التوحيد
ومعنى الشهادتين ونواقض الإسلام
[ اللغة الأندونيسية ]
Penerjemah: Abdullah Haidir
ترجمة: عبد الله حيدر
Murajaah: DR.MUH.MU’INUDINILLAH
BASRI , MA
ERWANDI TARMIZI
مراجعة: د. محمد معين بصري - إيرواندي ترمذي
TAUHID
DAN MAKNA
SYAHADATAIN
Tauhid adalah: Mengesakan Allah semata dalam beribadah dan tidak
menyekutukan-Nya. Dan hal ini merupakan ajaran semua Rasul
alaihimusshalatuwassalam. Bahkan tauhid merupakan pokok yang dibangun diatasnya
semua ajaran, maka jika pokok ini tidak ada, amal perbuatan menjadi tidak
bermanfaat dan gugur, karena tidak sah sebuah ibadah tanpa tauhid.
Macam-macam
Tauhid
Tauhid
terbagi tiga bagian: Tauhid Rububiyah, Tauhid Asma’ dan Sifat dan Tauhid
Uluhiyah.
1. Tauhid Rububiyah:
Yaitu menyatakan bahwa tidak ada Tuhan Penguasa seluruh
alam kecuali Allah yang menciptakan dan memberi mereka rizki. Tauhid ini juga telah diikrarkan oleh orang-orang musyrik pada masa
dahulu. Mereka menyatakan bahwa Allah semata yang Maha Pencipta, Penguasa,
Pengatur, Yang Menghidupkan,Yang Mematikan, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah
ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada
mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan
bulan?” Tentu mereka akan menjawab,“Allah” maka betapakah mereka (dapat)
dipalingkan (dari jalan yang benar)” (Q.S. Al Ankabut: 61)
Akan tetapi pernyataan dan persaksian mereka tidak
membuat mereka masuk Islam dan tidak membebaskan mereka dari api neraka serta
tidak melindungi harta dan darah mereka dari misi jihad islam, karena mereka
tidak mewujudkan tauhid Uluhiyah, bahkan sebaliknya mereka berbuat syirik
kepada Allah dalam beribadah kepada-Nya dengan memalingkan ibadah mereka kepada
selain Allah.
2. Tauhid Asma’ dan Sifat.
Yaitu:
beriman bahwa Allah ta’ala memiliki zat yang tidak serupa dengan berbagai zat
yang ada, serta memiliki sifat yang tidak serupa dengan berbagai sifat yang
ada. Dan bahwa nama-nama-Nya menyatakan dengan jelas akan sifat-Nya yang
sempurna secara mutlak sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Tidak ada sesuatupun yang meyerupainya, dan Dia Maha Mendengar
lagi Maha Melihat”
(QS. As Syura: 11)
Begitu juga halnya (beriman kepada Asma’ dan Sifat Allah) berarti
menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dalam Kitab-Nya, atau apa
yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dengan
penetapan yang layak sesuai kebesaran-Nya tanpa ada penyerupaan dengan
sesuatupun, tidak juga memisalkannya dan meniadakannya, tidak merubahnya, tidak
menafsirkannya dengan penafsiran yang lain dan tidak menanyakan bagaimana
hal-Nya. Kita tidak boleh berusaha baik dengan hati kita, perkiraan kita, lisan
kita untuk bertanya-tanya tentang bagaimana sifat-sifat-Nya dan juga tidak
boleh menyamakan-Nya dengan sifat-sifat makhluk .
3. Tauhid Uluhiyah.
Tauhid Uluhiyah adalah tauhid ibadah, yaitu mengesakan
Allah dalam seluruh amalan ibadah yang Allah perintahkan, seperti: berdoa,
khouf (takut), raja’ (harap), tawakkal, raghbah (berkeinginan), rahbah (takut),
Khusyu’, Khasyah (takut disertai pengagungan), taubat, minta pertolongan,
menyembelih, nazar dan ibadah yang lainnya yang diperintahkan-Nya. Dalilnya
firman Allah ta’ala:
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah
kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun didalamnya di
samping (menyembah) Allah” (Q.S: Al Jin:18).
