Allah Ta'ala berfirman:
"Engkau semua mengira bahwa persoalan itu adalah remeh saya,
padahal di sisi Allah ia
adalah persoalan yang agung-amat penting." (an-Nur: 15) Allah
Ta'ala berfirman pula:
"Sesungguhnya Tuhanmu niscayalah selalu mengintip - segala
perbuatanmu." (al-Fajr: 14)
Darian-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya
mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya apa-apa yang halal itu jelas dan sesungguhnya apa-apa
yang haram
itupun jelas pula. Di antara kedua macam hal itu - yakni antara halal
dan haram - ada
beberapa hal yang syubhat -samar-samar atau serupa yakni tidak jelas
halal dan
haramnya.Tidak dapat mengetahui apa-apa yang syubhat itu sebagian
besar manusia. Maka
barangsiapa yang menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan syubhat,
maka ia telah
melepaskan dirinya dari melakukan sesuatu yang mencemarkan agama serta
kehormatannya.
Dan barangsiapa yang telah jatuh dalam kesyubhatan-kesyubhatan, maka
jatuhlah ia dalam
keharaman, sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembala di
sekitar tempat
yang terlarang, hampir saja ternaknya itu makan dari tempat larangan
tadi.
Ingatlah bahwasanya setiap raja itu mempunyai larangan-larangan.
Ingatlah
bahwasanya larangan-larangan Allah adalah apa-apa yang diharamkan
olehNya. Ingatlah
bahwa di dalam tubuh manusia itu ada segumpa! darah beku, apabila
benda ini baik, maka
baiklah seluruh badan, tetapi apabila benda ini rusak - jahat, maka
rusak - jahat - pulalah
seluruh badan. Ingatlah bahwa benda itu adalah hati." (Muttafaq
'alaih)
Imam-imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan Hadis di atas dari beberapa
jalan,
pula dengan lafaz-lafaz yang hampir bersamaan.
Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. menemukan sebiji buah kurma di
jalanan,
lalu beliau s.a.w. bersabda:
"Andaikata saya tidak takut bahwa kurma ini termasuk golongan
benda sedekah,
pastilah saya akan memakannya." Suatu tanda sangat
berhati-hatinya beliau s.a.w. dalam hal
yang syubhat. (Muttafaq 'alaih)
Dari an-Nawwas bin Sam'an r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya:
"Kebajikan ialah
baiknya budipekerti dan dosa ialah apa-apa yang engkau rasakan bimbang
dalam jiwamu
dan engkau tidak suka kalau hal itu diketahui oleh orang banyak."
(Riwayat Muslim)
Dari Wabishah bin Ma'bad r.a., katanya: "Saya mendatangi
Rasulullah s.a.w., lalu
beliau bersabda: "Engkau datang ini hendak menanyakan perihal
kebajikan?" Saya menjawab:
"Ya." Beliau s.a.w. lalu bersabda lagi: "Mintalah fatwa
- keterangan atau pertimbangan - pada
hatimu sendiri. Kebajikan itu ialah yang jiwa itu menjadi tenang
padanya - di waktu
melakukan dan setelah selesainya, juga yang hatipun tenang pula
merasakannya,sedang dosa
ialah apa-apa yang engkau rasakan bimbang dalam jiwa serta bolak-balik
-yakni ragu-ragu
dalam dada - hati, sekalipun orang banyak telah memberikan
fatwanya padamu; yah,
sekalipun orang banyak telah memberikan fatwanya padamu."
Hadis hasan yang diriwayatkan oleh Imam-imam Ahmad dan ad-Darimi
dalam kedua
musnadnya.
Keterangan:
Dua Hadis di atas itu menegaskan apa yang disebut kebajikan dan
apa yang disebut
dosa itu.
Kebajikan ialah:
1. Budipekerti yang baik.
2. Juga sesuatu yang dirasa tenteram dalam jiwa dan tenang dalam
hati. Untuk
mengetahui ini cukuplah bertanya kepada hati kita sendiri.
Misalnya berkata jujur,
bagaimanakah hati kita setelah melakukannya? Tenang bukan. Nah,
itulah kebajikan. Tetapi
berkata dusta, tenangkah jiwa kita setelah melakukannya? Pasti
tidak, sebab takut ketahuan
orang kedustaannya itu. Nah, tentu itu bukan kebajikan tetapi
kejahatan dan dosa.
