Hampir semua ilmu mengawali materinya dengan mendifinisikan
sesuatu yang menjadi objek bahasan dari
ilmu tersebut. Demikian pula dengan Ulumulquran, karena yang menjadi pokok masalah dari ilmu ini adalah alqur'an, maka mari kita lihat apa dan bagaimana proses para ulama mendifinisikan Alqur'an.
ilmu tersebut. Demikian pula dengan Ulumulquran, karena yang menjadi pokok masalah dari ilmu ini adalah alqur'an, maka mari kita lihat apa dan bagaimana proses para ulama mendifinisikan Alqur'an.
Kata Qur'an pada mulanya diambil dari akar kata qara'a,
qira'atan, qur'anan. Misalnya seperti dalam firman Allah SWT : (Al‐Qiyamah [75]
: 17 ‐ 18),
"Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya, apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya
itu."
Dalam struktur bahasa Arab kata Qur'an adalah masdar
(infinitif) menurut wazan (tasrif, konjugasi, atau pola) "Fu'lan"
Memang dalam berbagai ayatnya Allah menyebut Kitab Suci
Umat Islam ini dengan sebutan Qur'an misalnya dalam (Al A'raf [7] : 204),
"Dan
apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik‐baik, dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat"
Banyak sekali difinisi yang yang dibuat para Ulama, tentu
saja berbagai macamnya, tidak ada yang persis sama. Disini hanya akan
disampaikan yang paling pas dan sesuai dalam pandangan Manna Khalil al‐Qattan
(Mabahis Fi Ulumil Quran), yang mana bersumber dari bukunyalah materi ini ditulis.
Yang paling mudah memang mendifinisikan Alqur'an secara kongkrit, misalnya :
"Alquran adalah bismillahir rahmaanir rahim, alhamdulillahi rabbil alamin
sampai dengan minal jinnatii wannas." namun untuk lebih mendekati maknanya
dan agar benar‐benar terbedakan dengan yang lainnya maka para ulama
mendifinisikan Alqur'an dengan :
"Qur'an adalah Kalam (firman) Allah yang diturunkan
kepada Muhammad S.A.w. yang membacanya merupakan suatu ibadah"
Dalam difinisi tersebut, "Kalam" atau kata
merupakan statement yang meliputi segala kalam, namun dengan menghubungkannya
kepada "Allah" maka "Kalamullah" menunjuk secara tegas dan
spesifik, jadi tidak termasuk kalam (kata) manusia, jin dan malaikat.
Dengan memakai kata "yang diturunkan" maka tidak
termasuk Kalam Allah yang sudah khusus menjadi milik‐Nya, seperti yang
terungkap dalam firman‐Nya : (Al‐Kahfi [18] : 109)
"Katakanlah:
Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat‐kalimat Tuhanku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat‐kalimat Tuhanku, meskipun
Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)" atau (Luqman [31] : 27)
"Dan
seandainya pohon‐pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan
habis‐habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana."
Dengan membatasi apa yang diturunkan itu hanya "kepada
Muhammad S.A.W. maka tidak termasuk yang diturunkan kepada Nabi‐Nabi sebelumnya
seperti Taurat, Injil dan yang lainnya.
Dan dengan dikatakan "yang membacanya merupakan suatu
ibadah" maka terbedakanlah ketika kita membaca hadits ahad maupun hadits
kudsi, sebab membacakan hadits tidaklah sama dengan membaca Qur'an.
Selain disebut dengan Qurán, Kalamullah ini disebut juga
dengan Alkitab atau Kitab Allah (QS.2:2 dan QS.6:114), Al‐Furqan yang berarti
pembeda antara yang benar dan yang batil (QS.25:i), Az‐Zikr yang berarti
peringatan (QS.15:9), dan At‐Tanzil yang berarti diturunkan (QS.26:192). Hanya
saja penamaan Alquran dan Alkitab lebih populer dari nama‐nama yang lainnya.
Allah SWT dalam berbagai ayatnya juga menyebut alquran
dengan berbagai sifatnya, berikut rinciannya :
Nur (cahaya) (QS An‐Nisa’[4]; 174) “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang
kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah
Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran).”
Huda (petunjuk), Syifa’(obat), Rahmah
(rahmat), dan Mauízah (nasihat) (Qs Yunus [10];57) “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Tuhanmu
dan obat bagi penyakitpenyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang‐orang yang beriman.”
Mubin (yang menerangkan) (QS Al‐Maídah
[5];15) “Hai ahli Kitab, Sesungguhnya
telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab
yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah
datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan”.
Mubarak (yang diberkati) (QS Al‐AnÁm [6];92)
”dan ini (Al Quran) adalah kitab yang
telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab‐Kitab yang (diturunkan)
sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura
(Mekah) dan orang‐orang yang di luar lingkungannya. orang‐orang yang beriman
kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka
selalu memelihara sembahyangnya.”
Busyra’’(kabar gembira) (QS Al‐Baqarah
[2];97) “Katakanlah: "Barang siapa
yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke
dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab‐kitab) yang sebelumnya
dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang‐orang yang beriman.”
Aziz (yang mulia) (QS Fussilat [41];41) “Sesungguhnya orang‐orang yang mengingkari
Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan
celaka), dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang mulia.”
Majid (yang dihormati) (QS Al‐Buruj
[85];21) “bahkan yang didustakan mereka
itu ialah Al Quran yang mulia”
Basyir (pembawa kabar gembira), dan Nazir
(pembawa peringatan) (QS Fussilat [41];3‐4) “kitab
yang dijelaskan ayat‐ayatnya, Yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi
kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan.”
Bukalah Alquran dan dapati ayat‐ayat tersebut diatas
renungkan dan resapi Insya Allah kita akan dapati banyak nasehat, obat,
penyejuk jiwa, berita gembira, kemuliaan, pengingat dan jutaan kebaikan
lainnya. Dan mari kita mulai jalin hubungan yang indah dengan Alquran sebab ia
adalah surat dari Tuhan kita untuk kita.
Hakikat Wahyu.
Semakin lama manusia semakin cerdas. diiringi pesatnya
teknologi, perkembangan ilmu, kemampuan mengeskplorasi bumi, laut dan langit. Semuanya
itu membantu menyapu keraguan manusia akan hakikat wahyu. Bagi manusia yang
berpikir, eksistensi dunia gaib tak ubahnya dunia nyata. bedanya eksplorasi dan
pemahaman kita akan dunia gaib ini begitu lambatnya dibanding dengan yang telah
kita capai pada dimensi nyata.
Hipnotis kini adalah hal lumrah, yang mana orang berkemauan
lebih kuat dapat memaksakan kemauannya kepada orang yang lebih lemah, hingga si
lemah tertidur dan ia dikemudikan secara mudahnya oleh kehendak orang yang
menghipnotisnya. ini terjadi antara manusia, nah bayangkan begitu mudahnya hal
serupa terjadi antara Tuhan dengan mahluknya.
Telepon, televisi dan segala jenis alat komunikasi menjadi
terealisir dengan pemahaman manusia akan gelombang eter, frekwensi, satelit
dsb. Komunikasi dua orang yang terpisah laut dan gunung dapat berjalan
sedemikan lancarnya. apabila fakta ini menjadi biasa, maka komunikasi antara
Tuhan dan Nabinya jadi mudah dicerna dan diakui adanya.
Rasulullah SAW bukanlah manusia pertama yang mendapatkan
wahyu, Allah telah melakukan hal serupa kepada Rasul‐rasul sebelum beliau SAW,
firmannya ; "Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana
Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi‐nabi yang kemudiannya, dan Kami
telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak
cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan Kami berikan Zabur kepada
Daud. dan (kami telah mengutus) Rasul‐rasul yang sungguh telah Kami kisahkan
tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul‐rasul yang tidak Kami kisahkan
tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan
langsung"QS An‐Nisa' [4] ; 163‐164
Al‐Wahyu adalah kata dalam bahasa arab yang artinya
tersembunyi dan cepat. atas dasar ini para ulama secara bahasa mendifinisikan
wahyu sebagai " Apa yang dibisikkan ke dalam sukma, yang diilhamkan, dan
merupakan isyarat yang cepat yang lebih mirip pada sesuatu yang dirahasiakan
daripada dilahirkan; sesuatu yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah SWT
ke dalam dada para nabi‐Nya. Wahyu merupakan kebenaran yang langsung
disampaikan Allah SWT kepada para nabiNya.”
Allah SWT telah menerangkan dalam Alquran cara
memberitahukan para nabi‐Nya mengenai apa yang dikehendaki‐Nya, dengan
firman‐Nya: “Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata‐kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan Wahyu atau di belakang tabir atau dengan
mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan se‐izin‐Nya
apa yang Dia kehendaki...” (QS.42:51). Dari kandungan ayat tersebut dapat dipahami
bahwa Allah SWT menurunkan wahyu‐Nya kepada nabi dan rasul dengan tiga cara :
Allah SWT memberi pengetahuan dengan tidak memakai
perantaraan. Pengetahuan itu tiba‐tiba dirasakan seseorang dan timbul dalam
dirinya secara tiba‐tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Mimpi
nabi yang benar (sadiqah) termasuk dalam bagian ini. wahyu serupa ini telah
diterima Nabi Ibrahim AS, yaitu tentang perintah Allah SWT untuk menyembelih
anaknya, Ismail AS. Hal ini juga terjadi pada diri Nabi Muhammad SAW di masa
permulaan turunnya wahyu.
Memperdengarkan suara dari belakang tabir dan nabi
mendengar wahyu dari belakang tabir itu. Hal ini diperoleh Nabi Musa AS di
Bukit Tursina (Gunung Sina) dan Nabi Muhammad SAW ketika melakukan isra mikraj.