Manusia tidak boleh memalingkan sedikitpun ibadahnya
kepada selain Allah ta’ala, tidak kepada malaikat, kepada para Nabi dan tidak
juga kepada para wali yang shaleh dan tidak kepada siapapun makhluk yang ada.
Karena ibadah tidak sah kecuali dilakukan dengan ikhlas untuk Allah, maka siapa yang memalingkannya kepada
selain Allah dia telah berbuat syirik yang besar dan semua amalnya gugur.
|
Kesimpulannya adalah
seseorang harus berlepas diri dari penghambaan (ibadah) kepada selain Allah,
menghadapkan hati sepenuhnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Tidak cukup dalam tauhid sekedar
pengakuan dan ucapan syahadat saja jika tidak menghindar dari ajaran
orang-orang musyrik serta apa yang mereka lakukan seperti berdoa kepada selain
Allah misalnya kepada orang yang telah mati dan semacamnya, atau minta syafaat
kepada mereka (orang-orang mati) agar Allah menghilangkan kesusahannya dan
menyingkirkannya, dan meminta pertolongan kepada mereka atau yang lainnya yang
merupakan perbuatan syirik.
Wujud nyata Tauhid adalah: memahaminya dan berusaha untuk
mengetahui hakikatnya serta melaksanakan kewajibannya, baik dari sisi ilmu
maupun amalan, hakikatnya adalah mengarahkan ruhani dan hati kepada Allah baik
dalam hal mencintai, takut (khauf), taubat, tawakkal, berdoa, ikhlas,
mengagungkan-Nya, membesarkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Kesimpulannya tidak
ada dalam hati seorang hamba sesuatupun selain Allah, dan tidak ada keinginan
terhadap apa yang Allah tidak inginkan dari perbuatan-perbuatan syirik, bid’ah,
maksiat yang besar maupun kecil, dan tidak ada kebencian terhadap apa yang
Allah perintahkan. Itulah hakikat tauhid dan hakikat Laa
Ilaaha Illallah.
Makna Laa Ilaaha
Illallah.
Maknanya adalah, tidak ada yang disembah di langit dan di bumi dengan
haq kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sesuatu yang disembah
dengan bathil banyak jumlahnya, tapi yang disembah dengan haq hanya Allah saja.
Allah ta’ala berfirman:
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah
karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja
yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah,
Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” ( Q.S: Al Hajj: 62).
Kalimat Laa
Ilaaha Illallah bukan berarti : “Tidak ada pencipta selain Allah”
sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang, karena sesungguhnya orang-orang
kafir Quraisy yang diutus kepada mereka Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam mengakui bahwa Sang Pencipta dan Pengatur alam ini adalah Allah ta’ala,
akan tetapi mereka mengingkari penghambaan (ibadah) seluruhnya milik Allah
semata, tanpa menyekutukan-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Mengapa ia menjadikan
tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja ? Sesungguhnya ini benar-benar satu hal yang
sangat mengherankan” (Q.S: Shad:5).
Dipahami dari ayat ini bahwa semua ibadah yang ditujukan kepada
selain Allah adalah batal. Artinya bahwa ibadah semata-mata untuk Allah. Akan
tetapi mereka (kafir Quraisy) tidak menghendaki demikian, oleh karenanya
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerangi mereka hingga bersaksi bahwa
tidak ada ilah yang disembah selain Allah serta menunaikan hak-hak-Nya yaitu
mengesa-kannya dalam beribadah kepada-Nya semata.
