- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i رحمه الله mengatakan: “Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut salah satu asma’ Allah عزّوجلّ, kemudian melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat. Dan barangsiapa yang bersumpah dengan menyebutkan selain Allah عزّوجلّ, misalnya, “Demi Ka’bah”, “Demi ayahku” dan sebagainya, kemudian melanggar sumpah itu, maka ia tidak wajib membayar kaffarat.”
Begitu pula apabila ia bersumpah dengan
mengatakan “Demi umurku”, ia tidak wajib membayar kaffarat. Namun, bersumpah dengan
menyebut selain Allah عزّوجلّ adalah haram, dan dilarang berdasarkan Hadits Nabi صلي الله عليه وسلم, “Sesungguhnya Allah
عزّوجلّ melarang kami untuk
bersumpah dengan menyebut nenek moyang kamu. Siapa yang hendak bersumpah, maka
bersumpahlah dengan menyebut asma Allah عزّوجلّ, atau lebih baik diam saja.”
Imam Syafi’i رحمه
الله beralasan bahwa asma’-asma’ Allah عزّوجلّ itu bukan makhluk, karenanya
siapa yang bersumpah dengan menyebut asma’ Allah عزّوجلّ,
kemudian ia melanggar sumpahnya, maka ia wajib membayar kaffarat.
- Imam Ibn al-Qayyim رحمه الله menuturkan dalam kitabnya Ijtima’ al-Juyusy, sebuah riwayat dari Imam Syafi’i رحمه الله, bahwa beliau berkata: “Berbicara tentang Sunnah yang menjadi pegangan saya, shahib-shahib (murid-murid) saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat dan saya ambil ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik, dan lain-lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah عزّوجلّ, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah عزّوجلّ, serta bersaksi bahwa Allah عزّوجلّ di atas 'Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah عزّوجلّ, dan Allah عزّوجلّ itu turun ke langit terdekat kapan saja Allah عزّوجلّ berkehendak.”
- Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dari al-Muzani رحمه الله, katanya: “Apabila ada orang yang mengeluarkan unek-unek yang berkaitan dengan masalah tauhid yang ada dalam hati saya, maka itu adalah Imam Syafi’i رحمه الله.”
Saya pernah dengar di Masjid Cairo dengan
beliau, ketika saya mendebat di depan beliau, dalam hati saya terdapat unek-unek
yang berkaitan dengan masalah tauhid. Kata hatiku, saya tahu bahwa seseorang
tidak akan mengetahui ilmu yang ada pada diri Anda, maka apa yang sebenarnya
yang ada pada diri Anda?
Tiba-tiba beliau marah, lalu bertanya:
“Tahukah kamu, di mana kamu sekarang?” Saya menjawab, “Ya”. Beliau berkata, “Ini
adalah tempat di mana Allah عزّوجلّ menenggelamkan Fir’aun. Apakah kamu tahu bahwa Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم pernah menyuruh
bertanya masalah yang ada dalam hatimu itu?”. “Tidak”, jawab saya. “Apakah para
sahabat pernah membicarakan masalah itu?”, tanya beliau lagi. “Tidak pernah”,
jawab saya. “Berapakah jumlah bintang di langit?”, tanya beliau lagi. “Tidak
tahu”, jawab saya. “Apakah kamu tahu jenis bintang-bintang itu, kapan terbitnya,
kapan terbenamnya, dari bahan apa bintang itu diciptakan?”, tanya beliau. “Tidak
tahu” jawab saya. “Itu masalah makhluk yang kamu lihat dengan mata kepalamu,
ternyata kamu tidak tahu. Mana mungkin kamu mau membicarakan tentang ilmu
Pencipta makhluk itu”, kata beliau mengakhiri.
Kemudian beliau menanyakan kepada saya tentang
masalah wudhu’, ternyata
jawaban saya salah. Beliau lalu mengembangkan masalah itu menjadi empat masalah,
ternyata jawaban saya juga tidak ada yang benar. Akhirnya beliau berkata:
“Masalah yang kamu perlukan tiap hari lima kali saja tidak kamu pelajari. Tetapi
kamu justru berupaya untuk mengetahui ilmu Allah عزّوجلّ ketika hal itu berbisik dalam
hatimu. Kembali saja kepada firman Allah عزّوجلّ :
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا
هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ . إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ
بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ
فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ
وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Satu.
Tidak ada Tuhan (yang Haq) selain Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan
siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan
bumi sesudah mati (gersang) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
berakal.” (Al-Baqarah : 163-164)
“Karenanya”, lanjut Imam Syafi’i رحمه
الله, “Jadikanlah makhluk itu sebagai bukti atas
kekuasaan Allah عزّوجلّ, dan
janganlah kamu memaksa-maksa diri untuk mengetahui hal-hal yang tidak dapat
dicapai oleh akalmu.”