Mengutus Malaikat Jibril (sebagai pembawa wahyu), yang
disebut dalam Alquran sebagai ar‐Ruh al‐
Amin atau Rohul Kudus. Dalam surah asy‐Syu’ara ayat 192‐195
Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya Alquranini benar‐benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh ar‐Ruh al‐Amin
(Jibril); ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara
orang‐orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” Malaikat
Jibril kadangkala mendatangi Muhammad SAW dengan menyerupai seorang laki‐laki
yang tampan. Di saat lain Jibril memperlihatkan dirinya dalam bentuk yang asli,
yang memiliki enam ratus sayap.
Tak ragu lagi Alquran memang menjadi fokus perhatian para
Sahabat, Tabiin dan generasi sesudahnya. Ini terbukti dari hasil penelitian
mereka berkenaan dengan Alquran. Hasil kajian mereka memang menjadi pilar‐pilar
penting yang jadi acuan kaum muslimin yang peduli terhadap interaksi dengan
Alquran karena kesadaran bahwa kalam Allah adalah cahaya benderang petunjuk dan
penuntun jalan kehidupan ini.
Makki dan Madani
Materi kali ini membahas secara ringkas tentang ”Makki dan
Madani”, istilah teknis ini berarti : “ayat‐ayat yang turun di Makkah dan
sekitarnya (Makki). Dan ayat‐ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya
(Madani).”
Manfaat mengetahui Makki dan Madani sangat banyak, diantara
yang terpenting adalah :
Sebagai alat bantu dalam menafsirkan Qur'an, pengetahuan
mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan
menafsirkannya dengan tafsiran yang benar.
Dua jenis ayat dan atau surat Maki dan Madani ini memiliki
karakter penyampaian yang berbeda sesuai dengan kondisi dan tempat turunnya.
Kita dapat meresapi gaya bahasa Qur'an tersebut dan memanfaatkannya di medan
dakwah, ini merupakan manfaat yang khusus dalam ilmu retorika.
Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat‐ayat Qur'an,
sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dengan
segala peristiwanya, baik pada periode Mekah maupun periode Medinah, sejak
permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Qur'an adalah sumber
pokok bagi peri hidup Rasulullah. Peri hidup beliau yang diriwayatkan ahli
sejarah harus sesuai dengan Qur'an; dan Qur'an pun memberikan kata putus
terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.
Para Ulama mengetahui dan menentukan Makki dan Madani
dengan dua cara, cara pertama didasari pada riwayat sahih para sahabat yang
hidup pada saat itu dan menyaksikan turunnya wahyu; atau dari para tabi'in yang
menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, di mana dan peristiwa apa
yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan Makki dan
Madani itu didasarkan pada cara ini. Yang kedua para Ulama menentukan dengan
Kias
Ijtihadi mereka (keputusan yang dibuat dengan pertimbangan
yang matang).
Berkenaan Makki dan Madani ini para ulama membicarakan
tentang banyak hal, yang terpenting adalah sebagai berikut ; surat yang
diturunkan di Makkah dan surat‐surat yang diturunkan di Madinah, surat dan
ayat‐ayat yang diperselisihkan, ayat‐ayat Makkiah dalam surat‐surat Madaniah
dan ayat‐ayat Madani dalam surat‐surat Makkiah.
Pendapat yang paling populer dan tentang bilangan
surat‐surat Makkiah dan Madaniyah ialah bahwa Madaniah ada dua puluh surah: 1)
al‐Baqarah; 2) Ali 'Imran; 3) an‐Nisa; 4) al‐Ma'idah; 5) al‐Anfal; 6)
at‐Taubah; 7) an‐Nur; 8) al‐Ahzab; 9) Muhammad; 10) al‐Fath; 11) al‐Hujurat;
12) al‐Hadid; 13) alMujadalah; 14) al‐Hasyr; 15) al‐Mumtahanah; 16) al‐Jumu'ah;
17) al‐Munafiqun; 18) at‐Talaq ; 19) atTahrim; da 20) an‐Nasr.
Yang diperselisihkan ada dua belas surah; 1) al‐Fatihah; 2)
ar‐Ra'd; 3) ar‐Rahman; 4) as‐Saff; 5) atTagabun; 6) at‐Tatfif; 7) al‐Qadar; 8)
al‐Bayyinah; 9) az‐Zalzalah; 10) al‐Ikhlas; 11) al‐Falaq; dan 12) an‐Nas.
Selain yang tersebut diatas adalah Makkiah.
Dengan menamakan sebuah surah itu Makkiah atau Madaniah
tidak berarti bahwa surah tersebut seluruhnya Makkiah atau Madaniah, sebab di
dalam surah Makkiah terkadang terdapat ayat‐ayat Madaniah, dan di dalam surah
Madaniah pun terkadang terdapat ayat‐ayat Makkiah. Dengan demikian, penamaan
surah itu Makkiah atau Madaniah adalah menurut sebagian besar ayat‐ayat yang
terkandung di dalamnya. Karena itu, dalam penamaan surah sering disebutkan
bahwa surah itu Mak‐kiah kecuali ayat "anu" adalah Madaniah; dan
surah ini Madaniah kecuali ayat "anu" adalah Makkiah. misalnya surah
al‐Anfal itu Madaniah, tetapi banyak ulama mengecualikan ayat 30 yang dianggap
sebagai ayat Makiah.
Ciri‐ciri Khas Makki dan Madani.
Para ulama telah meneliti surah‐surah Makki dan Madani; dan
menerangkan ciri‐ciri khasnya sbb :
Ketentuan Makki dan Ciri Khas Temanya
•
Setiap surah yang di dalamnya mengandung
"sajdah" maka surah itu Makki.
•
Setiap surah yang mengandung lafal kalla,
berarti Makki.Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur'an. Dan
disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.
•
Setiap surah yang mengandung ya ayyuhan nas dan
tidak mengandung ya ayyuhal lazina amanu, berarti Makki, kecuali Surah al‐Hajj
yang pada akhir surah terdapat ya ayyuhal lazina amanur‐ka'u wasjudu. Namun
demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat
Makki.
•
Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan
umat terdahulu adalah Makki, kecuali surah Baqarah.
•
Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan
Iblis adalah Makki, kecuali surah Baqarah.
• Setiap surah yang dibuka dengan
huruf‐huruf singkatan, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan
lain‐lainnya, adalah Makki, kecuali surah Baqarah dan Ali 'Imran. Sedang surah
Ra'd masih diperselisihkan.
Ini adalah dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri tema
dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut :
Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah,
pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan had pembalasan, had kiamat dan
kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmat‐nya, argumentasi terhadap
orang musyrik dengan menggunakan bukti‐bukti rasional dan ayat‐ayat kauniah.
Peletakan dasar‐dasar umum bagi perundang‐undangan dan
akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan
dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara
zalim, penguburan hidup‐hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
Menyebutkan kisah para nabi dan umat‐umat terdahulu sebagai
pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum
mereka; dan sebagai hiburan buat Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi
gangguan mereka dan yakin akan menang.
Suku katanya pendek‐pendek disertai kata‐kata yang
mengesankan sekali, pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan
terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan
diperkuat lafal‐Iafal sumpah; seperti surah‐surah yang pendek‐pendek. Dan
perkecualiannya hanya sedikit.
Ketentuan Madani dan Ciri Khas Temanya
•
Setiap surah yang berisi kewajiban atau had
(sanksi) adalah Madani.
•
Setiap surah yang di dalamnya disebutkan
orang‐orang munafik adalah Madani, kecuali surah al‐'Ankabut adalah Makki.
•
Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog
dengan Ahli Kitab adalah Madani.
Ini dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri khas tema
dan gaya bahasa dapat diringkaskan sebagai berikut:
Menjelaskan tentang bab ibadah, muamalah, had,
kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik di
waktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang‐undangan.
Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan
Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai
penyimpangan mereka terhadap kitab‐kitab Allah, permusuhan mereka terhadap
kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa
dengki di antara sesama mereka.
Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisis
kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi
agama.
Suku kata dan ayatnya panjang‐panjang dan dengan gaya
bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
Pengetahuan mengenai yang turun pertama dan terakhir
Satu bukti lagi betapa kitab suci (Alquran) itu menjadi
pusat perhatian dan kajian utama dari agama ini ialah adanya pembahasan
mengenai yang turun pertama dan yang terakhir. Bahasan ini meliputi tentang
ayat yang pertama kali diturunkan dan yang terakhir diturunkan dan ayat yang
pertama kali diturunkan menurut persoalannya, misalnya ; ayat Alquran yang
turun pertama kali tentang makanan, tentang peperangan, hukum dsb.
Pembahasan ini bermanfaat dalam banyak hal, terutama dalam
kajian siroh (sejarah) dan Hukum. Dengan mengetahui urut‐urutan turunnya ayat,
sejarawan dapat dengan mudah mengetahui banyak hal yang berkenaan dengan
sejarah, misalnya ; kondisi psikologis kaum muslimin yang berbeda di era makkah
dan di era madinah atau fase dakwah sembunyi‐sembunyi , dan terang‐terangan
dapat tergambar dan dikonfirmasi oleh urutan turunnya ayat dan gaya pembicaraan
serta seluk beluk retorikannya.
Manfaatnya dari sisi hukum dapat diketahui misalnya dari
pengharaman Khamar. Pelarangan khamar melalui tiga tahap (tidak langsung
diharamkan) dapat diketahui dengan mudah melalui urutan ayat‐ayat yang bicara
tentang khamar.
Ayat yang pertama adalah Al Baqarah ; 219 "Mereka bertanya kepadamu tentang
khamar dan judi. Katakanlah: 'Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.'"
Kemudian turun Surah an‐Nisa': 43"Wahai orang‐orang yang beriman,
janganlah kamu melakukan salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, supaya kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan."
