Hadits ini merupakan salah satu pokok syari’at Islam. Abu Dawud
As Sijistani berkata, “Islam bersumber pada empat (4) hadits.” Dia sebutkan
diantaranya adalah hadits ini. Para ulama telah sepakat atas keagungan dan
banyaknya manfaat hadits ini.
Kalimat, “Sesungguhnya yang Halal itu jelas
dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar”
maksudnya segala sesuatu terbagi kepada tiga macam hokum. Sesuatu yang
ditegaskan halalnya oleh Allah, maka dia adalah halal, seperti firman Allah (QS.
Al-Maa’idah 5 : 5),”Aku Halalkan bagi kamu hal-hal yang baik dan makanan
(sembelihan) ahli kitab halal bagi kamu” dan firman-Nya dalam (QS. An-Nisaa
4:24), “Dan dihalalkan bagi kamu selain dari yang tersebut itu” dan
lain-lainnya. Adapun yang Allah nyatakan dengan tegas haramnya, maka dia menjadi
haram, seperti firman Allah dalam (QS. An-Nisaa’ 4:23), “Diharamkan bagi kamu
(menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan kamu …..” dan firman Allah (QS.
Al-Maa’idah 5:96), “Diharamkan bagi kamu memburu hewan didarat selama kamu
ihram”. Juga diharamkan perbuatan keji yang terang-terangan maupun yang
tersembunyi. Setiap perbuatan yang Allah mengancamnya dengan hukuman
tertentuatau siksaan atau ancaman keras, maka perbuatan itu haram.
Adapun
yang syubhat (samar) yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau
pertentangan, maka menjauhi perbuatan semacam itu termasuk wara’. Para Ulama
berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan oleh Rasulullah .
Pada hadits tersebut, sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram
hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “barangsiapa menjaga dirinya dari yang
samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”.
Barangsiapa tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah
terjerumus kedalam perbuatan haram. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hal
yang syubhat itu hukumnya halal dengan alas an sabda Rasulullah, “seperti
penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang” kalimat ini
menunjukkan bahwa syubhat itu halal, tetapi meninggalkan yang syubhat adalah
sifat yang wara’. Sebagian lain lagi berkata bahwa syubhat yang tersebut pada
hadits ini tidak dapat dikatakan halal atau haram, karena Rasulullah
menempatkannya diantara halal dan haram, oleh karena itu kita memilih diam saja,
dan hal itu termasuk sifat wara’ juga.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim
disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata : “Sa’ad bin Abu Waqash dan
‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah tentang seorang anak laki-laki. Sa’ad
berkata : Wahai Rasulullah anak laki-laki ini adalah anak saudara
laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak laki-laki itu
adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata; “
Wahai Rasulullah, Ia adalah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur
ayahku oleh budak perempuan milik ayahku”, lalu Rasulullah memperhatikan wajah
anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka beliau Rasulullah
bersabda : “Anak laki-laki ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik
laki-laki yang menjadi suami perempuan yang melahirkannya dan bagi orang yang
berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kamu dari anak laki-laki
ini” sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak laki-laki itu untuk
seterusnya.
Rasulullah telah menetapkan bahwa anak itu menjadi hak suami
dari perempuan yang melahirkannya, secara formal anak laki-laki itu menjadi anak
Zam’ah. ‘Abd bin Zam’ah adalah saudara laki-laki Saudah, istri Rasulullah ,
karena Saudah putrid Zam’ah. Ketetapan semacam ini berdasarkan suatu dugaan yang
kuat bukan suatu kepastian. Kemudian Rasulullah menyuruh Saudah untuk berhijab
dari anak laki-laki itu karena adanya syubhat dalam masalah itu. Jadi tindakan
ini bersifat kehati-hatian. Hal itu termasuk perbuatan takut kepada Allah SWT,
sebab jika memang pasti dalam pandangan Rasulullah anak laki-laki itu adalah
anak Zam’ah, tentulah Rasulullah tidak menyuruh Saudah berhijab dari saudara
laki-lakinya yang lain, yaitu ‘Abd bin Zam’ah dan saudaranya yang
lain.