Selanjutnya yang disebut kejahatan dan dosa itu ialah:
1. Sesuatu yang membekas dalam hati yakni setelah melakukannya,
hati itu selalu
mengangan-angankan akibat yang buruk dari kelakuan tadi itu,
jelasnya hati senantiasa
gelisah kalau kelakuannya tadi diketahui oleh orang lain. Misalnya
menipu, merampas hak
orang, berbuat zalim dan penganiayaan, tidak jujur, memalsu dan
Iain-Iain sebagainya.
2. Sesuatu yang kecuali
membekas dalam jiwa, juga hati sudah bimbang dan raguragu
di saat melakukannya itu, sebab kalau ketahuan orang, tentu akan
mendapatkan
hukuman, berat atau ringan, misalnya mencuri, membunuh dan
Iain-Iain lagi.
3. Sesuatu yang ditakutkan kalau diketahui orang lain, baik takut
akan menjadi malu,
sebab apa yang dilakukan itu merupakan hal yang tercela di
kalangan masyarakat atau takut
jatuh namanya, takut hukumannya dan Iain-Iain.
Rasulullah s.a.w. menandaskan perihal kejahatan dan dosa itu
dengan diberi
tambahan kalimat: "Sekalipun orang-orang lain sama
memfatwakan itu padamu serta
membenarkan tindakanmu itu." Artinya sekalipun banyak yang
mendukung tindakanmu
dan banyak pembelamu serta semuanya menyetujui, tetapi kalau
sifatnya membekas dalam
hati dan meragu-ragukan, itulah suatu tanda bahwa apa yang kamu
lakukan itu suatu
kejahatan atau dosa. Soal orang yang memberikan fatwa itu belum
tentu benar, mungkin
orang itu hanya menginginkan supaya kamu banyak menghadiahkan
sesuatu padanya atau
menginginkan kepangkatan kalau justeru kamu sebagai pemegang kekuasaan
atau fatwanya
itu hanya ditilik dari segi lahiriyahnya saja, sedang yang
terkandung dalam hatimu tidak
atau belum diketahui olehnya. Oleh sebab itu, tepatlah kalau
Rasulullah s.a.w. mengingatkan
kita agar kita lebih-lebih mengutamakan untuk meminta fatwa atau
keterangan dari hati kita
sendiri.
Dari Abu Sirwa'ah - dengan kasrahnya sin muhmalah - yaitu 'Uqbah
bin al-Harits
r.a. bahwasanya ia mengawini anak perempuannya Abu Ihab bin 'Aziz.
Kemudian datanglah
seorang wanita, lalu berkata: "Sesungguhnya saya benar-benar
telah menyusui 'Uqbah serta
perempuan yang dikawin olehnya itu - jadi keduanya adalah saudara
sesusuan yang haram
menjadi suami isteri." Kemudian 'Uqbah berkata kepada wanita
tadi: "Saya tidak mengerti
bahwa anda telah menyusui saya dan anda tidak pernah
memberitahukan hal itu padaku."
'Uqbah lalu menaiki kendaraan untuk menuju kepada Rasulullah
s.a.w. di Madinah,
kemudian menanyakan perkara itu padanya. Rasulullah s.a.w. lalu
bersabda: "Bagaimana
lagi, sedangkan persoalan sudah dikatakan demikian."
Selanjutnya 'Uqbah lalu menceraikan
isterinya itu dan mengawini wanita lain lagi. (Riwayat Bukhari)
Dari al-Hasan bin Ali radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya
hafal sesuatu sabda
dari Rasulullah s.a.w.: "Tinggalkanlah apa-apa yang
meragu-ragukan padamu untuk beralih
kepada apa-apa yang tidak meragu-ragukan padamu."
Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah
Hadis hasan
Shahih
.
Artinya ialah: Tinggalkanlah apa-apa yang engkau merasa bimbang
untuk
dilaksanakan dan ambil sajalah apa-apa yang engkau tidak merasa
bimbang samasekali
dalam melaksanakannya.