Berikutnya turun satu ayat dalam Surah
al‐Ma'idah: 90‐91 “Hai orang‐orang yang
beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan‐perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.. Sesungguhnya syaitan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan
itu).”
Dari Ibn Umar; dia berkata: "Telah diturunkan tiga
ayat mengenai khamar. Yang pertama Mereka bertanya kepadamu tentang khamar...
Dikatakan kepada mereka: Khamar itu diharamkan. Maka mereka bertanya: 'Wahai
Rasulullah, biarkan kami memanfaatkannya seperti dikatakan Allah.' Rasulullah
diam. Lalu turun ayat ini Janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk.
Maka dikatakan kepada mereka bahwa khamar itu diharamkan. Tetapi mereka
berkata: 'Wahai Rasulullah, kami tidak akan meminumnya menjelang waktu salat.'
Maka Rasulullah pun diam pula. Lalu turunlah ayat ini Wahai orang‐orang yang
beriman, sesungguhnya meminum khamar dan berjudi, maka kata
Rasulullah kepada mereka: 'Khamar sudah diharamkan.
Asbabun Nuzul
Tidak sedikit ayat‐ayat Alquran yang turun untuk menjawab
atau menjelaskan sesuatu hal yang jadi pertanyaan para sahabat. atau
mengkomentari maupun merespon suatu peristiwa yang khusus. Pertanyaan ataupun
peristiwa khusus inilah yang dinamakan Asbabun Nuzul, yaitu sebab dari turunnya
suatu ayat.
Faedah mengetahui Asbabun Nuzul
•
Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum,
juga sebagai bukti perhatian dan kasih sayang Allah terhadap manusia.
•
Dengan mengetahui asbabun nuzul kita dapat
mengetahui maksud hukum yang sebenarnya.
•
Memudahkan penafsiran suatu ayat.
Mungkin beberapa contoh dibawah akan lebih memudahkan
pemahaman :
"Janganlah sekali‐kali kamu menyangka bahwa
orang‐orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka
untuk dipuji dengan perbuatan yang belum mereka kerjakan; janganlah kamu
menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa; dan bagi mereka siksa yang
pedih." (Ali 'Imran [3]: 188). Tentang ayat ini diriwayatkan bahwa Marwan
berkata kepada penjaga pintunya: "Pergilah, hai Rafi', kepada Ibn Abbas
dan katakan kepadanya: Sekiranya setiap orang di antara kita yang bergembira
dengan apa yang telah dikerjakan dan ingin dipuji dengan perbuatan yang belum
dikerjakannya itu akan disiksa, tentulah kita semua akan disiksa." Ibn
Abbas menjawab: "Mengapa kamu berpendapat demikian mengenai ayat ini? Ayat
ini turun berkenaan dengan Ahli Kitab." Kemudian ia membaca ayat: Dan
ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang‐orang yang telah diberi
Kitab... (Ali 'Imran [3]: 187)." Kata Ibn Abbas: "Rasulullah
menanyakan kepada mereka tentang sesuatu, me‐reka menyembunyikannya, lalu
mengambil persoalan lain dan itu yang mereka tunjukkan kepadanya. Setelah itu
mereka pergi, dan menganggap bahwa mereka telah memberitahukan kepada
Rasulullah apa yang ditanyakannya kepada mereka. Dengan perbuatan itu mereka
ingin dipuji oleh Rasulullah dan mereka bergembira dengan apa yang telah mereka
kerjakan, yaitu menyembunyikan apa yang ditanyakan kepada mereka itu."
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah:
'Haid adalah suatu kotoran. ' Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang‐orang yang
bertobat dan menyukai orang‐orang yang menyucikan diri." (al‐Baqarah
[2]:222). Suatu ketika sahabat Anas berkata: "Bila istri orang‐orang
Yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum, dan
di dalam rumah tidak boleh bersama‐sama. Lalu Rasulullah ditanya tentang hal
itu, maka Allah menurunkan ayat tersebut. Kemudian kata Rasulullah:
"Bersamasamalah dengan mereka di rumah, dan perbuatlah segala sesuatu
kecuali menggaulinya."
Turunnya Alquran
Turunnya Qur'an merupakan peristiwa terbesar dalam sejarah
manusia. Quran diturunkan pertama kali pada malam lailatul qadar. Bagaimanakah
proses turunnya Alquran secaran detail ? Turunnya Alquran dibagi dalam dua
tahap, yaitu turunnya secara sekaligus dan turunnya secara berangsurangsur.
Turunnya Alquran secara sekaligus.
Alquran diturunkan pertama kali ke Baitul Izzah ‘secara
sekaligus agar para malaikat menghormati kebesarannya. Inilah maksud 3 Firman
Allah berikut :
“Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan‐penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang
haq dan yang batil.”(QS Al‐
Baqarah;185)
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.”(QS AL‐Qadr;1)
“Sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.”(QS Ad‐Dukhan;3)
Ketiga ayat di atas itu tidak bertentangan, karena malam
yang diberkahi adalah malam lailatul qadar dalam bulan Ramadan. Tetapi lahir
(zahir) ayat‐ayat itu bertentangan dengan kejadian nyata dalam kehidupan
Rasulullah, di mana Qur'an turun kepadanya selama dua puluh tiga tahun. Karena
itulah para Ulama berpendapat bahwa Alquran turun dalam dua tahap, pertama;
secara sekaligus kedua ; secara berangsur‐angsur selama 23 tahun. Seperti kata
Ibnu Abbas berikut, tentang ini beliau mengucapkan perkataan serupa dalam tiga
kesempatan berbeda, katanya :
“Qur'an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam
lailatul qadar. Kemudian setelah itu, ia diturunkan selama dua puluh
tahun." Pada kesempatan lain beliau juga berkata ;
"Qur'an itu dipisahkan dari az‐Zikr, lalu diletakkan
di Baitul 'Izza di langit dunia. Maka Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi
s.a.w."
"Allah menurunkan Qur'an sekaligus ke langit dunia,
tempat turunnya secara berangsur‐angsur. Lalu Dia menurunkannya kepada Rasul‐Nya
s.a.w. bagian demi bagian."
Turunnya Alquran secara berangsur‐angsur.
“dan Sesungguhnya Al Quran ini benar‐benar diturunkan oleh
Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar‐Ruh Al‐Amin (Jibril), ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang‐orang yang
memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS AsySyu’ara’;192‐195)
“Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran
itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang‐orang yang telah
beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang‐orang yang
berserah diri (kepada Allah)." ” (QS An‐Nahl;102)
“kitab (ini) diturunkan dari Allah yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS Al‐Jasiyah)
“dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang
Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang
semisal Al Quran itu dan ajaklah penolongpenolongmu selain Allah, jika kamu
orang‐orang yang benar.”(QS Al‐Baqarah;23)
“Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril,
Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin
Allah; membenarkan apa (kitab‐kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta
berita gembira bagi orang‐orang yang beriman.”(QS Al‐Baqarah;97)
Ayat‐ayat di atas menyatakan bahwa al‐Qur'anul Karim adalah
kalam Allah dengan lafalnya yang berbahasa Arab; dan bahwa Jibril telah
menurunkannya ke dalam hati Rasulullah s.a.w.; dan bahwa turunnya ini bukanlah
turunnya yang pertama kali ke langit dunia. Tetapi yang dimaksudkan adalah
turunnya Qur'an secara bertahap. Ungkapan (untuk arti menurunkan) dalam
ayat‐ayat di atas menggunakan kata tanzil bukannya inzal. Ini menunjukkan bahwa
turunnya itu secara bertahap dan berangsur‐angsur. Ulama bahasa membedakan
antara inzal dengan tanzil. Tanzil berarti turun secara berangsur‐angsur sedang
inzal hanya menunjukkan turun atau menurunkan dalam arti umum.
Qur'an turun secara berangsur‐angsur selama dua puluh tiga
tahun: tiga belas tahun di Mekah menurut pendapat yang kuat, dan sepuluh tahun
di Medinah. Penjelasan tentang turunnya secara berangsur itu terdapat dalam
firman Allah:
“dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan
berangsur‐angsur agar kamu membacakannya perlahan‐lahan kepada manusia dan Kami
menurunkannya bagian demi bagian.” (QS Al‐Isra;106)
Hikmah Turunnya Quran secara bertahap.
Banyak sekali hikmah dari turunnya Alquran secara bertahap,
disini akan disampaikan yang terpenting saja :
Menguatkan
atau meneguhkan hati Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW mendapatkan tantangan dan perlawanan yang
luar biasa dari manusia‐manusia yang jahil dan pembangkang, tak jarang Rasul
SAW mendapat perlakuan yang sangat kasar, melukai hati dan bahkan fisik.
Padahal Rasulullah SAW berhati tulus menghendaki kebaikan atas diri mereka.
Pada titik tertentu Rasulullah SAW membutuhkan hiburan, kekuatan dan semangat
untuk tetap dijalan dakwah walaupun betapa sulitnya keadaan yang beliau hadapi.
Pada moment‐moment ini Quran turun dengan ayat‐ayat yang menyejukkan hati Rasul
SAW, menenangkan, memompa semangat.
Dapat disimak contoh ayat yang dimaksud ; “Sesungguhnya
Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu,
(janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan
kamu, akan tetapi orang‐orang yang zalim itu mengingkari ayatayat Allah. dan
Sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul‐rasul sebelum kamu, akan tetapi
mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap
mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. tak ada seorangpun yang dapat
merobah kalimat‐kalimat (janjijanji) Allah. dan Sesungguhnya telah datang
kepadamu sebahagian dari berita Rasul‐rasul itu.” (QS Al‐Anám;33‐34)
Masih banyak ayat‐ayat yang berfungsi untuk menghibur,
menguatkan dan meneguhkan hati Rasul SAW dengan mengancam mereka yang
membangkang atau menjanjikan kemenangan dan memberitahu bahwa kemenangan itu
sudah dekat dsb.
