Sedikit dari banyak kasih sayang Rasulullah s.a.w kepada umatnya.
1.
Ketika mana pintu-pintu syurga dan neraka telah terkunci, dan semua umat manusia telah dimasukkan ke dalam syurga dan neraka, sesuai dengan amalannya dan mereka telah menikmati ganjaran atau merasakan hukuman atas apa yang mereka kerjakan dalam waktu yang begitu lama, Allah SWT menanyakan kepada Malaikat Jibril, subhanallah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, “Apakah ada umat Muhammad s.a.w. yang masih tertinggal di dalam neraka?”
Maka Malaikat Jibril pun pergi ke neraka Jahanam. Neraka Jahanam yang begitu gelap tiba-tiba berubah menjadi terang benderang kerana kedatangan Jibril.
Para penghuni Jahanam pun bertanya-tanya, siapakah yang datang, mengapa Jahanam tiba-tiba terang benderang.
Malaikat Jibril pun menjawab bahawa dia adalah Malaikat Jibril, yang diutus oleh Allah SWT untuk mencari apakah ada umat Muhammad yang masih terselit di neraka Jahanam. Tiba-tiba sekelompok orang berteriak, “Sampaikan salam kami kepada Rasulullah s.a.w., beri tahukan keadaan kami di tempat ini kepada beliau.”
Jibril pun keluar dari neraka Jahanam dan pergi ke syurga untuk memberitahukan hal itu kepada Rasulullah s.a.w.
Rasulullah s.a.w. begitu bersedih mendengar bahawa masih ada umatnya yang tertinggal di dalam neraka dalam waktu yang sudah begitu lama. Beliau tidak redha ada umatnya yang masih tertinggal di neraka walaupun dosanya sepenuh bumi.
Rasulullah s.a.w. pun bergegas hendak pergi ke neraka. Tapi di dalam perjalanan beliau terhadang oleh garis batas Malaikat Israfil. Tidak ada seorang pun boleh melintasi garis itu kalau tidak seizin Allah SWT.
Rasulullah s.a.w. pun mengadu kepada Allah SWT, dan akhirnya beliau diizinkan. Tapi sesudah itu Allah SWT mengingatkan Rasulullah bahawa umat itu telah meremehkan beliau. “Ya Allah, izinkan aku memberi syafa’at kepada mereka itu walaupun mereka hanya punya iman sebesar zarrah.”
Sesampainya Rasulullah s.a.w. di neraka Jahanam, padamlah api neraka yang begitu dahsyat itu. Penduduk Jahanam pun berucap, “Apa yang terjadi, mengapa api Jahanam ini tiba-tiba padam? Siapakah yang datang lagi?”
Rasulullah s.a.w. menjawab, “Aku Muhammad s.a.w. yang datang, siapa di antara kalian yang jadi umatku dan punya iman sebesar zarrah, aku datang untuk mengeluarkannya.”
Demikianlah kecintaan Rasulullah kepada umatnya, beliau akan memperjuangkannya sampai di hadapan Allah SWT. Lalu bagaimana kecintaan kita sebagai umat Rasulullah s.a.w. kepada peribadi yang begitu agung itu?
(Dari Kitab Muhammad Insan Kamil karya Sayyid Muhammad Al-Maliki dan Kitab Asy Syifa karya Al Qadhi 'Iyadh)
2.
Ketika sangkakala Malaikat Israfil ditiup, maka kiamat pun terjadi. Pada saat itu orang-orang berlari tunggang-langgang karena ketakutan, sampai-sampai wanita yang hamil pun akan melupakan bayi yang dikandungnya. Ketika huru-hara kiamat terjadi, maka setiap makhluk yang ada di bumi akan binasa, bahkan para setan pun mencoba lari dari kejaran malaikat maut, namun malaikat maut dengan mudah mencabut nyawa setan-setan. Ketika semua makhluk sudah binasa, maka yang tersisa hanyalah malaikat. Kemudian Allah akan memerintahkan malaikat maut untuk mencabut nyawa para malaikat seperti Jibril, Israfil, Mikail, malaikat-malaikat penyangga Arsy Allah, dan malaikat-malaikat lainnya. Kemudian Allah akan memerintahkan malaikat maut untuk mencabut nyawanya sendiri. Dengan demikian, hanya Allah satu-satunya Yang Tetap Hidup.
Saat semua makhluk sudah binasa dan keadaan diliputi kehampaan selama beberapa waktu lamanya, kemudian Allah akan menghidupkan Israfil, Mikail, Jibril, dan malaikat-malaikat yang menyangga singgasana Allah. Dia akan memerintahkan Israfil untuk meniup sangkakala sekali lagi untuk memulai penghisaban. Allah mengirim Jibril dan Mikail dengan kunci surga untuk membuka makam dari seorang manusia yang paling mulia di dunia. Jadi mereka datang dengan misi spesial untuk membuka makam Nabi Muhammad S.A.W. di Madinah.
Setelah bangkit dari tidur panjangnya, Rasulullah S.A.W. bertanya “Hari apa ini? Apa yang telah terjadi?”
Jibril A.S. menjawab “Sekarang adalah hari dimana amalan manusia akan dihisab.”
Kalimat berikutnya yang keluar dari bibir Rasulullah S.A.W. adalah “Bagaimana keadaan umatku?”
Subhanallah, dia menanyakan tentang umatnya! Dia tidak menanyakan dirinya, istri, atau anak-anaknya, namun dia bertanya tentang umatnya, karena dia tahu bahwa umat Islam membutuhkannya pada hari itu.
Saudara/saudariku sesama Muslim, apakah kalian mencintai Rasulullah S.A.W.? Karena demi Allah, Rasulullah sungguh mencintai kalian.
Sebagai catatan, ada sebuah hadist yang disabdakan Rasulullah berkenaan dengan kita. Hadist ini tertera dalam kitab Kanzul Ummal, hadits lemah menurut Ibnu Katsir.
Suatu ketika berkumpullah Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersama sahabat-sahabatnya yang mulia. Di sana hadir pula sahabat paling setia, Abu Bakar ash-Shiddiq. Kemudian terucap dari mulut baginda yang sangat mulia: “Wahai Abu Bakar, aku begitu rindu hendak bertemu dengan ikhwanku (saudara-saudaraku).”
Suasana di majelis itu hening sejenak. Semua yang hadir diam seolah sedang memikirkan sesuatu. Lebih-lebih lagi sayidina Abu Bakar, itulah pertama kali dia mendengar orang yang sangat dikasihinya melontarkan pengakuan demikian.
“Apakah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?”Abu Bakar bertanya melepaskan gumpalan teka-teki yang mulai memenuhi pikiran.
“Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku.” Suara Rasulullah bernada rendah.
“Kami juga saudaramu, wahai Rasulullah,” kata seorang sahabat yang lain pula.
Rasulullah menggeleng-gelangkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum. Kemudian Baginda bersabda,
“Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku dan mereka mencintai aku melebihi anak dan orang tua mereka. Mereka itu adalah saudara-saudaraku dan mereka bersama denganku. Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntung juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah melihatku.” (Tertera dalam kitab Kanzul Ummal, hadith lemah menurut Ibnu Kathir)