Pada Hadits ‘Adi bin Hatim, ia berkata : “Wahai Rasulullah, saya
melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati
ada anjing lain yang melakukan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu
makan (hewan buruan yang kamu dapat) karena yang kamu sebutkan Bismillah
hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi fatwa
semacam ini dalam masalah syubhat karena beliau khawatir bila anjing yang
menerkam hewan buruan tersebut adalah anjing yang dilepas tanpa menyebut
Bismillah. Jadi seolah-olah hewan itu disembelih dengan cara diluar aturan
Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya hal itu adalah perbuatan fasiq” (QS.
Al-An’am 6:121) Dalam fatwa ini Rasulullah menunjukkan sifat kehati-hatian
terhadap hal-hal yang masih samar tentang halal atau haramnya, karena
sebab-sebab yang masih belum jelas. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah
, “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu untuk berpegang pada sesuatu yang
tidak meragukan kamu” Sebagian Ulama berpendapat, syubhat itu ada tiga macam
: 1. Sesuatu yang sudah diketahui haramnya oleh manusia tetapi orang itu ragu
apakah masih haram hukumnya atau tidak. à misalnya makan daging hewan yang tidak
pasti cara penyembelihannya, maka daging semacam ini haram hukumnya kecuali
terbukti dengan yakin telah disembelih (sesuai aturan Allah). Dasar dari sikap
ini adalah hadits ‘Adi bin Hatim seperti tersebut diatas. 2. Sesuatu yang
halal tetapi masih diragukan kehalalannya, à seperti seorang laki-laki yang
punya istri namun ia ragu-ragu, apakah dia telah menjatuhkan thalaq kepada
istrinya atau belum, ataukah istrinya seorang perempuan budak atau sudah
dimerdekakan. Hal seperti ini hukumnya mubah hingga diketahui kepastian
haramnya, dasarnya adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid yang ragu-ragu tentang
hadats, padahal sebelumnya ia yakin telah bersuci. 3. Seseorang ragu-ragu
tentang sesuatu dan tidak tahu apakah hal itu haram atau halal, dan kedua
kemungkinan ini bisa terjadi sedangkan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah
satunya. Hal semacam ini sebaiknya dihindari, sebagaimana Rasulullah pernah
melakukannya pada kasus sebuah kurma yang jatuh yang beliau temukan dirumahnya,
lalu Rasulullah bersabda : “Kalau saya tidak takut kurma ini dari barang zakat,
tentulah saya telah memakannya” Adapun orang yang mengambil sikap hati-hati
yang berlebihan, seperti tidak menggunakan air bekas yang masih suci karena
khawatir terkena najis, atau tidak mau sholat disuatu tempat yang bersih karena
khawatir ada bekas air kencing yang sudah kering, mencuci pakaian karena
khawatir pakaiannya terkena najis yang tidak diketahuinya dan sebagainya, sikap
semacam ini tidak perlu diikuti, sebab kehati-hatian yang berlebihan tanda
adanya halusinasi dan bisikan setan, karena dalam masalah tersebut tidak ada
masalah syubhat sedikitpun. Wallahu a’lam.
Kalimat, “kebanyakan manusia
tidak mengetahuinya” maksudnya tidak mengetahui tentang halal dan haramnya, atau
orang yang mengetahui hal syubhat tersebut didalam dirinya masih tetap
menghadapi keraguan antara dua hal tersebut, jika ia mengetahui sebenarnya atau
kepastiannya, maka keraguannya menjadi hilang sehingga hukumnya pasti halal atau
haram. Hal ini menunjukkan bahwa masalah syubhat mempunyai hokum tersendiri yang
diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian orang ada yang berhasil mengetahui
hukumnya dengan benar.