Keterangan:
Hal-hal yang meragu-ragukan itu pada umumnya ada dua macam, yaitu:
1. Meragu-ragukan karena dipandang dari segi hukumnya seperti
barang-barang
yang hukumnya syubhat (tidak jelas perihal halal atau haramnya).
2. Meragu-ragukan karena dipandang dari akibatnya seperti sesuatu
usaha atau
tindakan.
Kalau yang pertama memang sebaiknya kita tinggalkan saja dan
beralih kepada yang
tidak meragu-ragukan. Tetapi kalau yang kedua wajiblah kita tinjau
dahulu, yaitu sekiranya
hati kita yakin akan kebenaran usaha atau tindakan kita itu, maka
keragu-raguan wajiblah
dilenyapkan dan usaha atau tindakan itu wajib dilaksanakan terus.
Misalnya dalam cita-cita
menegakkan Agama Islam di atas bumi ini, terutama di tanahair
sendiri, lalu kita ragu-ragu
kalau tidak berhasil, banyak yang menentangnya, badan dapat
sengsara sebab disiksa,
dipenjarakan dan Iain-Iain. Maka keragu-raguan semacam ini,
bukanlah pada tempatnya.
Orang yang meragu-ragukan semacam ini, sama halnya dengan orang
yang ingin
menyeberangi jalan, tetapi takut tertubruk mobil atau ingin makan
durian, tetapi takut
tercocok durinya. Jadi keragu-raguan tersebut wajib dilenyapkan
dari sanubari setiap kaum
mu'minin, sebab keragu-raguan itu tidak sewajarnya.
Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Abu Bakar as-Shiddiq
r.a. itu
mempunyai seorang hambasahaya lelaki yang mengeluarkan -
memberikan - kepadanya
pendapatan wajibnya -alkharaj. Abu Bakar makan dari hasil kharaj
tadi. Pada suatu hari
hambasahaya itu datang padanya dengan membawa sesuatu, kemudian
Abu Bakar juga
memakannya. Selanjutnya hambasahaya itu berkata pada Abu Bakar:
"Adakahandatahu,
hasil dari apakah ini?" Abu Bakar bertanya: "Hasil apa
ini?" Ia menjawab: "Dahulu pada
zaman jahiliyah saya memberikan sesuatu ramalan pada seseorang,
padahal saya sendiri
sebenarnya tidak pandai dalam persoalan kahanah - pendukunan -
itu, melainkan saya
hanyalah menipunya belaka. Tadi ia menemui saya lalu memberikan
pada saya sesuatu yang
anda makan itu. Abu Bakar lalu memasukkan tangannya -dalam
kerongkongannya, lalu
memuntahkan segala sesuatu yang ada dalam perutnya." (Riwayat
Bukhari)
Alkharaj ialah sesuatu
yang ditetapkan oleh seseorang tuan -pemilik - kepada
hambasahayanya untuk memberikan hasil yang ditetapkan tadi kepada
tuannya setiap hari,
sedangkan sisa dari hasil kerjanya itu untuk hambasahaya itu
sendiri.
Dari Nafi' bahwasanya Umar r.a. menentukan untuk kaum muhajirin
yang
pertama-tama sebanyak empat ribu - dirham setahun, ia juga
menetapkan untuk anaknya
sendiri - yang juga termasuk kaum muhajirin yang pertama-tama -
sebanyak tigaribu
limaratus. Ia ditanya; "Ia adalah termasuk kaum muhajirin,
mengapa engkau kurangi
pemberiannya?" Umar berkata: "Hanyasanya kedua orang
tuanyalah yang berhijrah dengan
membawanya serta." Umar menyambung ucapannya lagi, yaitu:
"Jadi ia tidaklah dapat
disamakan seperti orang yang berhijrah dengan dirinya
sendiri." (Riwayat Bukhari)
Dari Athiyyah bin 'Urwah as-Sa'di as-Shababi r.a., katanya:
"Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Seseorang hamba itu belum sampai kepada tingkat
menjadi orang yang termasuk
kaum yang bertaqwa, sehingga ia suka meninggalkan sesuatu yang
tidak ada larangannya
karena takut kalau-kalau dalam ha! itu ada larangannya - yaitu
hal-hal yang syubhat."
Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia
mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.