Dengan pemahaman ini maka keliru apa yang diyakini oleh para
penyembah kuburan pada masa ini dan orang-orang semacam mereka yang menyatakan
bahwa makna Laa ilaaha illallah adalah persaksian bahwa Allah ada atau bahwa
Dia adalah Khaliq sang Pencipta yang mampu untuk menciptakan dan yang
semacamnya dan bahwa yang berkeyakinan seperti itu berarti dia telah mewujudkan
Tauhid yang sempurna meskipun dia melakukan berbagai hal seperti beribadah
kepada selain Allah, berdoa kepada orang mati atau beribadah kepada orang mati
dengan melakukan nazar atau thawaf dikuburannya dan mengambil berkah dengan
tanah kuburannya.
Orang-orang kafir Quraisy telah mengetahui sebelumnya bahwa Laa ilaaha Illallah mengandung konsekwensi
yaitu meninggalkan ibadah kepada selain Allah dan hanya mengesakan Allah dalam ibadah. Seandainya
mereka mengucapkan kalimat tersebut dan tetap menyembah berhala, maka
sesungguhnya hal itu merupakan perbuatan yang bertolak belakang dan mereka
memang telah memulainya dari sesuatu yang bertentangan. Sedangkan para
penyembah kuburan zaman sekarang tidak memulainya dari sesuatu yang
bertentangan, mereka mengatakan Laa ilaaha Illallah, kemudian mereka membatalkannya dengan doa
terhadap orang mati yang terdiri dari para wali, orang-orang sholeh serta
beribadah di kuburan mereka dengan berbagai macam ibadah. Celakalah mereka
sebagaimana celakanya Abu Lahab dan Abu Jahal walaupun keduanya mengetahui Laa Ilaaha Illallah.
Banyak sekali hadits yang menerangkan bahwa makna Laa
Ilaaha Illallah adalah berlepas diri dari semua ibadah terhadap selain
Allah baik dengan meminta syafaat ataupun pertolongan, serta mengesakan Allah
dalam beribadah, itulah petunjuk dan agama yang haq yang karenanya Allah
mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya. Adapun orang yang
mengucapkan Laa Ilaaha Illallah tanpa memahami maknanya dan mengamalkan
kandungannya, atau pengakuan seseorang bahwa dia termasuk orang bertauhid
sedangkan dia tidak mengetahui tauhid itu sendiri bahkan justu beribadah dengan
ikhlas kepada selain Allah dalam bentuk doa, takut , menyembelih, nazar, minta pertolongan,
tawakkal serta yang lainnya dari berbagai bentuk ibadah maka semua itu adalah
hal yang bertentangan dengan tauhid bahkan selama seseorang melakukan yang
seperti itu dia berada dalam keadaan musyrik !!
|
Ibnu Rajab
berkata: “Sesungguhnya hati yang memahami Laa Ilaaha Illallah dan
membenarkannya serta ikhlas akan tertanam kuat sikap penghambaan kepada Allah
semata dengan penuh penghormatan, rasa takut, cinta, pengharapan, pengagungan
dan tawakkal yang semua itu memenuhi ruang hatinya dan disingkirkannya
penghambaan terhadap selain-Nya dari para makhluk. Jika
semua itu terwujud maka tidak akan ada lagi rasa cinta, keinginan dan
permintaan selain apa yang dikehendaki Allah serta apa yang dicintai-Nya dan
dituntut-Nya. Demikian juga akan tersingkir dari hati semua keinginan nafsu
syahwat dan bisikan-bisikan syaitan, maka siapa yang mencintai sesuatu atau
menta’atinya atau mencintai dan membenci karenanya maka dia itu adalah
tuhannya, dan siapa yang mencintai dan membenci semata-mata karena Allah, ta’at
dan memusuhi karena Allah, maka Allah adalah tuhannya yang hakiki. Siapa yang
mencintai karena hawa nafsunya dan membenci juga karenanya, atau ta’at dan
memusuhi karena hawa nafsunya, maka hawa nafsu baginya adalah tuhannya,
sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai tuhan?” (Q.S; Al Furqan:
43).