Sebagai
Tantangan dan Mukzizat.
Orang‐orang musyrik senantiasa berkubang dalam kesesatan
dan kesombongan hingga melampaui batas. Mereka sering mengajukan
pertanyaan‐pertanyaan dengan maksud melemahkan dan menantang, untuk menguji
kenabian Rasulullah. Mereka juga sering menyampaikan kepadanya halhal batil
yang tak masuk akal, seperti menanyakan tentang hari kiamat: Mereka menanyakan
kepadamu tentang kiamat. (al‐A'raf [7]:187), dan minta disegerakannya azab: Dan
mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan. (al‐Hajj [22]:47).
Maka turunlah Qur'an dengan ayat yang menjelaskan kepada
mereka segi kebenaran dan memberikan jawaban yang amat jelas atas pertanyaan
mereka, misalnya firman Allah: "Dan tidaklah orang‐orang kafir itu datang
kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu
sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. " (QS Al‐Furqan :33).
Maksud ayat tersebut ialah "Setiap mereka datang
kepadamu dengan pertanyaan yang aneh‐aneh dari sekian pertanyaan yang sia‐sia,
Kami datangkan kepadamu jawaban yang benar dan sesuatu yang lebih baik maknanya
daripada pertanyaan‐pertanyaan yang hanya merupakan contoh kesiasiaan
saja." Di saat mereka keheranan terhadap turunnya Qur'an secara
ber‐angsur‐angsur, maka Allah menjelaskan kepada mereka kebenaran hal itu;
sebab tantangan kepada mereka dengan Qur'an yang diturunkan secara berangsur
sedang mereka tidak sanggup untuk membuat yang serupa dengannya, akan lebih
memperlihatkan kemukjizatannya dan lebih efektif pembuktiannya daripada kalau
Qur'an diturunkan sekaligus lalu mereka diminta membuat yang serupa dengannya
itu. Oleh sebab itu, ayat di atas datang sesudah pertanyaan mereka, Mengapa
Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Maksudnya ialah:
Setiap mereka datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil yang mereka
minta seperti turunnya Qur'an sekaligus, Kami berikan kepadamu apa yang menurut
kebijaksanaan Kami membenarkanmu dan apa yang lebih jelas maknanya dalam
melemahkan mereka, yaitu dengan turunnya Qur'an secara berangsur‐angsur.
Mempermudah
Hafalan dan pemahamannya.
Alquran turun dimasyarakat yang kebanyakan buta huruf,
dengan turunnya secara bertahap ini memudahkan mereka untuk menghapal. Dan
sesuatu pelajaran jelas akan lebih mudah dipahami secara menyeluruh apabila
diberikan sedikit demi sedikit. Maka turunnya Quran secara bertahap dan
berangsur‐angsur ini sangat membantu Nabi dan para sahabat dalam proses
penghapalan dan pemahamannya.
Kesesuaian
dengan peristiwa dan pentahapan dalam penetapan hukum.
Manusia tidak akan mudah mengikuti dan tunduk kepada agama
yang baru ini seandainya Qur'an tidak menghadapi mereka dengan cara yang
bijaksana dan memberikan kepada mereka beberapa obat penawar yang ampuh yang
dapat menyembuhkan mereka dari kerusakan dan kerendahan martabat. Setiap kali
terjadi suatu peristiwa di antara mereka, maka turunlah hukum mengenai
peristiwa itu yang memberikan kejelasan statusnya dan petunjuk serta meletakkan
dasar‐dasar perundang‐undangan bagi mereka, sesuai dengan situasi dan kondisi,
satu demi satu. Dan cara demikian ini menjadi obat bagi hati mereka.
Pada mulanya, Qur'an meletakkan dasar‐dasar keimanan kepada
Allah, malaikat‐malaikat‐Nya, kitab‐kitab‐Nya, rasul‐rasul‐Nya dan hari kiamat
serta apa yang ada pada hari kiamat itu seperti kebangkitan, hisab, balasan,
surga dan neraka. Untuk itu, Qur'an menegakkan bukti‐bukti dan alasan sehingga
kepercayaan kepada berhala tercabut dari jiwa orang‐orang musyrik dan tumbuh
sebagai gantinya akidah Islam.
Setelah itu Qur'an mengajarkan akhlak mulia yang dapat
membersihkan jiwa dan meluruskan kebengkokannya dan mencegah perbuatan yang
keji dan mungkar, sehingga dapat terkikir habis akar kejahatan dan keburukan.
la menjelaskan kaidah‐kaidah halal dan haram yang menjadi dasar agama dan
menancapkan tiang‐tiangnya dalam hal makanan, minuman, harta benda, kehormatan
dan nyawa.
Kemudian penetapan hukum bagi umat ini meningkat kepada
penanganan penyakit‐penyakit sosial yang sudah mendarah daging dalam jiwa
mereka sesudah digariskan kepada mereka kewajibankewajiban agama dan
rukun‐rukun Islam yang menjadikan hati mereka penuh dengan iman, ikhlas kepada
Allah dan hanya menyembah kepada‐Nya serta tidak mempersekutukan‐Nya. Dengan
turun secara bertahap dan berangsur‐angsur seperti ini proses pembentukan
masyarakat muslim dapat lebih mudah terealisir.
Sebagai
bukti yang kuat bahwa Alquran diturunkan dari sisi yang Maha Bijaksana dan Maha
Terpuji.
Qur'an yang turun secara berangsur‐angsur kepada Rasulullah
s.a.w. dalam waktu lebih dari dua puluh tahun ini ayatnya atau ayat‐ayatnya
turun dalam selang waktu tertentu, dan selama itu orang membacanya dan
mengkajinya surah demi surah. Ketika itu ia melihat rangkaiannya begitu padat,
tersusun cermat sekali dengan makna yang saling bertaut, dengan gaya yang
begitu kuat, serta ayat demi ayat dan surah demi surah saling terjalin bagaikan
untaian mutiara yang indah yang belum pernah ada bandingannya dalam perkataan
manusia:
"Inilah suatu kitab yang ayat‐ayatnya disusun dengan
rapi serta dijetaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah Yang
Mahabijaksana dan Mahatahu." (QS Hud : 1).
Seandainya Qur'an ini perkataan manusia yang disampaikan
dalam berbagai situasi, peristiwa dan kejadian, tentulah di dalamnya terjadi
ketidakserasian dan saling bertentangan satu dengan yang lain, serta sulit
terjadi keseimbangan. Ini adalah bukti terkuat bahwa Alquran adalah Kalam
Allah.
Pengumpulan dan penertiban Alquran
Alquran dikumpulkan dalam hati (penghafalan) dan
dikumpulkan dalam bentuk mushaf, yakni tertulis dalam susunan yang tertib baik
ayat maupun suratnya. Pada sesi ini akan dipaparkan seringkas mungkin proses
pengumpulan dan penertiban Alquran.
Pembaca dan penghapal Quran terbaik sudah tentu adalah Nabi
Muhammad SAW, seperti dalam firman‐Nya QS Al‐Qiyamah : 17. Selama dua puluh
tahun lebih Alquran turun, terkadang hanya satu ayat sehari terkadang bahkan
sampai sepuluh ayat sehari. Setiap kali turun Nabi SAW dan para sahabat sangat
antusias dalam membacanya, menghafal, dan mengamalkannya. Khusus masalah
penghafalan, Nabi SAW secara rutin mendapat kunjungan pada bulan ramadhan untuk
membacakan Alquran kepada sang Nabi SAW. menurut para sahabat ketika waktu
kunjungan Jibril ini Rasulullah SAW sangat pemurah, lebih pemurah dari
hari‐hari yang lain. Di masa Nabi lahirlah para qari dan hafiz, bukan sekedar
karena bangsa Arab adalah masyarakat penghapal yang kuat namun lebih karena
dimotivasi oleh keagungan, keindahan dan manfaat yang terkandung dalam
Kalamallah ini. Walaupun bangsa Arab dulu dikenal sebagai bangsa yang ummi
(buta huruf) namun jangan salah mengira kalau seluruh orang Arab buta huruf,
beberapa sahabat sudah masyhur sebagai penulis yang baik, apalagi dalam masa
kepemimpinan Rasulullah SAW kemampuan menulis bangsa Arab ini mengalami
kemajuan yang pesat. Rasul sangat mendorong dan memfasilitasi para sahabat dan
ummatnya untuk belajar tulis baca, misalnya saja dengan memberi kebijakan yang
berbeda tentang tawanan perang yang memiliki kemampuan baca tulis, biasanya
penebusan tawanan hanya dengan cara tukar tawanan dan dengan sejumlah uang atau
harta namun Rasul membebaskan para tawanan ini dengan kewajiban mengajar baca
tulis kepada beberapa orang ummatnya. Ketika Rasulullah SAW wafat ummatnya
tidak lagi mengalami kekurangan orang yang ahli baca tulis.
Alat tulis dan media tulis ketika itu memang masih sulit,
sehingga mereka menggunakan apapun seperti lempengan batu, tulang binatang,
kulit kayu, dsb. Selain media tulis yang lazim ketika itu seperti kulit
binatang atau kertas. Rasulullah SAW menunjuk beberapa sahabat sebagai
sekretaris khusus untuk penulisan Quran, Nabi memberi petunjuk untuk menulis
ayat yang turun dengan menyebutkan posisi oenulisannya, misalnya dengan redaksi
: “Tulislah ayat ini setelah di surat...,sesudah ayat,...dan sebelum
ayat....”
Para ulama siroh beorang sahabat iasanya membagi proses
pengumpulan dan penertiban Alquran ini kedalam tiga periode, yaitu :
1.
Penghafalan dan pembukuan yang pertama di masa Nabi
SAW.
2.
Pengumpulan Quran pada masa Abu Bakar ra.
3.
Pengumpulan Quran pada masa Ustman ra.
