
Allah عزّوجلّ juga berfirman :
إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ
وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman
kepada Tuhan mereka, dan kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Al-Kahfi : 13)
Imam Syafi’i رحمه
الله kemudian mengatakan, “Sekiranya iman itu satu,
tidak ada yang tambah dan kurang, maka tidak ada kelebihan apa-apa bagi
seseorang, dan semua manusia sama. Tetapi, dengan sempurnanya iman, orang mukmin
akan masuk ke surga, dan dengan tambahnya iman pula orang mukmin akan memperoleh
keunggulan tingkatan di dalam surga. Sebaliknya bagi orang-orang yang imannya
kurang, mereka akan masuk ke neraka.
Kemudian Allah عزّوجلّ akan mendahulukan orang beriman
lebih dahulu. Manusia akan memperoleh haknya berdasarkan kedahuluannya dalam
beriman. Setiap orang akan memperoleh haknya, tidak dikurangi sedikitpun. Yang
datang belakang tidak akan didahulukan; yang tidak mulia (karena rendahnya iman)
tidak akan didahulukan daripada yang mulia (karena ketinggian iman). Itulah
kelebihan orang-orang terdahulu dari ummat ini. Seandainya orang-orang yang
beriman lebih dahulu itu tidak mempunyai kelebihan, niscaya akan sama nilainya
orang yang beriman belakangan dengan orang-orang yang beriman lebih
dulu.”