Keutamaan Laa Ilaaha Illallah
Dalam kalimat (Laa Ilaaha Illallah) terhimpun banyak
keutamaan, dan faedah yang bermacam-macam. Akan tetapi keutamaan tersebut tidak
akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya jika sekedar diucapkan saja. Dia baru
memberikan manfaat bagi
orang yang mengucapkannya dengan keimanan dan melakukan kandungan-kandungannya.
Diantara keutamaan yang paling utama adalah bahwa orang yang mengucapkannya
dengan ikhlas semata-mata karena mencari ridho-Nya maka Allah ta’ala haramkan
baginya api neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah r:
(( إِنَّ اللهَ
حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ
اللهِ)) (متفق عليه)
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi
siapa yang mengatakan: Laa Ilaaha Illallah semata-mata karena mencari
ridho-Nya” (Muttafaq Alaih).
Dan banyak lagi hadits-hadits yang lain yang menyatakan bahwa Allah
mengharamkan orang-orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dari api neraka.
Akan tetapi ada syarat yang dijelaskan oleh hadits-hadits tersebut.
Banyak orang yang mengucapkannya, namun disaat kematian dia
dikhawatirkan terkena fitnah sehingga dia terhalang dari kalimat tersebut
karena dosa-dosa yang selama ini selalu dilakukannya dan dianggapnya remeh.
Banyak juga orang yang mengucapkannya dengan dasar ikut-ikutan atau rutinitas
semata, sementara keimanan tidak meresap kedalam hatinya. Orang-orang yang
disebutkan di atas yang sering mendapatkan fitnah saat kematiannya dan saat di
kubur sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits “Saya mendengarkan manusia
mengatakannya, maka saya mengatakannya” (H.R. Ahmad dan Abu Daud).
Dengan demikian maka tidak ada kontradiksi antara hadits-hadits
yang menjelaskan tentang keutamaan ucapan Laa Ilaaha Illallah, karena
jika seseorang mengucapkannya dengan ikhlas dan penuh keyakinan maka dia tidak
mungkin berbuat dosa terus menerus, lantaran kesempurnaan keikhlasan dan
keyakinan menuntutnya untuk menjadikan Allah sebagai sesuatu yang lebih
dicintainya dari segala sesuatu, maka tidak ada lagi dalam hatinya keinginan
terhadap apa yang diharamkan Allah ta’ala dan membenci apa yang Allah
perintahkan. Hal seperti itu yang membuatnya diharamkan dari api neraka
meskipun dia melakukan dosa sebelumnya, karena keimanan, taubat, keikhlasan,
kecintaan dan keyakinannya membuat dosa yang ada padanya terhapus bagaikan
malam yang menghapus siang.
Rukun Laa Ilaaha Illallah.
Syahadat
memiliki dua rukun :
1. Peniadaan (Nafy) dalam kalimat: “Laa Ilaaha”.
2. Penetapan (Itsbat) dalam kalimat: “Illallah”.
Maka
“Laa Ilaaha” berarti meniadakan segala tuhan selain Allah, dan “Illallah”
berarti menetapkan bahwa sifat ketuhanan hanya milik Allah semata dan tidak ada
sekutu bagi-Nya.
Syarat-syarat Laa Ilaaha Illallah
Berikut ini syarat-syaratnya:
1. Berilmu (العلم).
Yang
dimaksud adalah memiliki ilmu terhadap makna kalimat (Laa Ilaaha Illallah) baik
dalam hal nafy maupun itsbat dan segala amal yang dituntut darinya. Jika
seorang hamba mengetahui bahwa Allah ta’ala adalah semata-mata yang disembah
dan bahwa penyembahan kepada selain-Nya adalah bathil, kemudian dia mengamalkan
sesuai dengan ilmunya tersebut.