Pada materi sebelumnya sudah dituturkan bahwa Quran telah
dihapal oleh banyak sekali sahabat dan ditulis dalam segala media yang tersedia
ketika itu mulai dari kulit, tulang, batu sampai kertas.
Pada masa khalifah Abu Bakar ini terjadi peristiwa
pemberontakan besar yang dilakukan oleh beberapa daerah yang murtad terhadap
Islam, suatu ketika terjadi peperangan di daerah yamamah dan melibatkan banyak
para sahabat yang hapal Alquran. Ternyata dalam peperangan ini tujuh puluh qari
dari kalangan sahabat gugur, hal tersebut mencemaskan sahabat Umar bin Khatab
ra. Ia khawatir akan musnahnya Alquran dengan cara kehilangan para
penghapalnya. Oleh karena keprihatinan itulah Umar ra mengusulkan kepada
khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan Alquran dalam bentuk sebuah buku. Mulanya
sang khalifah sempat bimbang karena hal ini tak pernah diperintahkan Rasulullah
SAW secara langsung, namun akhirnya beliau menyetujuinya.
Khalifah Abu Bakar memerintahkan seorang sahabat yang
memiliki kedudukan yang mulia dalam hal
Qiraat, hafalan, penulisan dan pemahamannya t erhadap Quran
untuk memimpin proyek penting ini.
Langkah ini disetujui oleh semua sahabat Nabi yang hidup
pada masa itu.
Kemudian tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Sabit
mulai bekerja, mereka kumpulkan tulisantulisan ayat‐ayat Quran yang
terpencar‐pencar dari tulang‐tulang, pelepah kurma, kepingankepingan batu dan
mereka juga ambil dari para penghafal‐penghafal Quran. Kehati‐hatian Zaid
sangat nyata terbukti dari bahwa Ia tidak mau menerima dari seseorang mengenai
Qur’an sebelum disaksikan oleh dua orang saksi. Ada juga ulama siroh yang
berpendapat bahwa Zaid hanya menerima Quran apabila orang itu memiliki catatan
dan juga telah menghapal apa yang ia catat tersebut.
Zaid bin Sabit sebenarnya adalah juga seorang penghapal
tapi hal ini tidak mengurangi kehati‐hatian dan kecermatannya ia melakukan
pengumpulan Quran dari semua orang yang memiliki catatan dan menghafalnya.
Pada masa ini Quran telah dikumpulkan ke dalam bentuk buku
dengan tertib susunan yang diperintahkan Rasul SAW dan mencakup ketujuh huruf
yang mana Quran diturunkan* pada masa Abu Bakar ra inilah lahir istilah Mushaf.
Sahabat Ali ra berkata ; “Orang yang paling besar pahalannya dalam hal mushaf
ialah Abu Bakar. Semoga Allah melimpahkan rahmat‐Nya kepada Abu Bakar. Dialah
orang pertama yang mengumpulkan Kitab Allah.”
*hal ini akan dijelaskan nanti.
Seperti yang kita ketahui minggu lalu, Alquran dikumpulkan
di masa khalifah Abu Bakar ra dalam ketujuh hurufnya * dan ternyata dimasa
khalifah Usman ra hal itu menimbulkan masalah. ketika wilayah Islam semakin
meluas dan jumlah pemeluk agama ini juga kian pesat, mulai banyak yang tidak
memahami hakikat tujuh huruf ini dengan baik sehingga ketika guru‐guru qari
mereka mengajarkan cara baca quran dengan satu dari tujuh huruf mereka
menyangka cara baca itulah yang benar lalu ketika mereka menjumpai orang lain
membaca Quran bukan dengan cara baca yang mereka pakai, timbul pertikaian oleh
sebab cara baca yang berbeda itu.
Hal tersebut menimbulkan kecemasan dan usul yang
dikemukakan secara resmi oleh sahabat Huzdaifah kepada khalifah Ustman dan para
sahabat lainnya. akhirnya mereka bersepakat untuk menyalin mushaf yang ada pada
Abu Bakar dengan menetapkan satu saja cara baca (qiraat). Ustman kemudian
mengutus utusan kepada hafsah agar meminjamkan mushaf Abu Bakar untuk menyalin
dan memperbanyaknya namun dengan perintah khusus yaitu agar menuliskan ke dalam
satu cara baca saja yaitu dalam dialeg Quraisy dan membuang keenam huruf (cara
baca) lainnya. Khalifah Ustman memerintahkan Zaid bin sabit, Abdullah bin
Zubair, Sa'id bin As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk melakukannya.
Khalifah ustman memperbanyak mushaf yang disebut mushaf
Ustmani tesebut dan menyebarkan ke daerah‐daerah dan memerintahkan agar semua
mushaf lainnya di bakar. sehingga sejak masa ini semua mushaf dan semua Qari
membaca Quran dengan bacaan satu huruf yakni dialeg atau bahasa arab suku
Quraisy.
Motivasi Abu Bakar ketika hendak mengumpulkan Quran adalah
kekhawatiran akan hilangnya Quran karena banyak penghapal Quran yang gugur
dalam peperangan. sedangkan motivasi Ustman adalah keinginan menyatukan umat
kedalam satu cara baca oleh karena semakin banyak perbedaan cara baca dan
pertikaian karenanya. Kalau Abu Bakar memindahkan tulisan Alquran yang
bertebaran di berbagai media ke dalam satu buku lengkap dengan ketujuh
hurufnya, maka Ustman menyalin kedalam satu mushaf dengan memisahkan keenam
huruf lainnya.
* akan dijelaskan pada bab tersendiri.
Sebelum kita lanjut lebih jauh dalam sejarah kodifikasi
kitab suci Alquran, sejenak kita berhenti untuk lebih memahami apa yang
dimaksud dengan Tujuh huruf. Apakah yang dimaksud dengan “Alquran turun dengan
tujuh huruf.?”
Nas‐nas sunah cukup banyak mengemukakan hadits mengenai
turunnya Quran dengan tujuh huruf, kami sajikan tiga diantarannya :
Dari ibn Abbas, ia berkata ; “Rasulullah berkata; ‘Jibril
membacakan (Quran) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku
mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku
sampai dengan tujuh huruf ’ ”
Dari Ubai bin Ka’b; “Ketika Nabi berada di dekat parit bani
gafar, ia didatangi Jibril seraya mengatakan ; ‘Allah memerintahkanmu agar
membacakan Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf’ Ia menjawab; ‘Aku
memohonkepada Allah ampunan dan magfirah‐Nya, karena umatku tidak dapat
melaksanakan perintah itu.’ Kemudian Jibril datang lagi untuk yang kedua
kalinya dan berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada
umatmu dengan dua huruf.’ Nabi menjawab: ‘Aku memohon ampunan dan magfirah‐Nya
umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Jibril datang lagi untuk yang ketiga
kalinnya, lalu mengatakan: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada
umatmu dengan tiga huruf. ’ Nabi menjawab ‘Aku memohon ampunan dan magfirah‐Nya
sebab umatku tidak dapat melaksanakannya.’ ’ Kemudian Jibril datang lagi untuk
yang keempat kalinya seraya berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan
Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca
, mereka tetap benar.’”
Dari Umar bin Khattab, ia berkata ; “”Aku mendengar Hisyam
bin Hakim membaca surah al‐Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan
bacaannya. Tiba‐tiba ia membacannya dengan banyak huruf yang belum pernah
dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia
shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam aku tarik
selendangnya dan bertanya : ‘Siapakah yang membacakan (mengajarkan membaca)
surah itu kepadamu?‘ ia menjawab ; ‘Rasulullah yang membacakannya kepadaku’
lalu aku katakan kepadanya: ‘Dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan
juga kepadaku surah yang aku dengar tadi engkau membacanya (tapi tidak seperti
bacaanmu).’ Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan
kepadanya bahwa ‘Aku telah mendengar orang ini membaca surah al‐Furqan dengan
huruf‐huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri
telah membacakan surah al‐Furqan kepadaku.’ Maka Rasulullah berkata: ‘Lepaskan
dia wahai Umar. Bacalah surah tadi, wahai Hisyam!’ Hisyampun kemudia membacanya
dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasulullah : ‘Begitulah surah
itu diturunkan.’ Ia berkata lagi: ‘Bacalah, wahai Umar!’ Lalu aku membacanya
dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasululah kepadaku. Maka kata Rasullulah:
begitulah surat itu diturunkan.’ Dan katanya lagi: Sesungguhnya Qur’an itu
diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu
diantarannya. ”
Ada banyak pendapat tentang arti tujuh huruf ini. pendapat
yang masyhur dan terkuat adalah bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah
tujuh macam bahasa dari bahasa‐bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna yang
sama. misalnya kata 'aqbil', 'ta'ala', 'halumma', ''ajal', dan 'asra''
lafaz‐lafaz yang berbeda ini digunakan untk menunjukkan satu makna yaitu ;
perintah untuk menghadap.
Alquran bukannya turun sebanyak tujuh kali dengan tujuh
bahasa atau dialeg‐dialeg tapi jika bahasa mereka berbeda‐beda dalam
mengungkapkan satu makna, maka Quran pun diturunkan dengan sejumlah lafaz
sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. namun jika
tidak terdapat perbedaan, maka Quran hanya mendatangkan satu lafaz saja.
Ada pendapat bahwa yang dimaksud dengan kata tujuh dalam
istilah "tujuh huruf" bukannya tujuh seperti bilangan. tapi ini
adalah kebiasaan orang arab apabila menyebut jumlah yang sangat banyak mereka
menyebut kata tujuh. jadi menurut pendapat ini alquran turun bukan secara
persis tujuh bahasa atau dialeg atau ragam pengucapan dalam menyebut satu arti,
tapi lebih dari tujuh. dan pendapat ini bisa benar mengingat bahwa dialeg atau
variasi dari bahasa Arab memang lebih dari tujuh.