- Imam Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Yunus bin Abdul A’la, katanya: “Apabila kamu mendengar ada orang berkata bahwa nama itu berlainan dengan apa yang diberi nama, atau sesuatu itu berbeda dengan sesuatu itu, maka saksikanlah bahwa orang itu adalah kafir zindiq”
- Dalam kitabnya ar-Risalah, Imam Syafi’i رحمه الله berkata: “Segala puji bagi Allah عزّوجلّ yang memiliki sifat-sifat sebagaimana Dia mensifati diri-Nya, dan di atas yang disifati oleh makhluk-Nya.”
- Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lam an Nubala’ menuturkan dari Imam Syafi’i رحمه الله, kata beliau: “Kita menerapkan sifat-sifat Allah عزّوجلّ ini sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم, dan kita meniadakan tasybih (menyamakan Allah عزّوجلّ dengan makhluk-Nya), sebagaimana Allah عزّوجلّ juga meniadakan tasybih itu dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia.”
(Asy-Syura : 11)
- Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya, saya mendengar Imam Syafi’i رحمه الله berkata tentang firman Allah عزّوجلّ :
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
لَمَحْجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada
hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan
mereka.” (al-Muthaffifin : 15)
“Ayat ini memberitahu kita bahwa pada Hari
Kiamat nanti ada orang-orang yang tidak terhalang, mereka dapat melihat Allah
عزّوجلّ dengan jelas.”
- Imam al-Lalaka’i menuturkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman, katanya: “Saya datang ke rumah Imam Syafi’i رحمه الله, ketika itu ada sebuah pertanyaan kepada beliau: “Apakah pendapat Anda tentang firman Allah عزّوجلّ dalam surat al-Muthaffifin ayat 15, yang artinya, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu (Hari Kiamat) benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya?.”
Imam Syafi’i رحمه
الله menjawab, “Apabila orang- orang itu tidak dapat
melihat Allah عزّوجلّ karena
dimurkai Allah عزّوجلّ, maka
ini merupakan dalil bahwa orang-orang yang diridhai Allah عزّوجلّ akan dapat melihat-Nya.”
Ar-Rabi’ lalu bertanya: “Wahai Abu Abdillah, apakah Anda berpendapat
seperti itu?. “Ya, saya berpendapat seperti itu, dan itu saya yakini kepada
Allah عزّوجلّ”, begitu jawab
Imam Syafi’i .
- Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan, katanya, di hadapan Imam Syafi’i رحمه الله ada orang yang menyebut-nyebut nama Ibrahim bin Isma’il bin Ulayah. Kemudian Imam Syafi’i رحمه الله berkata: “Saya berbeda pendapat dengan dia dalam segala hal. Begitu pula dalam kalimat “La ilaha illAllah عزّوجلّ”. Saya tidak berpendapat seperti pendapatnya. Saya mengatakan, bahwa Allah عزّوجلّ berfirman kepada Nabi Musa secara langsung tanpa penghalang. Sedangkan dia mengatakan, ketika Allah عزّوجلّ berfirman kepada Nabi Musa, Allah عزّوجلّ menciptakan ucapan-ucapan yang kemudian dapat didengar oleh Nabi Musa secara tidak langsung (ada penghalang).”
- Imam al-Lalaka’i meriwayatkan dari ar Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Syafi’i رحمه الله mengatakan: “Barangsiapa mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk, maka dia telah menjadi kafir.”
- Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Muhammad az-Zubairi, katanya, ada seorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i رحمه الله, “Benarkah al-Qur’an itu itu Khaliq (pencipta)?”, Jawab beliau, “Tidak benar”. “Apakah al-Qur’an itu makhluk?”, tanyanya lagi. “Tidak”, jawab Imam Syafi’i رحمه الله. “Apakah al-Qur’an itu bukan makhluk?”, tanyanya lagi “Ya, begitu”, jawab Imam Syafi’i رحمه الله.Orang tadi bertanya lagi: “Mana buktinya bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk?”. Imam Syafi’i رحمه الله kemudian mengangkat kepala, dan ia berkata: “Maukah kamu mengakui bahwa al-Qur’an itu Kalam Allah عزّوجلّ?”. “Ya, mau”, kata orang tadi. Kemudian Imam Syafi’i رحمه الله berkata, “Kamu telah didahului oleh ayat:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ
فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
“Dan jika di antara orang-orang musyrik itu
meminta perlindungan kepada kamu, maka lindungilah ia, supaya ia sempat
mendengar Kalam Allah.” (At-Taubah : 6)
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah telah
berbicara dengan Musa secara langsung.” (An-Nisa’ :
164)
Imam Syafi’i رحمه
الله kemudian berkata lagi kepada orang tersebut:
“Maukah kamu mengakui bahwa Allah عزّوجلّ itu ada dan demikian pula Kalam-Nya? Atau Allah عزّوجلّ itu ada, sedangkan Kalam-Nya
belum ada ?”. Orang tadi menjawab, ”Allah عزّوجلّ ada, begitu pula Kalam-Nya.”