Lawan dari ilmu adalah bodoh, karena dia tidak mengetahui
wajibnya mengesakan Allah dalam ibadah, bahkan dia meyakini bolehnya beribadah
kepada selain Allah disamping beribadah kepada-Nya, Allah ta’ala berfirman:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq)
melainkan Allah” (QS. Muhammad:
19)
“Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang
mengakui yang hak (tauhid) dan mereka mengetahui(nya)” ( QS. Az Zukhruf :86)
Maksudnya
adalah: orang-orang yang bersaksi dan hati mereka mengetahui apa yang diucapkan
lisan mereka.
2. Yakin (اليقين).
Yaitu
seseorang mengucapkan syahadat dengan penuh keyakinan sehingga hatinya tenang,
tanpa ada sedikitpun pengaruh keraguan yang disebarkan oleh syetan-syetan jin
dan manusia, bahkan dia mengucapkannya dengan penuh keyakinan atas kandungan
yang ada didalamnya. Siapa yang mengucapkannya maka ia wajib meyakininya
didalam hati dan mempercayai kebenaran apa yang diucapkannya, yaitu: adanya hak
ketuhanan yang dimiliki Allah ta’ala dan tidak adanya sifat ketuhanan segala
sesuatu selain-Nya. Juga berkeyakinan bahwa ibadah dan penghambaan tidak boleh
ditujukan kepada selain Allah. Jika dia ragu terhadap syahadatnya atau tidak
mengakui bathilnya sifat ketuhanan selain Allah ta’ala, misalnya dengan
mengucapkan: “Saya meyakini akan ketuhanan Allah ta’ala akan tetapi saya ragu
akan bathilnya ketuhanan selain-Nya”, maka syahadatnya batal dan tidak
bermanfaat baginya. Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu ”
(Q.S; Al Hujurat: 15).
3. Menerima (القبول)
Maksudnya adalah menerima semua ajaran yang terdapat
dalam kalimat tersebut dalam hati dan lisannya. Dia membenarkan dan beriman
kepada semua berita dan apa yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada
sedikitpun yang ditolaknya dan tidak berani memberikan penafsiran yang keliru
atau perubahan atas nash-nash yang ada, Allah ta’ala melarang hal tersebut.
sebagaimana Dia berfirman:
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami” (QS. Al Baqarah:
136)
Lawan dari menerima adalah menolak. Ada sebagian orang yang mengetahui
makna syahadatain dan yakin akan kandungan
yang ada didalamnya akan tetapi dia menolaknya karena kesombongannya dan
kedengkiannya. Allah ta’ala berfirman:
“Karena
mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim
itu mengingkari ayat-ayat Allah” (Q.S; Al
An’am: 33)
Termasuk
dikatakan menolak, jika seseorang menentang atau membenci sebagian hukum-hukum
Syari’at atau hudud (hukum pidana Islam). Allah ta’ala berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya” (Q.S; Al Baqarah: 208).
3. Tunduk (الانقياد)
Yang dimaksud
adalah tunduk atas apa yang diajarkan dalam kalimat Tauhid, yaitu dengan
menyerahkan dan merendahkan diri serta tidak membantah hukum-hukum Allah. Allah
ta’ala berfirman:
“Dan
kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya …” (Q.S; Az Zumar: 54).
Termasuk juga
tunduk terhadap apa yang dibawa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dengan
diiringi sikap ridha dan mengamalkannya tanpa bantahan serta tidak menambah
atau mengurangi. Jika seseorang telah mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah
dan yakin serta menerimanya, akan tetapi dia tidak tunduk dan menyerahkan diri
dalam melaksanakan kandungannya maka semua itu tidak berguna. Termasuk
dikatakan tidak tunduk juga adalah tidak menjadikan syariat Allah sebagai
sumber hukum dan menggantinya dengan undang-undang buatan manusia.
5. Jujur (الصـــدق)
Maksudnya jujur dengan keimanannya dan aqidahnya,
selama itu terwujud maka dia dikatakan orang yang membenarkan terhadap kitab
Allah ta’ala dan sunnah Nabi-Nya.