Hikmah turunnya Quran dengan tujuh huruf.
Turunya Quran dengan tujuh huruf ini mengandung hikmah yang
banyak, beberapa yang terpenting adalah sebagai berikut :
Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi,
tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilahnya (suku) mempunyai dialeg
masing‐masing.
Sebagai suatu mukzizat, Allah pernah menantang orang kafir
arab untuk membuat ayat yang serupa dengan Quran. Dengan diturunkannya dengan
dialeg mereka masing‐masing, toh mereka tetap tak pernah bisa membuat ayat yang
serupa dengan Quran, padahal suku‐suku tersebut sangat akrab dengan bahasa dan
dialeg khas mereka sendiri.
Quran turun dengan tujuh huruf yang masing‐masing huruf
atau dialeg tersebut ternyata mengandung tambahan makna yang memperluas peluang
penafsiran dan istinbath hukum. Oleh karena itulah ulama‐ulama fiqh juga
berhujjah dengan cara baca quran yang berbeda‐beda tersebut.
Bagi orang yang tidak memahami secara baik bahasa Arab dan
sastranya maka keberadaan tujuh huruf ini tidak akan terasa luar biasa. Namun
bagi mereka yang memahaminya hakekat tujuh huruf ini merupakan faktor yang
besar dan dapat mereka rasakan dalam interaksinya dengan Alquran Alkariim.
Tertib ayat dan surah
Pada sesi‐sesi sebelumnya kita telahmembahas sejarah
pengumpulan dan penertiban Al Quran, kemudian pembahasan tema itu agak terhenti
sejenak karena kita ingin memahami apa yang dimaksud dengan istilah “tujuh
huruf”. Sekarang kita ingin melanjutkan tema sejarah pengumpulan dan penertiban
Al Quran. Yakni pada masalah tertib ayat dan surah Al Quran.
Quran terdiri dari surat‐surat dan ayat‐ayat, baik yang
pendek maupun yang panjang. Ayat adalah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah
surah dalam Al Quran. Surah adalah sejumlah ayat Quran yang mempunyai permulaan
dan kesudahan. Tertib atau urutan ayat‐ayat Quran ini adlah tauqifi atau
Ketentuan dari Rasulullah SAW. Tepat seperti pernyataan dari para Ulama besar
misalnya Az Zarkasyi dalam Al Burhan dan Abu Ja’far ibnuz Zubair dalam
Munasabahnya, dimana ia mengatakan ; “tertib ayat‐ayat di dalam surah‐surah itu
berdasarkan tauqifi dari Rsulullah dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan
oleh kaum muslimin. ” As‐Suyuti telah memastikan hal itu, ia berkata “Ijma’dan
nas‐nas yang serupa menegaskan, tertib ayat‐ayat itu adalah tauqifi, tanpa
diragukan lagi.” Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan
menunjukan kepadanya tempat dimana ayatayat itu harus diletakkan dalam surah
atau ayat‐ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasullullah memerintahkan kepada
para penulis wahyu untuk menuliskannya ditempat tersebut. Ia mengatakan kepada
mereka ; “Letakkan ayat‐ayat ini pada surah yang didalamnya disebut begini dan
begini.” Atau “Letakkan ayat ini ditempat anu.”
Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa Quran yang telah
disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan Ramadhan dan
pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan Jibril
terakhir ini seperti tertib ayat dikenal sekarang ini.
Minggu depan kita masuk dalam pembahasan tentang pembagian
surat‐surat dalam Quran.
Pembagian surat‐surat dan ayat‐ayat Quran
Surah dalam Alquran
dibagi menjadi empat bagian , yakni ; at‐Tiwal, al‐Miún, al‐Masani,
al‐mufassal. Ad.1 at‐Tiwal
Kelompok ini ada tujuh surat, yaitu : Al‐Baqarah,
Ali‐Imran, An‐Nisa’, Al‐Maidah, Al‐Anám, Al‐A’raf, sedangkan yang ketujuh
terdapat perbedaan pendapat, ada yang berpendapat yang ketujuh adalahh Al‐Anfal
dan Baraáh sekaligus. Ada yang berpendapat surat Yunus lah yang ketujuh.
Ad.2 Al‐Miun
Yaitu kelompok surat yang jumlah ayatnya berrhjumlah lebih
dari seratus, atau sekitar itu.
Ad.3 Al‐Masani
Yaitu kelompok surah yang
ayat‐ayatnya berjumlah di bawah Al‐Miun. Dinamakan Masani, karena surah itu
diulang‐ulang bacaannya lebih banyak dari At‐Tiwal dan Al‐Miun’. Ad.4
Al‐Mufassal
terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan dimulai
dari surah Hujurat, ada yang mengatakan dari surat yang lain. Mufassal dibagi
menjadi tiga: Tiwal, Ausat, dan qisar. Mufassal tiwal dimulai dari surat Qaf
atau Hujurat sampai dengan Ámma atau Al‐Buruj sampai dengan ,Amma atau Buruj.
Mufassal ausat dimulai dari Duha atau Lam Yakun sampai
dengan Quran terakgir. Dinamakan
Mufassal karena banyaknya fasl (Pemisahan) diantara
surah‐surah tersebut dengan basmallah.
Ada 114 surah dalam Alquran, ada yang mengatakan 113 surah
karena mereka menghitung surah Al‐
Anfal dan Baraáh menjadi satu surat saja (mereka
menghitungnya sebagai satu surat karena surat Baraáh – yang tanpa Bismillah‐
itu sebagai surat Al‐Anfal). Jumlah ayat Quran ada 6.200 lebih, kelebihan ini
masih diperselisihkan. Ayat terpanjang adalah tentang hutang‐piutang. Sedangkan
surah terpanjang adalah Al‐Baqarah. Pembagian seperti ini mempermudah orang
untuk menghafal dan mengkajinya.
Perkembangan mushaf
Pada awalnya Quran ditulis dengan huruf arab tanpa tanda
baca titik dan syakal, orang‐orang Arab pada zaman itu sama sekali tidak
membtuhkan alat bantu tersebut. namun seiring waktu bahasa arab mulai
bersentuhan dengan bahasa‐bahasa lainnya, sisi negatifnya bahasa arab mulai
terdistorsi. para penguasa mulai merasakan pentingnya alat bantu pada penulisan
Quran berupa syakal, titik, dsb yang akan membantu pembacaan yang benar. hal
ini sangat dibutuhkan terutama bagi orang muslim non Arab.
Orang pertama yang melakukan hal itu adalah Abul Aswad
ad‐Duali atas permintaan Ali bin Abi Talib. tahap pertama hasilnya adalah tanda
fathah berupa satu titik diatas huruf, tanda kasrah berupa satu titik dibawah
huruf, tanda dhammah berupa satu titik di sela‐sela huruf dan tanda sukun
berupa dua titik. tanda baca ini terus disempurnakan sampai finalnya berupa
tanda baca yang kita temui dalam mushaf sekarang ini.
Pada mulanya banyak tokoh yang tidak setuju adanya
elemen‐elemen itu dalam Mushaf, menurut mereka penulisan alat‐alat bantu itu
menodai kemurnian Alquran. namun secara perlahan semua tokoh menyadari
kegunaannya sehingga bahkan hukumnya berubah dari boleh menjadi dianjurkan.
Adab membaca Quran
Dianjurkan bagi orang yang membaca Quran memperhatikan
hal‐hal berikut :
•
Membaca Quran sesudah berwudlu, karena ia
termasuk dzikir yang paling utama, meskipun boleh membacanya bagi orang yang
berhadas.
•
Membacanya hanya ditempat yang bersih dan suci,
untuk menjaga keagungannya.
•
Membacanya dengan khusyuk, tenang, dan penuh
hormat.
•
Bersiwak (membersihkan mulut) sebelum mulai
membaca.
•
Membaca taáwwuz (audzu billahi minasysyaitanir
rajim) pada permulaannya, berdasarkan firman Allah QS An‐Nahl ; 98. Bahkan
sebagian ulama mewajibkannya.
•
Membaca basmalah pada permulaan setiap surah,
kecuali surah Al‐Baraáh.
•
Membacanya dengan tartil yaitu dengan pelan dan
terang serta memberikan setiap huruf haknya (betul makhrajul hurf dan
tajwidnya), seperti panjangnya, idgamnya, dsb.
•
Memikirkan ayat‐ayat yang dibacanya.
•
Meresapi makna dan maksud ayat‐ayat Quran yang
berhubungan dengan janji dan ancaman.
• Membaguskan
suara dan mengengeraskan bacaan. Bab
mengajarkan Quran dan menerima upah atasnya.
mengajarkan Quran adalah fardu kifayah, dan menghafalnya
merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam agar tidak terputus penjagaan
kemurnian Alquran.
dalam sebuah hadits riwayat Ustman dinyatakan keutamaan
belajar dan mengajarkan Quran ;
"Sebaik‐baiknya kamu adalah orang yang belajar Quran
dan mengajarkannya."
Cara mempelajari Quran yang paling ideal adalah dengan
menghafalnya ayat demi ayat. sesuai dengan hadits dari Abu 'Aliyah ;
"Pelajari Alquran lima ayat‐lima ayat, karena Nabi mengambilnya dari
Jibril a.s. lima ayat‐lima ayat"
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya
menerima upah mengajar Quran. berikut adalah dalil‐dalil bagi pendapat yang
membolehkannya :
Dua buah hadits ; "Pekerjaan yang paling berhak kamu
ambil upahnya ialah (mengajarkan) kitab Allah.", "Aku nikahkan engkau
kepadanya dengan (mas kawin) Quran yang ada padamu."
sebagian ulama membagi type pengajaran Quran menjadi tiga ;
pertama, pengajaran yang karena Allah semata dan tidak mengambil upah. kedua,
pengajaran dengan memungut upah. dan ketiga, pengajaran tanpa syarat, namun
bila diberi hadiah, maka diterimanya. type pertama yang paling ideal, type
kedua diperselisihkan ada yang berpendapatboleh, ada yang melarangnya, type
ketiga semua membolehkannya.