Kailmat, “maka barangsiapa menjaga dirinya dari
yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”
maksudnya menjaga dari perkara yang syubhat. Kalimat, “barangsiapa terjerumus
dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram”
hal ini dapat terjadi dalam dua hal : 1. Orang yang tidak bertaqwa kepada
Allah dan tidak memperdulikan perkara syubhat maka hal semacam itu akan
menjerumuskannya kedalam perkara haram, atau karena sikap sembrononya membuat
dia berani melakukan hal yang haram, seperti kata sebagian orang : “Dosa-dosa
kecil dapat mendorong perbuatan dosa besar dan dosa besar mendorong pada
kekafiran” 2. Orang yang sering melakukan perkara syubhat berarti telah
menzhalimi hatinya, karena hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam
hatinya, sehingga tanpa disadari dia telah terjerumus kedalam perkara haram.
Terkadang hal seperti itu menjadikan perbuatan dosa jika menyebabkan pelanggaran
syari’at.
Rasulullah bersabda : “seperti penggembala yang menggembala di
sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya” ini
adalah kalimat perumpamaan bagi orang-orang yang melanggar larangan-larangan
Allah. Dahulu orang arab biasa membuat pagar agar hewan peliharaannya tidak
masuk ke daerah terlarang dan membuat ancaman kepada siapapun yang mendekati
daerah terlarang tersebut. Orang yang takut mendapatkan hukuman dari penguasa
akan menjauhkan gembalaannya dari daerah tersebut, karena kalau mendekati
wilayah itu biasanya terjerumus. Dan terkadang penggembala hanya seorang diri
hingga tidak mampu mengawasi seluruh binatang gembalaannya. Untuk kehati-hatian
maka ia membuat pagar agar gembalaannya tidak mendekati wilayah terlarang
sehingga terhindar dari hukuman. Begitu juga dengan larangan Allah seperti
membunuh, mencuri, riba, minum khamr, qadzaf, menggunjing, mengadu domba dan
sebagainya adalah hal-hal yang tidak patut didekati karena khawatir terjerumus
dalam perbuatan itu.
Kalimat, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat
daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya” yang dimaksud adalah hati,
betapa pentingnya daging ini walaupun bentuknya kecil, daging ini disebut
Al-Qalb (hati) yang merupakan anggota tubuh yang paling terhormat, karena
ditempat inilah terjadi perubahan gagasan, sebagian penyair bersenandung, “Tidak
dinamakan hati kecuali karena menjadi tempat terjadinya perubahan gagasan,
karena itu waspadalah terhadap hati dari perubahannya” Allah menyebutkan
bahwa manusia dan hewan memiliki hati yang menjadi pengatur kebaikan-kebaikan
yang diinginkan. Hewan dan manusia dalam segala jenisnya mampu melihat yang baik
dan buruk, kemudian Allah mengistimewakan manusia dengan karunia akal disamping
dikaruniai hati sehingga berbeda dari hewan. Allah berfirman, “Tidakkah mereka
mau berkelana dimuka bumi karena mereka mempunyai hati untuk berpikir, atau
telinga untuk mendengar…” (QS. Al-Hajj 22:46). Allah telah melengkapi dengan
anggota tubuh lainnya yang dijadikan tunduk dan patuh kepada akal. Apa yang
sudah dipertimbangkan akal, anggota tubuh tinggal melaksanakan keputusan akal
itu, jika akalnya baik maka perbuatannya baik, jika akalnya jelek, perbuatannya
juga jelek. Bila kita telah memahami hal diatas, maka kita bisa menangkap
dengan jelas sabda Rasulullah , “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging
jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah
seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”. Kita
memohon kepada Allah semoga Dia menjadikan hati kita yang jelek menjadi baik,
wahai Tuhan pemutar balik hati, teguhkanlah hati kami pada agama-Mu, wahai Tuhan
pengendali hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.
|