Mendengar jawaban itu Imam Syafi’i رحمه
الله tersenyum, lalu berkata: “Wahai orang-orang
Kufah, kamu akan membawakan sesuatu yang agung kepadaku, apabila kamu mengakui
bahwa Allah عزّوجلّ itu ada
sejak masa azali, begitu pula Kalam-Nya. Lalu dari mana kamu pernah punya
pendapat bahwa Kalam itu Allah عزّوجلّ atau bukan Allah عزّوجلّ?”. Mendengar penegasan Imam Syafi’i رحمه
الله itu, orang tadi terdiam, kemudian
keluar.
- Dalam kitab Juz al-I’tiqad yang disebut-sebut sebagai karya Imam Syafi’i رحمه الله dari riwayat Abu Thalib al-‘Isyari, ada sebuah keterangan sebagai berikut:
“Imam Syafi’i رحمه
الله pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah
عزّوجلّ, dan hal-hal yang
perlu diimani, jawab beliau, “Allah عزّوجلّ Tabaraka wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat
yang disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad صلي الله عليه
وسلم, yang siapa pun dari umatnya tidak boleh
menyimpang dari ketentuan seperti itu setelah memperoleh keterangan (hujjah).
Apabila ia menyimpang dari ketentuan setelah ia memperoleh hujjah tersebut, maka
kafirlah dia. Namun apabila ia menyimpang dari ketentuan sebelum ia memperoleh
hujjah, maka hal itu tidak apa-apa baginya. Ia dimaafkan karena ketidaktahuannya
itu. Sebab untuk mengetahui sifat-sifat Allah عزّوجلّ itu tidak mungkin dilakukan oleh
akal dan fikiran, tetapi hanya berdasarkan keterangan-keterangan dari Allah
عزّوجلّ. Bahwa Allah
عزّوجلّ itu mendengar, Allah
عزّوجلّ mempunyai dua
tangan:
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ
“Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka.” (Al-Maidah : 64)
Dan Allah عزّوجلّ itu mempunyai tangan kanan:
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ
بِيَمِينِهِ
“Dan langit itu dilipat tangan kanan
Allah”. (az-Zumar: 67)
Dan Allah عزّوجلّ juga punya wajah:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا
وَجْهَهُ
“Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah
Allah.” (al-Qashash :
88)
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ
وَالْإِكْرَامِ
“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman : 27)
Allah عزّوجلّ juga mempunyai telapak kaki, ini
berdasarkan sabda Nabi صلي الله عليه وسلم :
حَتَّى يَضَعَ الرَّبُّ عَزَّوَجَلَّ فِيْهَا
قَدْمَهُ
“Sehingga Allah meletakkan telapak kaki-Nya di Jahanam.”
Allah عزّوجلّ tertawa terhadap hamba-hamba-Nya
yang mukmin, sesuai dengan sabda Rasulullah صلي الله
عليه وسلم kepada orang yang terbunuh dalam Jihad fi
sabilillah, bahwa “kelak akan bertemu dengan Allah
عزّوجلّ, dan Allah
عزّوجلّ tertawa kepadanya.”
Allah عزّوجلّ turun setiap malam ke langit yang
terdekat dengan bumi, berdasarkan hadits Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم tentang hal itu. Mata
Allah عزّوجلّ tidak pecak
sebelah, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad صلي الله
عليه وسلم yang menyebutkan, bahwa “Dajjal itu pecak sebelah matanya, sedangkan Allah tidak pecak
mata-Nya.”
Orang-orang mukmin kelak akan melihat Allah
عزّوجلّ pada hari kiamat
dengan mata kepala mereka, seperti halnya mereka melihat bulan purnama. Allah
عزّوجلّ juga punya
jari-jemari, berdasarkan hadits Nabi صلي الله عليه
وسلم :
مَا مِنْ قَلْبٍ إِلاَّ هُوَ بَيْنَ أَصَابِعِ
الرَّحْمَنِ
“Tidak ada satu buah hati kecuali ia berada di
antara jari-jari Allah ar-Rahman.”
Pengertian sifat seperti ini, di mana Allah
عزّوجلّ telah mensifati
diri-Nya sendiri dan Nabi Muhammad صلي الله عليه
وسلم juga mensifati-Nya, tidak dapat diketahui
hakikatnya oleh akal dan fikiran.
Orang yang tidak mendengar keterangan tentang
hal itu tidak dapat disebut kafir. Apabila ia telah mendengar sendiri secara
langsung, maka ia wajib meyakininya seperti halnya kita harus menetapkan
sifat-sifat itu tanpa mentasybihkan (menyerupakan) Allah عزّوجلّ dengan makhluk-Nya, sebagaimana
juga Allah عزّوجلّ tidak
menyerupakan makhluk apa pun dengan diri-Nya. Allah سبحانه و تعالي berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)