Tentang Qiraat Quran
Qiraat artinya bacaan (jamaknya). menurut istilah Qiraat
adalah salah satu mahzab atau aliran dalam hal pengucapan dan pembacaan Aquran
yang dipilih oleh seorang imam qurra' sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan
mazhab lainnya.
Secara sederhana Qiraat adalah sekumpulan cara baca Quran,
irama baca, dsb dan itu semua ditetapkan berdasarkan sanad‐sanadnya sampai ke
Rasulullah. Diantara sahabat yang terkenal mengajarkan qiraat ialah ; Ubai,
Ali, Zaid bin Sabit, Ibn Mas'ud, Abu Musa al‐Asy'ari dll. Dari mereka itulah
sebagian besar sahabat dan tabiin di berbagai negri belajar qiraat. Mereka itu
semuannya bersandar kepada Rasulullah SAW.
Sebetulnya Imam atau guru Qiraat itu jumlahnya, banyak
hanya sekarang yang populer adalah tujuh orang. Qiraat tujuh orang imam ini
adalah qiraat yang telah disepakati. sebagian ulama membagi qiraat menjadi enam
macam :
1.
mutawatir, yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah
besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta , dari sejumlah
orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni
Rasulullah Saw.
2.
Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi tidak
mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasam Ustmani
serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat sehingga tidak dikategorikan
qiraat yang salah atau syaz. qiraat macam ini dapat digunakan.
3.
Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi
rasam Ustmani, menyalahi kaidah bahasa Arab, atau tidak terkenal. Qiraat macam
ini tidak dapat diamalkan bacaanya.
4.
Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya.
5.
Ma'udu, yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
6.
Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qiraat sebagai
penafsiran (penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat Quran)
Keempat macam terakhir ini tidak boleh diamalkan
bacaannya.
Tentang tasfir Alquran
At‐Tafsir berasal dari akar kata fasara yang artinya ;
menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. sedangkan tafsir menurut istilah,
seperti yang diungkapkan oleh Az‐Zarkasyi ; "Tafsir adalah ilmu untuk
memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW, menjelaskan
maknamaknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya."
Tafsir adalah ilmu keagamaan yang paling agung dan paling
tinggi kedudukannya. bagaimana tidak, ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek
bahasannya dan paling mulia tujuannya. obyek pembahasannya adalah Kalamullah
yang adalah sumber segala kebaikan, hikmah dan keutamaan. Tujuan utamanya
sangat mulia yaitu mengungkap makna, mengurai dan menjabarkan serta menjelaskan
tentang syariat.
Kegiatan ilmu tafsir yakni merenungkan kalam Ilahi dan
menarik keluar hikmah‐hikmah, maknamaknanya baik yang tampak dipermukaan maupun
yang tersembunyi di kedalaman. kualitas penafsiran sangat bergantung dari
keiklhasan dan kemampuan sang penafsir. oleh karenanya ada beberapa syarat dan
adab yang harus dipenuhi atau dimiliki sang mufasir :
•
Akidah yang benar, sebab akidah sangat
berpengaruh bagi jiwa dan hasil pemikiran sangat bergantung pada jiwa. sang
penafsir mutlak harus memiliki akidah yang lurus sehingga menjamin kelurusan
penafsirannya juga.
•
Bersih dari hawa nafsu, hawa nafsu dapat
mendorong pemiliknya untuk secara membabi buta membela kepentingan diri sendiri
dan atau golongannya. penafsiran harus bebas dari kefanatikan buta terhadap
mazhab, ras, dsb.
•
Harus menafsirkan terlebih dahulu Quran dengan
Quran. karena satu ayat dalam Quran terkadang masih diperinci di ayat yang
lainnya.
•
Mencari penafsiran dari sunnah. apabila tidak
ditemukan perinciannya dari Quran maka sang penafsir harus terlebih dulu
mencari petunjuk dari Nabi SAW melalui hadits‐haditsnya.
•
Apabila tidak didapatinya petunjuk dari sunnah
hendaklah sang penafsir meninjau pendapat para sahabat dalam atsar‐atsarnya.
•
Setelah memang belum juga didapati maka
hendaklah sang penafsir mencarinya pada pendapat‐pendapat para tabi'in
(generasi setelah sahabat) yakni murid‐murid dari para sahabat.
•
seorang mufasir diwajibkan memiliki pengetahuan
tentang bahasa arab yang sempurna. karena Quran turun dalam bahasa Arab maka
hanya yang memahami bahasa Arablah yang mampu mengupasnya secara mendalam.
•
Seorang mufasir harus memiliki pegetahuan yang
bagus tentang ilmu‐ilmu yang terkait dengan Quran seperti ulumul Quran, Qiraat
Quran, dsb.
•
Sang penafsir selain harus cerdas juga dituntut
untuk cermat sehingga dapat mengukuhkan suatu makna atas makna yang lain dan
dapat menarik kesimpulan yang selaras dengan nasnas syariat.
Sebelumnya kita telah paparkan syarat‐syarat yang harus
terdapat pada seorang mufasir, kini akan disampaikan adab‐adab yang harus
dimiliki oleh seorang mufasir :
•
Berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal
perbuatan itu bergantung pada niatnya. seorang mufasir harus membersihkan
dirinya dari tujuan‐tujuan duniawi sehingga keikhlsannya dapat menghasilkan
karya yang bermanfaat.
•
Berakhlak baik, karena seorang mufasir itu
adalah pendidik. sangat penting bagi siswa untuk melihat teladan yang baik.
agar manfaat dari karya tafsirnya dapat mereka petik dengan sebesar‐besarnya.
•
Taat dan beramal. karena ilmu lebih dapat
diterima melalui orang yang mengamalkannya. perilaku mulia sang penafsir akan
menjadi panutan yang baik bagi pelaksanaan masalahmasalah agama yang
ditetapkannya
•
Berlaku jujur dan telilti dalam penukilan,
shingga mufasir tidak bicara atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang
diriwayatkannya. dengan cara ini ia akan terhindar dari kesalahan dan
kekeliruan.
•
Tawadu' dan lemah lembut, karena kesombongan
ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan
kemanfaatan ilmunya.
•
Berjiwa mulia, seharusnyalah seorang alim
menjauhkan diri dari hal‐hal yang remeh serta tidak mendekati dan meminta‐minta
kepada penguasa.
•
Vokal dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad
yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa yang
zalim.
•
Berpenampilan baik, yang dapat menjadikan
mufasir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga
dalam cara duduk, berdiri, dan berjalan.
•
Bersikap tenang dan mantap, Mufasir hendaknya
tidak tergesa‐gesa dalam bicara, tapi henndaknya ia berbicara dengan tenang,
mantap dan jelas kata demi kata.
•
Mendahulukan orang yang lebih utama daripada
dirinya, seorang mufasir harus hati‐hati menafsirkan dihadapan orang yang lebih
pandai, menghargainya dan belajar darinya.
•
Mempersiapkan dan menempuh langkah‐langkah
penafsiran secara baik. seperti memulai dengan menyebut asbabunnuzulnya, arti
kosa katanya, menerangkan susunan kalimat, menjelaskan segi balaghoh dan
i'rabnya, kemudian menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan realitas
zamannya, kemudian baru mengambil kesimpulan dan hukum.
Kelompok Mufasir.
Kita dapat mengelompokkan mufasir menjadi beberapa kelompok
berikut :
•
Mufasir dari kalangan sahabat, diantara para
sahabat yang paling terkenal adalah ; empat khalifah, Ibn Masúd, Ibn Abbas,
Ubai bin Ka’b, Zaid bin Sabit, Abu Musa Al‐Asyári, Abdullah bin Az‐Zubair, Anas
bin Malik, Abu Hurairah, Jabir dan Abdullah bin Ámr bin Ás. Diantara keempat
khalifah yang paling banyak diriwayatkan tafsirnya adalah Ali bin Abi Thalib
ra.
•
Mufasir dari kalangan Tabiin (generasi setelah
sahabat), Ibn Taimiyah menjelaskan, orang yang paling mengetahui tentang tafsir
adalah penduduk Makkah karena mereka adalah murid‐murid Ibn Abbas, seperti
Mujahid, Átâ bin Abi Rabbah, Íkrimah, Saíd bin Jubair, Tawus, dsb. Di Kufah
adalah murid‐murid Ibn Masúd dan di Madinah adalah Zaid bin Aslam, pada umumnya
pendapat mereka diterima dari sahabat.
•
Kemudian lahirlah generasi berikutnya, sebagian
besar mereka berusaha menyusun kitabkitab tafsir yang menghimpun
pendapat‐pendapat para sahabat dan tabiin, seperti Sufyan bin Uyainah, Waki’
bin Al‐Jarrah, Syu’bah bin Al‐Hajajj, Yazid bin Harun, Abdurrazzaq, Adam bin
Abi Iyas, Ishaq bin Rahawaih, Abd bin Humaid, dsb.
•
Sesudah generasi ini muncullah angkatan
berikutnya diantaranya adalah Ali bin Abi Talhah, Ibn Jarir At‐Thabari, Ibn Abi
Hatim, Ibn Majah, Al‐Hakim, Ibn Madawaih, Abusy‐Syaikh bin Hibban, dll. Tafsir
mereka memuat riwayat‐riwayatyang disandarkan kepada para sahabat, tabiín, dan
tabiít tabiín. Semuanya sama kecuali yang disusun oleh Ibn Jarir At‐Thabari,
dimana ia mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan (menguatkan pendapat)
salah satu atas yang lainnya, serta menerangkan i’rab dan istinbat (penyimpulan
hukum). Karena itu tafsir ini lebih unggul dari yang lainnya.