Lawan dari
jujur adalah dusta, jika seorang hamba berdusta dalam keimanannya, maka dia
tidak dianggap beriman bahkan dia dikatakan munafik walaupun dia mengucapkan
syahadat dengan lisannya, maka syahadat tersebut tidak dapat menyelamatkannya.
Termasuk yang
menggugurkan sahnya syahadat adalah mendustakan apa yang dibawa Rasulullah atau
mendustakan sebagian yang dibawa oleh beliau, karena Allah ta’ala telah
memerintahkan kita untuk ta’at kepada beliau dan membenarkannya, dan mengaitkan
ketaatan kepada beliau dengan ketaatan kepada-Nya.
6. Ikhlas (الإخـــلاص)
Maksudnya
adalah mensucikan setiap amal perbuatan dengan niat yang murni dari
kotoran-kotoran syirik, yang demikian itu terwujud dan tampak dalam perkataan
dan perbuatan yang semata-mata karena Allah ta’ala dan karena mencari
ridha-Nya. Tidak ada didalamnya kotoran riya’ dan sum`ah (ingin dikenal), atau
tujuan duniawi dan pribadi, atau juga melakukan sesuatu karena kecintaannya
terhadap seseorang atau golongannya atau partainya dimana dia menyerahkan diri
kepadanya tanpa petunjuk Allah ta’ala.
Allah
berfirman:
“Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)” (Q.S; Az Zumar: 3)
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan
kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus”
(Q.S; Al Bayyinah: 5).
Lawan dari
ikhlas adalah Syirik dan riya’, yaitu: mencari keridhaan selain Allah ta’ala.
Jika seseorang telah kehilangan dasar keikhlasannya, maka syahadatnya tidak
berguna. Allah ta’ala berfirman:
“Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami
jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” (Q.S; Al Furqan:
23)
Maka dengan
demikian, semua amalnya tidak ada manfaat baginya, karena dia telah kehilangan
landasannya.
Allah ta’ala
berfirman:
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (An Nisa 48)
7. Cinta (المحـــبة)
Yaitu mencintai kalimat yang agung ini serta semua ajaran
dan konsekwensi yang terkandung didalamnya, maka dia mencintai Allah dan
Rasul-Nya dan mendahulukan kecintaan kepada keduanya atas semua kecintaan
kepada yang lain, serta melakukan semua syarat-syarat dan konsekwensinya. Cinta terhadap Allah adalah rasa cinta yang diiringi dengan rasa
pengangungan dan rasa takut serta pengharapan.
Termasuk cinta kepada Allah adalah mendahulukan apa yang Allah
cintai atas apa yang dicintai oleh hawa nafsu dan segala tuntutannya, termasuk
juga konsekwensi mencintai kalimat tauhid adalah membenci apa yang Allah benci,
maka dirinya membenci orang-orang kafir serta memusuhi mereka. Dia juga
membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.
Termasuk tanda cinta adalah tunduk terhadap syariat Allah dan
mengikuti ajaran nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam dalam setiap
urusan.
Allah ta’ala berfirman:
“Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu”, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S; Ali Imran: 30)
Lawan dari cinta adalah benci. Yaitu membenci kalimat ini dan semua
ajaran yang terkandung didalamnya atau mencinta sesuatu yang disembah selain
Allah bersama kecintaannya terhadap Allah. Allah ta’ala berfirman:
“Yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu
Allah menghapuskan (pahala-pahala) amalan mereka” (Q.S; Muhammad: 9)
Termasuk yang menghilangkan cinta dengan kalimat tauhid
adalah: membenci Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan mencintai musuh-musuh Allah serta membenci wali-wali
Allah dari golongan orang beriman.