•
Generasi berikutnya menyusun kitab‐kitab tafsir
yang dipenuhi oleh keterangan‐keterangan berguna yang dinukil dari para pendahulunya.
pola demikian terus berlangsung. pada masa ini sudah mulai lahir tafsir yang
bercorak sastra sosial yang tidak menyebutkan sanad‐sanad, ditambah sedikit
pendapat para penulisnya. misalnya karya Abu Ishaq Az‐Zujaj, Abu Ali alFarisi,
Abu Bakar an‐Naqqasy, Abu Jahar an‐Nahhas dan Abul Abbas al‐mahdawi.
•
Kemudian golongan mutaakhirin menulis kitab
tafsir‐kitab tafsir yang meringkas sanadsanad riwayat dan mengutip
pendapat‐pendapat secara terputus, karena itu masuklah ke dalam tafsir sesuatu
yang asing dan riwayat yang sahih bercampur dengan yang tidak sahih.
•
selanjutnya , setiap mufasir memasukkan begitu
saja ke dalam tafsir pendapat‐pendapat yang diterima dan apa saja yang
terlintas dalam pikiran yang dipercayainya. kemudian generasi sesudahnya mengutip
begitu saja tanpa menyaring lagi. sampai‐sampai Imam Suyuti berkata bahwa
penafsiran ayat Allah ghairil maghdubi alaihim waladholiin ada 10 macam padahal
penafsiran dari Nabi, sahabat dan tabiin hanya satu yaitu ; "Orang yahudi
dan Nasrani."
•
Kemudian masuk suatu masa yang dapat dicirikan
dari pengkhususan penafsiran pada satu disipin ilmu yang dikuasai sang
penafsir. misalnya ahli nahu (tata bahasa) hanya menulis tentang nahu ahli
fikih melulu menulis tentang fiqh, dsb.
•
Kemudian datanglah masa modern, pada masa ini
mufasir menempuh langkah dan pola baru. pada masa ini para penafsir mulai
memperhatikan aspek kelembutan uslub, keindahan ungkapan dan penekanan aspek
sosial dan pemikiran kontemporer, lahirlah fafsir yang bercorak sastra sosial
seperti Muhammad Abduh, Sayid Muhammad Rasyid Rida, Muhammad Mustafa al‐Maragi,
Sayid Qutub dan Muhammad 'Izzah Darwazah.
Tafsir bil‐Ma’sur dan tafsir bil‐Raýi.
Karakter tafsir Al‐Quran dapat dikelompokkan kedalam dua
besar yakni ; Tafsir bil‐Ma’sur dan tafsir bil‐Raýi.
Tafsir bil‐ma’sur.
Ialah penafsiran berdasarkan pada kutipan‐kutipan yang
sahih menurut urutan pengambilan pendapat seperti yang telah dijelaskan minggu
lalu, yakni menafsirkan Quran dengan Quran, kemudian Quran dengan Sunah, lalu
perkataan para sahabat, tabiin, tabiit tabiin. Sang penafsir harus melihat dan
menyampaikan penafsiran para pendahulu mereka. Ia tidak diperkenankan melakukan
ijtihad untuk menjelaskan suatu makna ayat tanpa ada dasarnya. Dengan cara
seperti ini tentu perbedaan pendapat diantara para penafsir bil‐ma’sur sangat
sedikit jumlahnya dibanding dengan mereka yang menggunakan prinsip bil‐raýi.
Tafsir bil‐ma’sur adalah tafsir yang harus diikuti dan menjadi pedoman utama
karena ia adalah penafsiran yang sangat aman untuk menjaga diri dari
ketergelinciran dan kesesatan.
Tafsir bil‐raýi.
Ialah penafsiran yang menggunakan pemikiran sendiri. Sang
penafsir merenungi suatu ayat dan mencari makna yang dapat ditangkapnya dengan
ilmu yang dikuasainya, ia menggali sedalam mungkin suatu ayat dan memaparkan
tafsir berdasarkan eksplorasinya tadi. Penafsiran dengan cara ini dapat dibagi
menjadi dua ; yakni yang semata hanya menggunakan akal saja tanpa ada dasar
misalnya kaidah‐kaidah bahasa, prinsip‐prinsip syarak (hukum Islam), dan lain
sebagainya. Dan Penafsiran yang mempertimbangkan prinsip‐prinsip hukum Islam
secara menyeluruh dan aspekaspek keilmuan yang terus berkembang sehingga dapat
dilahirkan pengertian yang baru dan kontekstual dengan ayat‐ayat Quran. Yang
pertama (yang hanya menggunakan akal semata) tentu dilarang sedangkan yang
kedua diperbolehkan.
Kitab‐kitab tafsir yang tergolong dalam Tafsir bi al‐Ma'sur
antara lain adalah Jami'al‐Bayan fi Tafsir
Al‐Qur'an oleh Imam at‐Tabari, Bahr al‐'Ulum (Samudera
Ilmu) oleh Nasr bin Muhammad asSamarqandi, al‐Kasyf wa al‐Bayan 'an Tafsir
Al‐Qur'an (Penyingkap Tabir dan Penjelasan Tafsir Al‐
Qur'an) oleh Abu Ishaq as‐Sa'labi, Ma'alim at‐Tan‐zil
(Khazanah Ilmu tentang Wahyu) oleh
Muhammad al‐Husain al‐Bagawi, al‐Muharrir al‐Wajiz fi
Tafsir al‐Kitab al‐'Aziz (Ungkapan‐Ungkapan
Singkat tentang Kitab yang Mulia) oleh Abu Muham‐mad
al‐Andalusi, Tafsir Al‐Qur'an al‐'Azim (Tafsir
Al‐Qur'an yang Mulia) oleh Ibnu Kasir, al‐Jawahir
al‐Hisanfi Tafsir Al‐Qur'an (Permata‐Permata
Kebaikan dalam Tafsir Berdasarkan Riwayat) oleh Abu Zaid
as‐Sa'alibi, dan ad‐Durr al‐Mansur fi atTafslrbi al‐Ma'sur oleh Jalaluddin
as‐Suyuti.
Adapun kitab‐kitab tafsir yang termasuk dalam Tafsir bi
ar‐Ra'yi antara lain adalah al‐Bahr al‐Muhit
(Samudera yang Dalam) oleh Muhammad al‐Andalusi, Gara'ib
Al‐Qur'an wa Raga'ib al‐Furqan oleh Nizamuddin an‐Naisabur, dan Ruh al‐Ma'ani
fi Tafsir Al‐Qur'an al‐'Azim wa as‐Sab' al‐Masani
(Semangat‐Semangat Makna dalam Tafsir Al‐Qur'an dan Surah
al‐Fatihah) oleh Allamah al‐Alusi.
Menyentuh Mushaf Al‐Qur'an.
Para ulama sepakat bahwa kebolehan me‐nyentuh mushaf
Al‐Qur'an hanya ditujukan kepada orangorang/hamba‐hamba yang disucikan saja,
sedangkan hamba‐hamba yang tidak disucikan tidak diperbolehkan. Hal ini
didasarkan atas keterangan Al‐Qur'an surah al‐Waqi'ah ayat 77‐80 yang arti‐nya:
"Sesungguhnya Al‐Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab
yang terpelihara
(Lauh Mahfuz), tidak menyentuhnya kecuali orang‐orang yang
disucikan. Diturunkan dari Tuhan Semesta Alam."
Kata al‐mutahharun dalam ayat 79 di atas mengandung
beberapa pengertian. Dalam hal ini, tidak ada penegasan dari Al‐Qur'an tentang
apa yang dimaksud dengan kata itu. Dari sini timbul perbedaan penafsiran dan
pemahaman para ulama, baik dari kalangan ulama tafsir maupun ulama fikih.
Syekh Abu Ah' al‐Fadl bin Hasan at‐Tabarsi, seorang ulama
tafsir abad ke‐6 H, dalam kitabnya Majma' al‐Bayan fi Tafsir Al‐Qur'an
menafsirkan bahwa kata al‐mutahharun itu mengandung tiga makna, yaitu para
malaikat, orang‐orang/hamba‐hamba yang suci dari syirik, dan orang‐orang yang
suci dari Hadas dan junub. Muhammad Ali as‐Sabuni, guru besar tafsir di
Universitas King Abdul Aziz (Mekah), menyatakan dalam kitabnya Shafwat
at‐Tafasir bahwa kata al‐mutahharun berarti para malaikat yang dinyatakan oleh
Allah SWT sebagai hamba‐hamba yang suci dari syirik, dosa, dan hadas atau
orang‐orang/hamba‐hamba yang berwudu.
Hadis Rasulullah SAW juga tidak menegaskan dan tidak
menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata al‐mutahharun itu. Dalam hadis hanya
ditemukan kata tahirun, seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan
oleh ad‐Darimi dan Imam Malik dari Amr bin Hazm; "Nabi SAW menulis, tidak
menyentuh Al‐Qur'an kecuali orang yang suci."
Penggunaan kata tahirun yang bersifat umum dalam hadis juga
mengundang perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih. Jumhur (mayoritas) ulama
fikih, termasuk Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Syafi'i, berpendapat bahwa
yang di‐maksud dengan tahirun dalam hadis itu adalah orang yang berwudu. Karena
itu, mereka berpendirian bahwa yang diperbolehkan menyentuh mus‐haf AlQur'an
hanyalah orang‐orang yang berwudu. Menurut mereka, wudu merupakan syarat untuk
memegang mushaf. Adapun ulama yang lain, seperti ulama Mazhab Zahiri, menolak
pendirian ulama di atas dan mengatakan bahwa wudu tidak merupakan syarat untuk
menyentuh mushaf Al‐Qur'an; orang yang tidak berwudu boleh menyentuh mushaf.