MAKNA
PERSAKSIAN (SYAHADAT) BAHWA MUHAMMAD ADALAH RASULULLAH r
Maknanya adalah: Taat terhadap apa yang diperintahkannya dan
membenarkan apa yang diberitakannya serta menjauhi apa yang dilarang dan
diancamnya. Tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau
syariatkan. Setiap muslim harus mewujudkan syahadat ini, sehingga dikatakan
tidak sempurna syahadat seseorang terhadap kerasulannya manakala dia sekedar
mengucapkannya dengan lisan, namun meninggalkan perintahnya dan melanggar
larangannya serta taat kepada selainnya atau beribadah kepada Allah tidak
berdasarkan ajarannya. Rasulullah r bersabda:
((مَنْ أَطَاعَنِي
فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ))
“Siapa
yang taat kepadaku maka dia telah taat kepada Allah dan siapa yang durhaka
kepadaku maka dia telah durhaka kepada Allah” (H.R. Bukhari)
(( مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ))
“Siapa
yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami yang tidak termasuk didalamnya maka
dia tertolak” (Muttafaq alaih)
Termasuk wujud nyata dari syahadat ini adalah tidak adanya keyakinan
bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam memiliki hak ketuhanan yang mengatur alam ini, atau tidak memiliki hak
untuk disembah, akan tetapi dia hanyalah seorang hamba yang tidak disembah dan
seorang Rasul yang tidak didustakan dan dirinya tidak memiliki kekuasaan atas
dirinya sendiri dan orang lain dalam mendatangkan manfaat dan mudharat kecuali
apa yang Allah kehendaki.
Allah ta’ala berfirman:
“Katakanlah
(Hai Muhammad),“ Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak
(pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah “ (Q.S; Al A’raf : 188).
HAL-HAL
YANG MEMBATALKAN KEISLAMAN
1. Mengadakan persekutuan (syirik) dalam beribadah kepada Allah
ta’ala (Q.S; An Nisa: 116)
Termasuk dalam hal ini,
meminta pertolongan dan berdoa kepada orang mati serta bernadzar dan
menyembelih qurban untuk mereka.
2. Siapa yang menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai perantara
kepada Allah, memohon kepada mereka syafaat, serta sikap berserah diri kepada
mereka, maka berdasarkan ijma’ dia telah kafir.
3. Siapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau
menyangsikan kekafiran mereka, bahkan membenarkan ajaran mereka, maka dia telah
kafir.
4. Berkeyakinan bahwa petunjuk selain yang datang dari Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam lebih sempurna dan lebih baik. Meyakini
ada suatu hukum atau undang-undang yang lebih baik dibandingkan syariat
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, serta lebih mengutamakan hukum taghut
(buatan manusia) dibandingkan ketetapan Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam.
5. Membenci sesuatu yang datangnya dari Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam, meskipun dia mengamalkannya.
(Q.S; Muhammad: 9).
6. Siapa yang mengolok-olok sebagian dari Din yang dibawa
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, misalnya; mengolok-olokan pahala atau
balasan yang akan diterima maka dia telah kafir. (Q.S; At-Taubah: 65-66)
7. Melakukan sihir, diantaranya “As-sharf” (mengubah perasaan
seorang laki-laki menjadi benci kepada istrinya) dan “Al Athaf” (Menjadikan
seseorang senang terhadap apa yang sebelumnya dia benci) atas bantuan syaitan.
Siapa yang melakukan
kegiatan sihir atau ridha dengannya maka dia kafir. (Q.S; Al Baqarah: 102)
8.
Mengutamakan orang kafir serta memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang
musyrik lebih dari pada pertolongan dan bantuan yang diberikan kepada kaum
muslimin. (Q.S; Al Maidah: 5)
9. Beranggapan bahwa manusia bisa leluasa keluar dari syariat
Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. (Q.S; Ali Imran: 85)
10. Berpaling dari Dinullah, baik karena dia tidak mau
mempelajarinya atau karena tidak mau mengamalkannya. Hal ini berdasarkan firman
Allah ta’ala. (Q.S; As-Sajadah: 22).